Terseret Hiruk Pikuk Gerhana…

 

Tulisan ini saya persembahkan bagi pembaca yang terlewatkan mengikuti hiruk pikuk Gerhana Matahari Total yang baru berlangsung pagi tadi…

 

DSC02373-2

Selama beberapa pekan / bulan terakhir, berita mengenai Gerhana Matahari Total (GMT) menghiasi seluruh media cetak dan elektronik di seluruh negeri ini. Semua berlomba-lomba menceritakan fenomena alam luar biasa  yang katanya hanya akan terjadi lagi setelah 375 tahun. Pemerintah daerah yang dilalui GMT pun heboh mempersiapkan diri dengan beragam acara untuk menyambutnya.

Beberapa teman saya juga tidak kalah heboh, ada yang jauh2 hari sudah memesan kamar hotel di kota seperti Balikpapan, Palembang, Palu dll yang dilalui GMT, beberapa lagi tidak peduli seperti saya. Beberapa dari teman dan client saya ada juga yang menanyakan akan kemana saya pada saat GMT nanti?

Hmmm kemana ya…

Sempat terpikir ke Balikpapan sekalian ke Derawan untuk Diving, tapi…kok…rasanya dorongan untuk mengejar GMT ini kok tidak terlalu gimana gitu…

Sebenarnya saya sempat juga ragu2 antara ikut hiruk pikuk GMT ini atau stay saja di rumah… Namun setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya saya memutuskan untuk tetap di Jakarta saja menikmati Gerhana Matahari Sebagian (GMS), yang katanya hanya akan tertutup sekitar 89%.

Saya menuliskan pengalaman saya berikut agar pembaca yang tidak pergi memburu GMT atau karena satu lain hal terpaksa tidak bisa mengikutinya, bisa sedikit merasakan seperti apa sih GM itu…menurut versi saya lho… hehehe…

Monggo dilanjut…

Pertama saya ingin menjelaskan dulu kenapa kok saya memutuskan untuk tidak ikutan berburu GMT, sehingga pembaca yang gagal berburu GMT, setelah membaca alasan saya, mungkin tidak terlalu kecewa… wkwkwk…

Pertama karena menurut saya peristiwa gerhana ini ya biasa saja. Mirip kita berdiri di depan lampu, terus tiba2 ada yang melintas. Ketika benda/orang itu melintas di depan kita, saat itulah terjadi “gerhana” lampuuu.. bukan begitu? :). Hanya saja yang tertutup kali ini adalah lampu super raksasa di atas sana, dan penutupnya adalah Sang Dewi Bulan dalam perjalanannya mengorbit bumi. Itu aja kan? Betul kan? :). Nothing special…

Apanya yang hebat? Lagian, yang dimaksud dengan terjadi lagi setelah 375 tahun itu, adalah GMT yang terjadi di titik yang sama. Sedangkan di titik2 lain di dunia, dalam setahun katanya paling tidak terjadi 2 – 5 kali Gerhana Matahari. Jadi kalau kali ini GMT terjadi di Balikpapan, makan 375 tahun lagi baru terjadi disana. Sedang di tempat lain dalam setahun ya itu, 2 – 5 kali terjadi.

Kedua, alasan saya tidak mengejar gerhana adalah karena tidak memiliki alat2 yang memadai untuk menikmatinya. Saya baca di berbagai berita, katanya harus memiliki teropong dengan spesifikasi begina begini. Atau pakai saja bagian hitam hasil X-Ray / Rontgen yang tidak terpakai, atau disket untuk melihat langsung ke matahari.

Pembaca nanti lihat hasil jepretan saya menggunakan alat ‘seadanya’ akan seperti apa. Jadi pembaca tidak terlalu kecewa melewatkannya. Kecuali… punya peralatan yang canggih sehingga bisa menangkap fenomena alam ini dengan baik. Jika tidak, pembaca lihat apa yg saya tangkap dengan peralatan sederhana saya itu.

Sebelum itu, saya mencoba melihat matahari langsung menggunakan guntingan X-Ray paru-paru saya yang sudah tidak terpakai… dan walllaaa… yang tampak adalah bunderan kecil 2 – 3 cm berwarna putih ke abu2an… That’s it…

What do you expect? Matahari yang berwarni-warni begitu? Matahari yang bunder besar begitu? :)… Gak lha yauww… 🙂

Ketiga, saya tidak yakin pada hari H, langit tempat dimana GMT terjadi terang benderang. Lha kalau berawan, terus si Mr Sunshine tetap gak mau bangun dan ‘krasan’ berselimutkan awan… lakkk apessss… Sudah jauh2 ke Palu misalnya, langitnya mendung…

Update: Baru saja saya berniat mempublish tulisan ini salah seorang teman saya yang berburu GMT ke Palembang mengirim foto berikut (click to enlarge):

Saya kaget melihat foto itu…

“Lha kok berawan gitu”, cetus saya…

“Bukan awan itu!!!”, katanya dengan nada jengkel.

“Itu asap dari pabrik PUSRI..” lanjutnya sambil menambahkan kata Jianc*k… di akhir kalimat…

Lihat tuh asal muasal “awannya”… wkwkwk…

Palembang 2

Duhhhh… piye cobak… sudah jauh2 ke Palembang, atur sana sini untuk hotel dan pesawat, capek2 bangun pagi, naik taxi atau mungkin berjalan kaki menuju lokasi, berebut tempat dengan pengunjung lain untuk mencari posisi terbaik… ndilalahhhh… asepppp… asepppp….

Ya nasibbbb…

Namun… gempuran berita di media cetak dan terutama media social sedemikian gilanya, sampai2 saya terseret juga untuk paling tidak ‘menengok’ seperti apa sih GMS (Gerhana Matahari Sebagian) di atap rumah saya.

Sayapun minggu lalu mulai berburu filter untuk camera saya. Saya baca2 katanya supaya sensor camera tidak rusak, minimum harus menggunakan filter ND 400, kalau bisa lebih gelap lagi. Maka sayapun membeli filter ND 1000 untuk kamera Nikon Coolpix P900 saya.

Saya membeli camera Nikon Coolpix P900 beberapa minggu lalu karena Zoom nya yang luar biasa. Ketika itu saya membeli camera ini bukan bertujuan untuk digunakan meneropong GMP ini. Saya membelinya karena terkagum-kagum dengan kemampuan zoomingnya yang bisa mencapai 83x atau equivalent dengan lensa 2000mm.

Lha kok kebetulan ketika saya baca2 camera yang dianjurkan untuk GMS/GMT adalah camera dengan lensa minimum 400 – 600mm, dan akan lebih bagus lagi kalau memiliki lensa 2000mm… kloppp deh… Itu belum kalau menggunakan digital zoom 2x optical lho, bisa hingga 166x atau equivalent 4000mm…

Ini lensa 2000mm beneran… coba bandingkan dengan camera di bagian belakangnya itu… 🙂

reflex2000mmf11

Lensa ini adalah lensa langka dengan berat 17.5 kg dan terjual dalam suatu lelang dengan harga 95.000 USD…hehehe… Sedangkan P900…ramahlah di kantong :).

Selain P900, sebagai cadangan saya juga menggunakan camera Sony A7R Mark II, dengan filter ND8 dan lensa FE 3.5 – 6.3 / 24 – 240. Saya mencadangkan camera ini karena filter ND8 yang saya miliki, menurut referensi, sangat tidak memadai. Namun nanti pembaca lihat hasilnya.

Saya tidak berpikir untuk menggunakan smartphone untuk memotret GMT ini karena sudah pasti tidak akan memadai, namun saya juga akan mempost hasil jepretan istri saya menggunakan Samsung Note Edge, sebagai perbandingan.

SO, ketika alarm saya berbunyi pagi tadi pada pukul 5.30, meskipun masih mengantuk, saya bangun dan bersiap-siap naik ke atap rumah saya.

Peralatan yang saya bawa naik tidak banyak: potongan X-Ray yang saya tempelkan ke kacamata olahraga saya, 2 camera, 2 tripod… that’s all :). Jangan lupa: tripod!, tanpa kaki tiga ini gak mungkin bisa memotret object dengan zoom sebesar itu. Pakai aja susahnya minta ampun agar camera kita stabil.

Solar Eclipse Sunglasses buatan sendiri… ngganteng kan?… 🙂

20160309_113847

Setiba di atap rumah saya, beruntung benar, langit cukup cerah. Padahal beberapa hari sebelumnya di ufuk timur berjejal awan menutupi matahari. Namun pagi ini Tuhan kasih kesempatan saya memotret ciptaannya yang luar biasa itu.

Semburat keemasan tanda Mr Sunshine akan terbit

(Nikon Coolpix P900 – tanpa filter)

DSCN0182

Jepretan iseng ke daerah Sudirman yg berjarak kurang lebih 15 km dari lokasi saya

(Nikon Coolpix P900 – Tanpa filter – Tanpa Edit)

DSCN0188

Berikut ini hasil  yg terbaik dari beberapa jepretan istri saya menggunakan Samsung Note Edge yang cameranya termasuk salah satu yang terbaik. Hasil jepretan lainnya,  tidak ada yang focus karena sinar matahari yg terlalu terang membuat camera Note Edge tidak mampu mengatur autofocusnya. Ini yang akan kita nikmati jika hanya mengandalkan smartphone utk berburu GMT.

Awal Gerhana Matahari Sebagian (GMS) –

(Samsung Note Edge – Tanpa Filter)

Note Edge

Berikut hasil jepretan P900:

Awal GMS

(Nikon Coolpix P900 – Tanpa Filter – 2000mm)

DSCN0201

Awal GMS

(Nikon Coolpix P900 – Tanpa Filter – > 2000mm digital zoom)

DSCN0205

Awal GMS

(Nikon Coolpix P900 – Denga Filter ND1000 – 2000mm)

DSCN0217

Perhatikan perbedaan hasil jepretan dengan dan tanpa filter. Tanpa filter tampak lebih menarik, dengan semburat kuning muda. Begitu filter dipasang, langsung menjadi hitam putih.

Saya tidak berani berlama-lama memotret tanpa filter, karena semua referensi yang saya baca mengatakan sinar matahari yang terik bisa merusak sensor camera, meskipun terus terang saja saya agak meragukannya. Untungnya saya lagi tidak sedang iseng untuk membuktikan keraguan saya :).

Dua foto berikut adalah hasil jepretan Sony A7R Mark II dengan lensa FE 3.5 – 6.3 / 24 – 240.

Pertengahan GMS

(Sony A7RII – ND8 – 24 mm)

Gak kelihatan apa2 kalau tidak di zoom, mirip seperti cacing aja 🙂

SONY 89% 2

Pertengahan GMS

(Sony A7RII – ND8 – 240 mm)

Ini hasil maksimum zoom (240 mm)… hanya seperti ini… sedihhh…

SONY 89% 3

Masalah paling sulit memotret Gerhana adalah membuat focus. Karena sinar yang sangat menyilaukan, camera sekelas A7R pun kesulitan. Autofocus berulang kali gagal, berulang kali ngeeekk ngggokkk ngeekk ngoookk mencoba refocusing, sehingga akhirnya saya lebih banyak menggunakan manua focus. Itupun saya tidak yakin apakah sdh benar2 terbaik mengingat kecilnya obyek.

Berikut ini adalah hasil jepretan P900 dari minimum hingga maximum zoom.

11

12

13

14

15

16

Berikut adalah hasil kompilasi foto dan video yang saya edit seadanya. Pembaca perhatikan pergerakan bulan yang pada awalnya mulai menutupi matahari dari atas kemudian perlahan-lahar bergeser, sehingga ketika mencapai puncak gerhana malah bergerak dari kiri ke kanan.

Perhatikan juga foto yang saya pasang ketika GMS mencapi puncaknya, langit masih benderang, padahal matahari sudah tertutup hampir 89%. Kita yang tidak tahu kalau ada gerhana, paling mengira langit sedang mendung, padahal bagian yang terlihat tinggal 11%. Luar biasa sekali ciptaan Tuhan satu ini, sinarnya benar2 luar biasa terang…

 

Bagus nggak pembaca?

Menurut saya kok tidak ada istimewanya ya? Tidak ada warna, hanya hitam putih… Mungkin perlu filter khusus yang lebih baik untuk mendapatkan hasil yang lebih maximum, dengan harga yang mahal tentunya, namun untuk apa? Kecuali kita memang pemburu Gerhana, buat apa membeli peralatan seperti itu. Atau sayanya aja yg tidak bisa memotret… ini lebih masuk akal sih… 🙂

Namun secara logika, apapun lensanya kalau dipasangi filter ND1000, yang hampir hitam legam itu, apalagi menggunakan bagian hitam dari X-Ray, pastilah warna2 tidak akan tembus. Dan hasilnya more or less akan seperti di atas.

Hasil yang luar biasa hanya tampak, pada saat bulan menutupi matahari seratus persen, pada saat terjadinya Gerhana Matahari Total seperti yang saya lihat di beberapa video di youtube.

Katanya, katanya lho, keindahan GMT baru terasa saat munculnya Mutiara “Baily’s Bead” berupa cahaya matahari yg tampak bak untaian mutiara menjelang dan sesudah gerhana total. Kemudian sekitar 15 detik sebelum matahari tertutup bulan secara penuh, ketika muncul yang disebut Cincin berlian berupa terobosan cahaya korona matahari di pinggiran bulan. Dan ketika mahkota atau korona matahari muncul ketika bulan secara penuh menutupi matahari.

Semua itu hanya terjadi dalam hitungan detik saja. Jika cuaca tidak mendukung dan atau peralatan tidak memadai…lebih baik kita nonton TV di rumah, malah lebih jelas… wkwkwk… So bagi yang tadi pagi terpaksa melewatkan GMS, gak perlu terlalu kecewa ya… 🙂

Demikian sharing saya terhanyut arus hiruk pikuk Gerhana Matahari Total… semoga memberikan wawasan baru bagi pembaca tercinta.

 

Salam,

 

Guntur Gozali,

http://www.gunturgozali.com

Jakarta, Kebon Jeruk,

Rabu, 9 Mar 2016, 17:15

 

 

 

5 thoughts on “Terseret Hiruk Pikuk Gerhana…

  1. Very nice post buat tombo mangkel krn gak bisa lihat GMT (lagi berobat ke Malaysia pak)…
    Btw kalo di GMS spt Jakarta, kobong2an korona matahari itu kenapa gak terlihat ya…

    • Terima kasih komentarnya mba Tiara.

      Kobong2an korona gak terlihat karena matahari tidak tertutup 100% oleh Dewi Bulan, sehingga sinar matahari, yang meskipun tinggal 11% itu, masih luar biasa terangnya.
      Korona hanya tampak kalau GMT, sehingga pancarannya yang seperti kobong2an itu, tampak terpancar di pinggiran piringan bulan/matahari yg sedang bersatu.
      Next time harus ikut berburu GMT… :)…

      Salam,

  2. Sori komennya OOT Pak,

    saya malah gak terlalu ngurusin Gerhana pak, justru lebih tertarik pada perkembangan Google DeepMind Vs Lee Sedol (game pertama 9 Maret), dimana akhirnya ada AI yang mampu mengalah kan manusia dalam permainan IGO, di tahun 1997, AI sudah mampu mengalahkan Gary Kasparov (waktu itu juara dunia catur). Dan sekarang AI menang di Game 1 (rencana 5 Game) lawan Lee Sedol (Master GO internasional) . menurut saya ini Sebuah kemajuan untuk Machine Learning Algorithm, yang menimbulkan pertanyaan berikutnya apakah AI akan menggantikan pekerjaan manusia kembali (seperti halnya revolusi Industri yang membuat modernisasi pabrik yang menyebabkan buruh kehilangan pekerjaan). Mungkin Pak Guntur bisa ngulik2 mengenai hal ini pada tulisan blog berikutnya.

    • Terima kasih komentarnya Victor.

      Nonton GMT/GMS kan cuma sebentar aja… boleh dong DeepMind vs Lee Sedolnya di break bentaran, atau gak bisa bangun pagi nih yaaa… hehehe…

      Machine Learning memang lagi hot di US. Saya pernah ikuti salah satu kuliah online di Stanford, mabok saya… gak nyampe ilmunya… Jadi saya serahkan ke anak2 muda aja deh, gantian Victor yang tulis blognya, saya nulis topic yang ringan dan lucu aja ya… 🙂

      Salam,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s