Beberapa waktu lalu, tiba2 salah satu group chat saya yang biasanya sepi, sekonyong-konyong bergairah, sedari pagi tang ting tung bertubi-tubi hingga saya tidak tahan dan akhirnya saya silent.
Malam hari setelah saya agak senggang, iseng2 saya tengok group yang sedang bergairah ini :). Saya baca dari awal, ternyata penyebabnya adalah gara2 salah satu teman mem-broadcast resep herbal yang ‘katanya’ bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menurunkan segala macam gangguan darah seperti triglyceride, cholesterol, diabetes dll dll. Tentu diawali dengan kesaksian orang yang pernah terselamatkan oleh ‘ramuan’ itu.
Diskusi resep herbal ini kemudian berkembang menjadi diskusi berbagai macam resep herbal lain yang juga ‘katanya’ bisa menyembuhkan berbagai penyakit, terutama penyakit modern yang menyerang hampir sebagian masyarakat yang doyan ‘nyonyo’ alias mengunyah :). Apalagi kalau bukan diabetes, triglyceride, cholesterol, SGOT/SGPT, asam urat dll dll itu.
Saya yakin sebagian besar dari pembaca yang join di berbagai group chat pernah menerima “broadcast herbal recipes” alias “resep broadcast” seperti ini. Maaf saya tidak tahu apa istilahnya, jadi kita pakai nama “resep broadcast” saja ya, resep tidak jelas asal usul dan penelitian ilmiahnya, yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit melalui “broadcast” :).
Saya sendiri sudah lama mempercayai dan mencoba berbagai macam “resep broadcast” ini, mulai dari Juice KWA (Kentang – Wortel – Apple), Daun Afrika Selatan, biji mahoni, dll… Masih beberapa lagi yang tadinya pingin saya coba seperti kolang kaling tapi say batalkan seperti buah Okra (entah benar tidak tulisannya ini), daun seledri, kolang kaling dll dll dari koleksi “resep broadcast” saya.
Semua pola broadcastnya hampir sama, dimulai dari kesaksian seseorang yang sudah menderita suatu penyakit menahun, sudah dalam taraf yang sangat parah, sudah berobat kesana kemari atau sudah dinyatakan sebagai ‘terminal illness”, kemudian setelah mencoba resep ini/itu, sembuh total, bahkan sudah diperiksa oleh team medis melalui pemeriksaan ini itu.
Hal ini memberikan impact yang luar biasa bagi saya, meskipun saya tidak mengenal orang yang memberikan kesaksian itu, saya tanpa ragu mempercayainya… dan ikut2an membroadcastnya, sekaligus juga mencobanya. Mantep kan… :).
Namun sejauh ini belum ada satupun yang saya coba memberikan hasil seperti “promosi” yang saya baca atau dengar itu. Mungkin karena kurang lama mencobanya, atau mungkin juga karena dosisnya tidak mempan buat saya. Atau mungkin badan saya yang berbeda komponennya dengan yang memberikan kesaksian :).
Meskipun belum ada yang berhasil, saya tidak kapok juga mencobanya. Saya kok merasa lebih aman mengkonsumsi “resep2 broadcast” yang notabene termasuk kategori herbal ini dibandingkan dengan obat resep dari dokter yang katanya mengandung campuran bahan kimia, yang bisa mengakibatkan side effect bermacam-macam jika dikonsumsi jangka panjang.
Perasaan, perasaan lho ya, obat2an herbal ini tidak berbahaya bagi tubuh, seperti halnya jamu2an atau ramuan traditional dari sinshe2 itu. Mungkin karena sejak kecil saya sudah terbiasa dicekoki obat2an sinshe oleh orang tua saya.
Saya sendiri sebenarnya tidak mengidap penyakit berat, bahkan hasil pemeriksaan darah saya tidak terlalu buruk hingga umur saya mulai berkepala 4. Ketika umur menginjak kepala 4, pelan2 gula darah mulai menanjak, cholesterol yang dulunya aman2 saja mulai ikut2an, demikian juga trigliceryde dll, pada kompakan naik2 ke puncak gunung :).
Semakin umur bertambah, maka hasil pemeriksaan lab sayapun mulai berwarna-warni seperti pelangi… yang alangkah indahnya… wkwkwk… Dokterpun mulai meresepkan obat2an untuk mencegah warnanya semakin indah :). Namun karena pikiran bahwa obat2an itu mengandung bahan2 kimia yang bisa menimbulkan effek jangka panjang, saya takut mengkonsumsinya berlama-lama.
Setiap kali satu resep habis saya konsumsi, saya berhenti, dan mulai mencoba-coba koleksi “resep broadcast” yang saya terima. Malah lebih sering, di tengah2 treatment, saya berhenti, atau mencoba-coba untuk mengurangi dosisnya. Misalnya sehari harus minum 2 kali saya kurangi jadi 1 kali, di tengah2nya saya kombinasi dengan “resep broadcast” itu tadi.
Hal ini menyebabkan hasil pemeriksaan darah saya jadi ajrut2an, kadang bagus, kadang berwarna-warni. Kadang biru, kadang merah… wkwkwk… Untungnya dokter yang saya datangi orangnya sabar sekali, jika tidak, saya langsung disuntik formalin, biar awet sekalian wkwkwk…
Kebandelan saya ini baru berakhir sekitar awal tahun ini gara2 keisengan saya juga mempromosikan “resep broadcast” ini.
Begitu saya memperoleh salah satu “resep broadcast” dengan kesaksian yang sangat meyakinkan, tanpa ragu saya broadcast ke salah satu group saya yang kebetulan salah satu membersnya sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia peralatan medis.
Mungkin karena sudah sebal dengan kegemaran saya memposting “resep bradcast”, dia akhirnya menanyakan ke saya begini:
“Gun, kamu kok percaya sih dengan resep2 tidak jelas seperti itu? Kenapa kok gak ikuti saran dokter saja daripada mencoba-coba resep2 tidak jelas seperti itu?”
Sampai disini saya masih menganggap ini orang belum terbuka pikirannya. Sirik aja kali :). Namun kalimat berikutnya benar2 membuat saya bertobat. Silakan simak baik2:
“Dokter kan memberikan resep atas obat2an yang telah melalui uji klinis bertahun-tahun, diuji coba selama bertahun-tahun juga dan hanya bisa dijual jika memperoleh ijin lembaga yang berwenang seperti FDA atau BP-POM. Oleh karena itu diketahui apa saja side effect dari obat tersebut untuk pasien2 tertentu.”
Hmmm… betul juga ya. Kebetulan saya pernah membaca betapa sulitnya proses untuk bisa mendaftarkan obat2an ini, apalagi di US. Bahkan di film2 sering diceritakan betapa rahasianya formula obat2an itu, karena jika sampai berhasil disetujui oleh FDA, perusahaan itu bisa kaya mendadak.
Logika saya mulai bekerja… betul juga… betullll juga…
Dia masih melanjutkan:
“Sedangkan “resep broadcast” ini, tidak ada yang melakukan uji klinis terhadapnya. Dosisnya tidak jelas. Implikasi terhadap orang dengan penyakit atau alergi tertentu tidak pernah disebutkan. Lha kok kamu percaya sihhh???”
Dhieeenggggg… kepala saya seperti dipalu godam…
Iya ya… bener juga.
Kenapa saya bisa percaya “resep broadcast” yang tidak jelas juntrungannya itu? Siapa tahu ada yang memiliki motif ingin menjual produk mereka. Atau bagaimana kalau ada yg iseng mengutak-atik komposisi resep dengan menambah atau mengurangi dosis atau komponennya? Misal: 2 daun A ditambah 3 buah B, diganti jadi 3 daun C ditambah 4 biji D… alih2 mau kurus jadinya malah gajah bengkak wkwkwk…
Selain itu, tidak pernah ada dosis yang jelas, misalnya: 2 – 3 lembar daun digodok dengan segelas air, dididihkan hingga tinggal ½ gelas. Lha, daun ada yg lebar ada yang kecil, ada yg muda ada yang tua, siapa tahu berbeda khasiatnya.
Ketika saya mencoba khasiat daun afrika selatan, aturan pakainya sederhana: godok atau kunyah beberapa lembar daun setiap hari dengan tambahan: sesuaikan dengan kebutuhan, dan berhati2 kalau tekanan darah drop terlalu cepat. Itu saja petunjuk yang saya peroleh.
Saya kemudian memesan bibitnya di salah satu website, dan menanamnya di rumah hingga mulai tumbuh daun. Kemudian saya mencoba mengunyah beberapa helai setiap hari (lupa saya berapa helai), namun yang saya kaget setelah beberapa bulan, daunnya bisa tumbuh lebih besar dari telapak tangan saya. Saya sangat terkejut ketika pembantu saya menghidangkan daun raksasa itu di meja saya. Sampai saya tidak berani mengunyahnya wkwkwk…
Juga tidak jelas side effect nya, siapa tahu daun atau tanaman tertentu tidak cocok untuk orang dengan golongan darah tertentu atau dengan kondisi kesehatan tertentu. Seperti halnya obat2an tertentu tidak boleh untuk wanita hamil dlsb.
Pembaca tentu pernah memeriksakan diri ke dokter dong, sebelum memasuki ruang periksa, kita ditimbang, diukur tinggi badan dan diukur juga tekanan darah saat itu. Kemudian ketika dokter hendak meresepkan obat, si pak atau bu Dokter menanyakan mengenai alergi obat dlsbnya? Semua itu data dan pertanyaan itu tentu berhubungan dengan khasiat dan efek samping dari obat yang akan diresepkan.
Dulu ketika anak2 saya kecil, mereka hampir setiap bulan diserang batuk atau pilek. Sedemikian seringnya sehingga istrik saya hafal dengan macam resepnya, yang berbeda hanya milligram campuran obatnya, yang ternyata setelah dia pelajari, berhubungan dengan berat badan anak2 saya. Jadi tidak bisa sembarangan.
Bagaimana dengan resep broadcast? Sejauh saya tahu, sama sekali tidak mempertimbangkan hal2 seperti berat badan, kita jantungan apa nggak, lagi berbadan dua apa nggak, sedang masalah dengan ini itu apa nggak, semua digebyah uyah… dipukul rata sama seakan-akan kondisi kita sama seperti yang memberikan kesaksian terhadap resep itu.
Padahal komposisi kimia yg dikandung tanaman itu juga ada beribu atau juta macam. Ada tanaman yang jika kita tersenggol aja bisa gatal semua, ada yang kalau termakan bisa keracunan dlsb dlsb. Atau bisa juga daun2an tertentu bisa berakibat fatal bagi penderita alergi tertentu. Atau kombinasi antara 2 atau 3 macam daun bisa berakibat fatal bagi kita?
Betul tidak sih logikanya? Mudah2an betul :). Mudah2an ada dokter di antara pembaca yang tercinta, yg bersedia memberikan pencerahan atas tulisan saya ini.
Saya sih jadi merasa penjelasan teman saya ini sangat masuk akal.
Tambahan pula ketika itu, salah satu teman saya, yang kebetulan mendengar saya mengkonsumsi obat penurun cholesterol 10 mg, sudah ketakutan dengan segala side effectnya, ikutan nimbrung. Dia mengatakan bahwa suaminya, sudah meminum obat sejenis sejak kuliah dulu, berarti sudah kurang lebih 35 tahun lalu, dengan dosis 40 mg… dan hingga sekarang baik2 saja tuh, bahkan tampak sangat segar (kebetulan saya mengenal suaminya).
Sejak itu, sayapun kembali ke dokter saya, mengaku dosa kalau selama ini obatnya tidak saya minum secara teratur, dan minta dibuatkan resep. Dan saya mulai meminumnya secara teratur hingga saat ini.
Saya menuliskan hal di atas bukan karena ada pesan sponsor dari pabrikan obat lho ya :). Atau lagi sirik atau mengatakan bahwa ramuan / resep tradisional itu buruk. Tidak, sama sekali tidak. Saya hanya khawatir, belum tentu “resep broadcast” yang cocok bagi satu orang, cocok juga untuk semua orang. Jangan di gebyah uyah (hantam kromo).
Saya hanya berharap pembaca lebih berhati-hati serta secara bijaksana memilah dan memilih mana “resep broadcast” yang paling tepat. Itu saja. Karena kalau sampai ada efek samping, tidak akan ada yg bertanggung jawab, pergi ke dokter juga mereka tidak tahu jawabannya harus bagaimana.
Nah sebelum saya tutup tulisan saya ini, saya ingin share satu “resep broadcast” lagi yang baru saya dapat, tapi manfaatnya untuk mengusir / membunuh tikus. Mungkin sebagian pembaca sudah menerimanya, monggo di skip. Bagi yang belum, silakan disimak, karena bahan yang dibutuhkan hanya KOPI… nah menarik kan… cuma KOPI…
Langkah-langkahnyapun cukup sederhana:
- Siapkan kira2 2 sendok kopi bubuk
- Carilah lubang tempat persembunyian tikus
- Masukkan/taburkan bubuk kopi kedalam lubang tikus.
- Tidak lama kemudian Tikus yang sembunyi akan muncul kepalanya, karena dia akan menanyakan: “Kopi thok? Banyu panas e endii?” (terjemahan: “Kopi doang? Air panasnya mana?”)
- Segera siramkan air panas ke kepala tikus tersebut…..😜
Bwakakak… please jangan marah ya pembaca yang budiman. Saya juga nggak marah lho ketika menerima resep ini, malah saya terbahak-bahak. Dan ketika saya re-broadcast, teman2 saya juga pada ngakak.
Kalau pembaca yang tercinta juga ngakak atau paling tidak tersenyum setelah membacanya, maka katanya orangtua dulu, itulah resep yang paling manjur, yaitu hati yang gembira… bwahahahaha…
Salam,
Guntur Gozali,
Inkarla, Cibodas,
Kamis, 10 Des 2015, 21:45
wekekekek,
resep broadcastnya manjur pak. 🙂
Saya termasuk orang yang tidak atau kurang percaya dengan segala macam resep herbal yang bersliweran didunia maya. Alasannya ya karena enggak jelas asal-usulnya…. mungkin benar berkhasiat, tapi dosisnya bagaimana? terus apa iya tidak ada efek samping. Akhirnya daripada…daripada, ya ndak pernah saya coba.
Mengenai obat dokter, betul semua sudah melalui uji klinis dan setiap obat pasti mencantumkan dampak sampingannya. Tapi sayangnya dokter di Indonesia (barangkali tidak semua), cenderung sering bermain-main dengan obat lebih karena ingin mendapatkan nilai tambah (baca: keuntungan) dari pabrik obat. Itu saya lihat sendiri dari ipar saya yang sering wira-wiri keluar negeri berlibur dibayarin sebuah pabrik obat. Rasanya tidak mungkin pabrik “berbaik hati” memberikan bonus liburan kepada ipar saya kalau dia tidak “berprestasi” kepada si pabrik obat.
Korban akibat keracunan obat yang diberikan dokter dialami bibi saya, yang memang sedang sakit (saya lupa sakitnya apa). Dia bahkan sampai sudah berpamitan kepada kami dan mohon maaf kalau banyak salah. Tapi rupanya Tuhan belum berniat memanggilnya, maka dikirimlah sepupu yang kebetulan pimpinan rumah sakit di pulau Penang, negara jiran. Saat sang sepupu berlibur ke Jakarta, dia kaget melihat kondisi sang bibi yang sudah parah dan pasrah.
Singkat cerita, bibi kami dibawanya pulang ke Penang untuk kata si ipar, akan coba diobati. Setelah 3 bulan, bibi kembali ke Jakarta dalam keadaan segar bugar. Saat bertemu, saya minta bibi cerita mengenai pengobatannya sampai akhirnya pulang dalam keadaan sehat. Apa yang dikatakan sang bibi kami itu?…. dia bilang saya tidak diobati. Yang ada bahkan seluruh efek obat yang pernah diberikan dibersihkan. Karena menurut ipar kami, si bibi tidak sakit, tetapi keracunan obat-obatan dari dokter.
Jadi obat dokter tetap harus diwaspadai… yang terbaik, bila sakit dan setelah ke dokter tetap tidak sembuh, sebaiknya melakukan “second opinion” ke dokter lain. Takutnya ada salah diagnosa atau lainnya. Bagaimanapun juga dokter tetap manusia