Siapa yang tidak pernah mendengar Kawah Ijen yang terkenal itu? Saya rasa hampir semua pembaca pernah mendengar, bahkan mungkin sudah mendakinya. Saya juga, tapi baru sekedar mendengar saja, belum pernah mendaki apalagi menuruni Kawahnya, hingga tanggal 24 Desember 2015 lalu.
Keputusan saya untuk mendaki Ijen dan menuruni kawahnya saya buat seminggu sebelumnya, keputusan yang sangat mendadak karena sebenarnya Ijen bukan tempat yang menjadi salah satu wish list untuk saya kunjungi. Namun karena tiba2 istri saya mengajak saya ber Natal ria di Jember bersama dengan kedua orang tuanya, tiba2 pop up di kepala saya ide untuk sekalian mengunjungi salah satu tempat wisata di ujung timur pulau Jawa ini.
Sebenarnya saya sudah berkali-kali berkunjung ke Jember, bahkan sudah sejak puluhan tahun lalu. Namun tidak pernah terlintas sekalipun ide untuk mendaki Ijen, meskipun nama Ijen ini sudah singgah di telinga saya sejak jaman kuliah dulu.
Ijen mulai masuk menjadi salah satu wish list tempat yg akan saya kunjungi, setelah seorang teman saya yg telah lama tinggal di US ketika berkunjung ke Indonesia, menyempatkan diri bersama keluarganya mendaki Ijen hanya untuk melihat blue fire. Sejak itu Ijen mulai menarik perhatian saya meskipun bukan di urutan atas.
Sejak mendengat blue fire ini, saya mulai mencari-cari info ke teman2 dan browsing2, tetapi ternyata tidak banyak juga yang mengetahuinya. Saya malah memperoleh info bahwa blue fire ini disebut2 sebagai salah satu dari dua fenomena alam yang unik di dunia!. Bahkan salah satu photographer National Geographic asal Perancis, selama beberapa tahun memanjat Ijen untuk mendokumentasikan fenomena blue fire ini (baca: http://news.nationalgeographic.com/news/2014/01/140130-kawah-ijen-blue-flame-volcanoes-sulfur-indonesia-pictures/)
Setelah mengetahui kelangkaan blue fire, saya baru tertarik untuk melihatnya langsung, ternyata… hebat juga blue fire ini pikir saya, kelas dunia juga. Saya pikir worth it lah untuk ditengok . Sayapun memutuskan untuk memburunya.Saya mulai mencari-cari info lebih detail mengenai lokasi Kawah Ijen, tempat terdekat memulai pendakian, beratnya medan, peralatan yg diperlukan dslb… Sayangnya informasi yg saya peroleh tidak lengkap, sepotong2. Oleh karena itulah setelah saya mengalami sendiri jatuh bangun mendaki puncak dan menuruni kawahnya, saya memutuskan untuk menuliskan pengalaman saya ini agar pembaca yang belum pernah ke Ijen bisa memperoleh info lebih lengkap sehingga berkesempatan menikmati blue fire yang terkenal itu.
Tujuan pendakian
Menurut saya, pembaca perlu menentukan terlebih dahulu tujuan mendaki Ijen, karena tidak semua orang sama keinginannya kesana. Menurut saya, setelah mengalami sendiri, mendaki, menuruni dan melihat kondisi pendakian, ada 3 hal yg bisa kita lakukan disana.
Pertama, ini yang tampaknya paling banyak dilakukan oleh pasangan muda yang lagi berpacaran atau mendaki bersama keluarga, adalah menikmati pemandangan alamnya. Tidak penting blue fire, tidak penting juga sampai ke puncak atau tidak, yang penting rekreasi. Kalau capek ya berhenti di pinggir jalan, dan membuka bekal yang dibawa dari rumah. Untuk ini pendakian biasanya dimulai pada pagi hari, bahkan beberapa yang saya temui baru memulainya ketika saya sedang turun sekitar pukul 9 pagi.
Kedua, mereka yang hanya ingin menikmati pemandangan kawah Ijen dari puncak Ijen, tanpa harus menuruni kawahnya. Pendakian bisa dimulai dini hari supaya tiba di puncak sekitar matahari terbit atau sekitar pukul 8 pagi hari atau lebih siang.
Ketiga, bagi mereka yang ingin berburu blue fire seperti saya. Pendakian HARUS dilakukan dini hari, dan HARUS tiba di kawah sebelum matahari terbit, karena jika matahari sudah melek matanya, maka si blue fire tidak akan tampak lagi. Untuk tujuan inilah saya menuliskan posting berikut ini.
Waktu paling tepat mendaki Ijen
Ketika saya mendaki di bulan Desember lalu, sebenarnya bukan waktu yang paling tepat. Pertama, Desember adalah musim hujan sehingga membuat kami khawatir jika pada saat pendakian turun hujan lebat. Akibatnya kami harus lebih repot mempersiapkan jas hujan, plastic penutup ransel kamera dan juga ransel drone yang saya bawa. Belum lagi jaket, celana dan sepatu tahan air agar tidak menggigil di puncak. Untungnya saya tidak mengalami hal ini, karena jika sampai kehujanan pada di puncak Ijen, saya tidak terbayang bagaimana mengatasinya.
Kedua, di bulan Desember sepertinya matahari terbit lebih awal, sehingga kita harus tiba di kawah secepat-cepatnya. Mengapa? Karena loket penjualan tiket masuk dibuka sekitar pukul 2:00. Pada bulan Desember, Kawah Ijen sudah terang sekitar pukul 4:30. Artinya kita hanya punya 2.5 jam untuk antri tiket, naik ke puncak, dan turun ke kawah.
Mungkinkah itu? Nanti kita bahas di belakang.
Jadi kapan waktu paling tepat menjelajahi Kawah Ijen?
Menurut guide yang saya pakai, dan informasi dari beberapa orang yang saya temui, mereka menyarankan sekitar Juni – Agustus. Usahakanlah bepergian pada bulan2 itu…
Lokasi Kawah Ijen
Lokasi Kawah Ijen tadinya saya pikir dekat dengan Jember, ternyataaa… jauhhh bokk… Lebih dekat ke Banyuwangi. Sayangnya ketika itu, saya sudah terlanjur membeli tiket pesawat Jakarta – Jember, dan tidak bisa diganti, karena belinya tiket dengan kelas paling murah… :). Jadi ya terpaksa harus berangkat dari Jember instead of Banyuwangi.
So bagi pembaca yang berminat ke Kawah Ijen lebih baik fly ke Banyuwangi yang berjarak kurang lebih 1 – 1.5 jam menggunakan mobil menuju parkiran mobil di Paltuding kawasan Kawah Ijen. Jika pembaca berkendara dari Jember, membutuhkan waktu kurang lebih 3.5 – 4 jam.
Penginapan
Pembaca bisa mencari berbagai jenis penginapan di sekitar Ijen melalui berbagai macam travel site yg menawarkan berbagai type hotel, mulai dari yang paling murah hingga overprice seperti yang saya gunakan. Atau menginap di Banyuwangi yang berjarak sangat dekat dengan Paltuding, tempat pemberhentian / parkir mobil sebelum mulai mendaki. Bahkan bagi mahasiswa/pelajar, saya melihat beberapa kemah terpasang di lapangan Paltuding, sehingga bisa langsung mendaki ketika loket penjualan tiket dibuka.
Saya terpaksa harus menginap di hotel karena saya pikir saya harus beristirahat sebelum mendaki. Perjalanan saya dari Jakarta dimulai dari bangun pagi pukul 3 pagi untuk mengejar pesawat pukul 5.30 ke Jember, kemudian menggunakan mobil hingga hotel Ijen Resort & Villas yang berjarak kurang lebih 1.5 jam dari Paltuding.
Lokasi camp site di Paltuding
Tampak di latar belakang beberapa kemah didirikan
Persiapan pendakian
Dari seluruh tulisan saya ini, mungkin bagian ini adalah bagian yg paling penting dibaca, karena meskipun pendakian ke Ijen dan menuruni kawahnya tidak termasuk salah satu yang paling berbahaya di dunia. Namun persiapan yang baik akan memastikan kita tiba dengan selamat dan menikmatinya dengan lebih baik.
Saya tadinya berpikir persiapan yg saya lakukan terlalu berlebihan dibandingkan dengan apa yg dipakai / dibawa pendaki yang saya lihat di Youtube, namun ternyata tindakan “berlebihan” inilah yang memungkinkan saya turun ke kawah bersama kurang lebih 50 orang saja yang bisa mencapainya, dibandingkan dengan mungkin seribuan lebih pengunjung yang kesana ketika itu.
Berikut perlengkapan yang perlu dipersiapkan diluar persiapan fisik (saya rasa pembaca lebih tahu mengenai hal ini, namun nanti saya akan ceritakan seberat apa dengan dibandingkan terhadap saya yg amatiran ini):
- Jaket tebal, topi dan sarung tangan
Jaket tebal mutlak diperlukan, kecuali memang tahan dingin. Suhu ketika saya mulai mendaki hanya sekitar 15 derajat Celcius, namun semakin tinggi semakin dingin, saya rasa sekitar 10 an derajat Celcius. Jika angin bertiup kencang, wah bisa menggigil kedinginan. Pada bulan2 tertentu katanya bahkan hingga 0 – 5 derajat Celcius.
Akan sangat membantu jika menggunakan jaket waterproof dan ada hoodnya (tutup kepala). Pada lokasi2 tertentu yang terbuka, ketika angin bertiup dan kita sedang kelelahan serta berkeringat, tiupan angin sangat mengganggu. Hood akan sangat membantu untuk melindungi leher hingga kepala kita.
Sarung tangan dan topi juga sangat membantu.
2. Celana panjang tebal
Gunakan celana panjang yang tebal, syukur kalau memiliki yang waterproof, just in case hujan. Jika memiliki Long John (celana monyet) akan sangat membantu untuk menahan hawa dingin di puncak IJen.
3. Jas hujan, jika mendaki ketika musim hujan
Saya cukup beruntung ketika saya hendak naik, langit sangat cerah sehingga saya bisa mengurangi beban dengan meninggalkan jas hujan di mobil.
4. Sepatu hiking
Menurut saya sepatu ini sangat penting terutama untuk medan di Ijen. Kenapa? Karena jalannya berpasir sehingga sangat licin. Hiking shoe yang baik akan menapak dengan sangat kuat di jalan, dan juga waterproof.
Ketika saya mendaki waktu itu, kondisi jalan lumayan baik, karena beberapa hari sebelumnya hujan, sehingga tanahnya padat. Jika tidak, maka jalan setapak akan berpasir dan berdebu.
Beberapa pendaki yang menggunakan sepatu biasa atau bahkan ada yang hanya menggunakan sandal jepit beberapa kali harus merasakan bokongnya mencium tanah. Ya tidak apa2 sih kalau masih muda, jatuh berkali2 juga tidak terasa, namun untuk orang seumur saya mending nggak deh .
Oleh karena itu belilah sepatu hiking yang proper, yang harganya sekarang sudah lumayan terjangkau dibandingkan dengan merek import. Saya membelinya sekitar RP. 500 ribu, dan sangat bersyukur menggunakan. Jika tidak, mungkin saya tidak bisa turun ke kawah.
Contoh Hiking shoe yg melindungi kaki hingga pergelangan kaki
5. Masker
Ini perlengkapan wajib untuk ke Ijen, tidak bisa ditawar-tawar, terutama jika berniat untuk turun ke Kawah. Saya sempat bingung ketika hendak membeli jenis masker yg akan saya bawa, karena sebagian pendaki yang saya lihat di Youtube menggunakan masker gas dengan filter, tapi banyak juga yang hanya menggunakan masker tipis yang biasa dipakai orang jika flu/batuk. Bahkan beberapa dengan gagah berani tidak menggunakan penutup hidup sama sekali.
Jangan menggunakan mask seperti ini
Ketika berada di ACE Hardware, saya sempat bingung, berkali-kali mengambil dan kemudian mengembalikan masker dengan filter yg mirip dengan yg digunakan oleh polisi anti huru hara itu . Saya ragu2, saya membayangkan saya dan istri tampil aneh sendiri pakai masker seperti foto di bawah sementara yang lain pakai masker tipis seperti di atas :).
Namun akhirnya saya membeli juga masker dengan filter seperti tampak di bawah. Supaya tidak terlalu memalukan saya membeli dua macam, satu dengan twin filter, satu lagi single filter. Akan tetapi belakangan, saya malah bersyukur membeli masker di bawah ini… jika tidak… tidak akan tahan menghadapi asap belerang yang luar biasa baunya…
Twin Filter Mask with Cartridge
Single Filter Mask
Jangan lupa juga membeli cartridge nya. Ada beberapa macam cartridge pilihlah yg untuk gas beracun. Harga mask hanya sekitar 60 an ribu, cartridge juga mungkin sekitar 50 an ribu.
6. Goggle
Untuk menambah kegilaan saya, setelah memilih masker seperti di atas, saya juga membeli Goggle seperti di bawah, karena dari beberapa tulisan yang saya baca, asap belerang akan terasa pedih di mata. Hmmm… kembali saya ragu2, saya membayangkan tampang saya menggunakan masker di atas plus goggle seperti di bawah. Pas dahhh … mirip pasukan anti huru hara wkwkwk…
Tapi karena harganya ramah di kantong (sekitar 50 ribu an juga rasanya), ya sudah lah beli juga, perkara nanti dipakai atau tidak, lihak sikon di lapangan deh .
Goggle murah meriah yg sangat bermanfaat…
7. Head Lamp
Jika pembaca berencana untuk melihat blue fire, maka pendakian harus dilakukan dinihari sekitar pukul 2:00 pagi. Pada saat itu langit masih gelap gulita, bahkan ketika saya mendaki yang jatuh pada bulan purnama, saya tidak bisa melihat jalanan di depan saya tanpa lampu.
Ini yg tampak ketika saya memotret istri saya 🙂
Maka kita wajib menggunakan lampu senter atau flash light atau kalau tidak mau repot memegang senter, pakailah head lamp. Harga flash light / head lamp sangat bervariasi dari hanya beberapa puluh ribu hingga ratusan ribu, tergantung selera.
Head lamp seperti di bawah hanya Rp. 35.000,-
8. Tongkat atau walking/trekking poles.
Saya tidak menyangka benda satu ini amat sangat menolong ketika harus menuruni Kawah Ijen, demikian juga ketika hendak mendaki kembali.
Awalnya saya pikir tongkat ini tidak akan membantu banyak, sehingga satu dari dua tongkat yang saya beli, saya tinggal di Jakarta. Namun tepat ketika saya hendak menuruni kawah, istri saya memberikan tongkat yg dia pakai ke saya.
Fiuhhh… untung saya pakai, ternyata tongkat yg tampak sederhana ini amat sangat membantu saya menuruni kawah dan juga ketika naik. Kondisi bebatuan kawah yang tidak stabil, badan kelelahan, asap tebal membuat kita mudah oleng kehilangan keseimbangan. Tongkat ini sangat membantu menjaga keseimbangan dan mengurangi beban terhadap lutut… amat sangat membantu…
Jadi beli dan bawalah… terutama bagi yang dengkulnya sudah klotekan seperti saya wkwkwk…
O iya, benda seperti piringan yg dipasang di ujung tongkat itu, yg sejak saya beli tidak saya mengerti fungsinya, ternyata berguna pada saat kita berjalan di atas tanah atau pasir.
9. Air minum
Jangan lupa membawa air minum yg cukup karena pada saat udara dingin kita tidak merasa haus, padahal kita berkeringat karena kelelahan, sehingga jika kita tidak minum maka kita bisa dehidrasi. Saya membawa hydration pack dengan kapasitas 2 liter plus sebotol Aqua 500 ml dan Milo Kotak.
Jika memiliki hydration pack spt ini akan sangat membantu
10. Snack bar / camilan
Selama pendakian, tidak ada warung, Alfa/Indomart apalagi resto di sepanjang perjalanan :). Jadi isilah perut sebelum mendaki, atau bawalah beberapa potong snack bar / camilan / biscuit, just in case dibutuhkan karena kelelahan dan kelaparan.
Itulah kira2 apa yang harus kita persiapkan sebelum mendaki. Tentu saja juga persiapan fisik yang nanti akan saya ceritakan bagaimana sih saya mempersiapkan fisik saya untuk pendakian ini.
Pendakian
Seperti sudah saya tuliskan di bagian atas, pengunjung ke Ijen memiliki tujuan beragam. Tujuan saya ke Ijen tidak lain dan tidak bukan hanyalah ingin melihat bluefire yang terkenal itu. Namun ternyata untuk bisa melihat bluefire ini, kita harus rela untuk sedikit menderita. Kenapa?
Bluefire adalah gas sulfur (sulphuric gas) yang keluar dari retakan2 di dalam kawah pada suhu 600 derajat Celcius. Gas ini akan tampak menyala berwarna biru hanya jika kondisi sekitarnya gelap. Oleh karena itu kita harus tiba di Kawah Ijen sebelum matahari mulai terbit, karena semakin terang langit, semakin pudar warna biru gas sulfur ini.
Yang menjadi masalah dan perlu perhatian kita adalah loket tempat penjualan tiket masuk ke lokasi kawah tidak menentu jam bukanya (berdasarkan info dari petugas hotel tempat saya menginap). Beberapa petugas Hotel tempat saya menginap yang saya tanya tidak seragam jawabannya. Ada yang mengatakan pukul 1.30, ada yang pukul 2.00 ada juga yang berkeras mengatakan pukul 2.30 pagi.
Pembaca perlu memperhitungkan secara cermat detail rencana pendakian ini, karena jika sampai salah memperhitungkan waktu, maka perjalanan kita akan sia-sia.
Hal yg perlu diperhitungkan adalah: pertama: lama perjalanan dari tempat menginap ke Paltuding (nanti saya jelaskan di bawah), kedua: lama antrian di loket untuk membeli tiket masuk, ketiga: lama pendakian dari Paltuding hingga puncak Ijen dan terakhir waktu yg dibutuhkan untuk menuruni kawah. Jumlahkan perkiraan waktu itu dengan perkiraan terbitnya matahari pagi dengan menanyakan ke orang setempat. Ini yang tidak saya perhitungkan ketika itu.
Saya, meskipun disarankan oleh petugas hotel untuk meninggalkan hotel sekitar 1:30 atau pukul 2:00, tetap berkeras untuk berangkat lebih awal, sekitar pukul 00:30. Untung saya ngotot berangkat lebih pagi karena setiba saya di Paltuding, sekitar pukul 01:45, area itu sudah penuh sekali dengan manusia. Parkiran motor dan mobil sudah penuh sampai2 mobil yang saya bawa harus diparkir di luar area parkir.
Paltuding
Suhu udara di lokasi ini mungkin sekitar 16 derajat Celcius ketika itu, namun terasa lebih dingin oleh tiupan angin dan kondisi tubuh yang kurang prima. Sarung tangan masih belum diperlukan di lokasi ini.
Berikut foto Paltuding yang saya capture dari Google Street dan foto yang saya ambil setelah turun dari pendakian:
Memasuki area parkir Paltuding
Lapangan parkir ini penuh sesak oleh mobil pada dini hari
Setelah memarkir mobil, pertama-tama adalah antri di Toilet Umum…wkwkwk… Disana ada sekitar 4 – 6 kamar kecil yang antriannya sudah sangat panjang. Sementara saya antri, guide yg mengantar saya mengantri tiket masuk. Saya sengaja menyewa guide untuk membantu saya membawa ransel camera dan drone yang total beratnya hampir 15 kg, selain juga membantu saya menuruni kawah.
Suasana antrian tiket masuk…
Tiket masuk ketika itu, karena termasuk hari besar, hanya Rp. 7.500,- per orang (hari biasa kalau tidak salah hanya Rp. 5.000,-), plus mobil kalau tidak salah sekitar 15 atau 25 ribu rupiah, saya rasa amat sangat terjangkau untuk masyarakat umum.
Setelah memperoleh tiket maka, kita siap untuk melalui memulai pendakian bersama-sama dengan rombongan2 lainnya.
Di bawah ini adalah jalan menuju pintu masuk kawasan Kawah Ijen, dipinggir kanan ada 2 guest house yg kondisinya rusak sepertinya sdh tidak terpakai lagi, sayang sekali.
Gerbang masuk sederhana yang dijaga oleh petugas…
Setelah menyerahkan tiket kepada dua atau tiga orang petugas penjaga pintu masuk yang sangat sederhana itu, sekitar pukul 02:01 dimulailah pendakian ke Kawah Ijen. Jarak antara Paltuding ke Kawah Ijen hanya sekitar 3 km.
Saya bersama istri dan seorang pemandu mulai menapak jalanan setapak dari tanah dan pasir beserta beberapa pengunjung lain. Sekeliling kami tidak tampak apa2, gelap gulita meskipun ketika itu bulan hampir purnama.
Kami mulai bergerak perlahan-lahan berbareng dengan pengunjung lain yang rata2 datang berombongan, ada yang 10, 20 atau bahkan lebih. Sebagian besar yang datang tampak masih muda2, rata2 mungkin selevel SMA atau mahasiswa. Ada juga yang datang hanya berpasangan atau sekeluarga. Total mungkin mendekati 1000 an orang pengunjung malam itu, jumlah yang benar2 diluar perkiraan saya. Saya kira karena hari itu tanggal 24 Desember, mungkin banyak yang menikmati liburan di rumah namun ternyata saya salah total.
Serombongan demi serombongan orang mulai menyalip kami yg bergerak perlahan-lahan. Tidak perlu menunggu lama, mungkin hanya sekitar 500 an langkah, kami sudah mulai terengah-engah. Jalan yang kami lalui terus menanjak bahkan sejak kami menyerahkan tiket di pintu masuk tadi, dan terus menanjak.
Semakin lama gerakan kami semakin pelan, nafas ngos2an, keringat bercucuran (oh iya jangan lupa bawa handuk kecil) meskipun udara semakin dingin. Saya sempat menghitung, paling jauh kami hanya bergerak antara 50 hingga 100 an langkah sebelum berhenti untuk menarik nafas… melemaskan kaki… dan ngomel2… wkwkwk…
Namun kami tetap bergerak…
Tentu pembaca, terutama yg seusia saya bertanya-tanya, seberapa berat sih pendakian ini? Persiapan fisik seperti apa yang kami lakukan sebelum mendaki?
Saya gambarkan keseharian saya ya, supaya ada gambaran seberapa berat pendakian ini.
Saya sudah berumur setengah abad lebih sedikit, bukan olahragawan, bukan pendaki, bukan pelari, hanya kadang2 jalan pagi (kalau kebetulan bisa bangun pagi ), terakhir lumayan rajin olahraga cross trainer, tapi hanya mampu 45 menit per dua hari. Telapak kaki kanan kadang terasa sakit kalau berjalan jauh, namun lutut masih lumayan bagus . Nah, pembaca kira2 bisa lah mengira-ngira seberapa prima saya ya ;).
Dibandingkan dengan rata2 pengunjung yg mendaki saat itu, mungkin saya dan istri saya, berada pada TOP 5% paling tidak prima, karena selebihnya adalah pemuda/pemudi, anak2 SMA dan mahasiswa tadi. Jadi kalau saya masih bisa naik sampai puncak Ijen dan turun hingga ke kawahnya, saya rasa sebagian besar pembaca pasti lebih bisa daripada saya. Pasti dehhh…
Namun… nah ini yang lucu, meskipun kami berjalan tertatih-tatih, tiap 50 atau 100 langkah berhenti untuk mengistirahatkan kaki atau mengambil nafas, kami ternyata bisa mencapai puncak dalam kurun waktu tidak terlampau lama dibandingkan dengan anak2 muda itu lho. Sampai2 guide yang mengantar kami berulang kali mengatakan, wah bapak/ibu hebat juga bisa salip2an dengan anak2 muda itu… wkwkwk…
Kami berhenti hanya sesaat, terengah2, membetulkan nafas, membetulkan ransel dan segala yang menempel di tubuh, setelah beberapa saat, setelah nafas teratur dan jantung tidak berdetak keras, kami melanjutkan langkah kami lagi. Sedangkan anak2 muda itu, jalannya cepat, ada yang berlari-lari kecil, menyalip kami, namun kemudian mereka berhenti lama, duduk2, ngobrol sambil terengah2 juga, untuk kemudian kami salip lagi… wkwkwk…
Jadi mirip ceritanya Kura2 lawan Kelinci itu lho… bwakakak…
Beberapa kali saya godain mereka: masa yang muda kalah sama kakek2… mereka hanya terkekeh2… Alasannya: iya nih pak, gara2 si ini… atau si itu kecapekan…
Jalan yang kami lalui terus menanjak, bahkan pada beberapa bagian mencapai kemiringan 30 – 45 derajat, sehingga untuk beristirahat kita perlu mencari celah2 yang agak datar supaya benar2 bisa beristirahat. Satu2nya tempat peristirahatan adalah di Pondok Bunder, namun ketika kami mencapai tempa ini, masih tutup tidak ada yg berjualan apapun.
Istirahat dan Beli Souvenir di Pondok Bunder
Udara semakin lama semakin dingin, pada beberapa bagian yang terbuka (tidak terhalang gunung) tiupan angin membuat kepala cenut-cenut, bagian leher terasa seperti diolesi dengan air es, oleh karena itu saya menyarankan untuk menggunakan jaket yang ada hoodnya atau menggunakan scarf agar leher tidak kedinginan.
Puncak Ijen
Setelah mendaki kurang lebih 1.5 jam, saya diberitahu bahwa sebentar lagi sudah akan sampai di puncak. Bau belerang lamat2 mulai tercium, dan asap menutupi jalan. Beberapa kali saya mulai memasang masker saya, kadang saya juga terpaksa menggunakan goggle saya. Ternata goggle yang tadinya saya ragukan gunanya, sekarang menjadi sangat bermanfaat.
Pukul 03.45, kurang lebih 200 – 300 an meter mendekati tempat menuruni kawah, kami bertemu dengan serombongan pengunjung yang mulai kembali ke arah Paltuding. Aneh juga pikir saya, masa jam segitu sudah turun? Tidak tahan dengan keanehan ini, sayapun menanyakan kenapa kok sudah turun? Ternyata mereka turun karena tidak tahan dengan bau belerang dan pedihnya di mata.
Pukul 03.50, asap semakin tebal begitu kami mendekati bibir kawah. Baunya sangat menyengat dan sangat memedihkan mata. Pada saat itulah saya bersyukur dengan keputusan saya membeli masker seperti yang digunakan oleh pasukan anti teroris lengkap dengan goggle nya itu.
Sementara sebagian besar pengunjung yang hanya menggunakan masker seadanya, apalagi tanpa goggle, bersembunyi di celah2 atau cerukan2 gunung yang tidak dilalui asap, sebagian lagi terpaksa harus turun kembali, padahal jarak dari tempat itu ke tempat menuruni kawah hanya sekitar kurang lebih 200 – 300 an meter saja (lihat panah kuning di foto berikut).
Puncak Ijen… sangat terbuka sehingga terjangan asap langsung menghantam kita…
(foto saya ambil pada saat turun)
Langit yang tadinya cerah dengan rembulan hampir purnama, sekarang tidak tampak, hanya asap dengan jarak pandang kurang lebih 5 – 10 meter saja. Sebagian pengunjung ada yang tetap melanjutkan ke lokasi untuk turun ke kawah, namun lebih banyak yang putar balik. Sebenarnya tidak ada gunanya juga bertahan di tempat itu, terlalu terbuka, penuh asap, dan tidak kelihatan apa2 pada saat itu.
Kami sendiri tetap melanjutkan perjalanan menuju lokasi untuk turun ke kawah karena memang itu tujuan kami, dan kebetulan masker dan goggle kami memungkinkan kami untuk menerjang asap tebal itu. Kami tiba tepat di ujung tangga untuk turun ke kawah, kurang lebih pukul 4.00.
Ini adalah “tangga” untuk menuruni kawah (zoom in dr dasar kawah)
Ketika kami mencapai ujung tangga untuk menuruni kawah, guide kami berhenti untuk menanyakan kondisi menuju ke kawah ke teman2nya yang berada di ujung “tangga”. Beberapa saat kemudian setelah memperoleh info yang cukup dia kemudian kembali dan menyarankan saya untuk tidak turun.
Beberapa guide lain yg juga baru sampai berhenti tepat di ujung tangga untuk kemudian berbalik arah. Ada beberapa orang yg berusahan turun, setelah beberapa saat naik kembali.
Setiap kali ada yg muncul dari kawah saya tanya, bagaimana di bawah? Ada naik kembali karena tidak tahan asap, namun ada juga yg berhasil turun sampai kawah.
Hmmm… saya berdiri termenung memandangi kawah yang tidak tampak apa2 kecuali asap dan kegelapan di sekelilingnya.
Errrghhh… turun tidak ya???
Istri saya sudah sangat kelelahan dan duduk di dekat tangan menuruni kawah. Saya masih berdiri bersandar pagar di pinggir kawah sambil berhitung, mau nekat atau tidak? Turun tidak? Saya masih berdiri bingung…
Duhhh… sudah jauh2 dari Jakarta, drive dari Jember ke Paltuding, mendaki setengah mati… masa cuma begini??? Tidak habis2nya saya menyesali kesialan saya, meskipun kalau dipikir2 tidak terlalu buruk juga mengingat ketika itu kami tidak dihadiahi hujan pada saat mendaki. Kalau sampai diberi hujan, saya tidak terbayang bakal seperti apa penderitaan saya.
Beberapa menit saya tidak bisa mengambil keputusan, saya bingung.
Saya sudah kelelahan juga, kaki sudah capek dan badan serta kepala saya basah kuyup oleh keringat. Aman tidak ya? Saya tidak bisa melihat apa2, asap tebal menutup semuanya. Kalau saya turun, bagaimana dengan istri saya? Dia tampak sudah sangat kecapaian, beberapa kali dia sempat saya tinggal pada saat di tengah perjalanan tadi.
Menuruni Kawah Ijen
Terakhir ketika saya melihat ada anak muda yg baru naik dan “katanya” sempat mencapai kawah, saya memutuskan untuk turun apapun resikonya. Setelah meminta ijin ke istri saya, saya sampaikan ke guide saya. Dia sempat ragu2 tapi saya katakan sudah kepalang basah sampai sana, saya harus turun meskipun kemungkinan melihat bluefire sudah hampir tidak ada. Dia akhirnya menganggukkan kepala, dan saya minta dia menitipkan ransel drone saya ke istri saya.
Tepat sebelum saya menuruni kawah, istri saya menyerahkan TONGKAT AJAIB seperti di atas itu ke saya. Saya tadinya sempat hampir menolak, namun saya urungkan dan saya bawa. Untunglah saya bawa… tongkat ini benar2 sangat berguna saat menuruni kawah yang terdiri dari bebatuan lepas itu. Tidak ada anak tangga. Tidak ada jalan setapak. Yang ada adalah bebatuan lepas dengan ukuran berbeda-beda, sehingga jarak antara batu satu dengan yang lain tidak beraturan.
Begini medan ketika menuruni kawah
Tongkat itu membantu lutut saya yang sudah ‘klotekan’ karena umur dan juga kecapekan, sehingga beban ke lutut berkurang. Selain itu tongkat ini juga membantu menjaga keseimbangan kita, sehingga pada saat saya hampir kepleset, saya masih bisa menopang tubuh saya menggunakan tongkat ini. Fiuhhh… all and all, saya rasa berkatNYA memang masih bersama saya.
Proses menuruni kawah tidak terlalu banyak saya ingat, kami turun tergesa-gesa karena ketika itu sudah pukul 4:00 lebih, sementara saya diberitahu matahari terbit pukul 4.30. Saya turun dengan kecepatan yang ngawur, dan beruntung juga asap tebal dan masih gelap. Karena pada saat naik, dimana langit sudah terang, saya baru sadar kalau paginya saya melewati medan yang lumayan berbahaya.
Beberapa kali kami harus berhenti ketika asap menghajar kami berdua, kadang kami harus berlindung di balik batu. Guide saya yang dulu pernah menjadi penambang belerang, berkali-kali terbatuk2, padahal dia menggunakan masker yang sama dengan yang saya pakai. Sampai2 dia terheran2 kok bapak kuat banget katanya.
Saya yang tidak tahan adalah pedihnya luar biasa, sehingga menyebabkan mata berair dan hidung berair…
Kawah Ijen
Kurang lebih pukul 4.20, kami tiba di kawah… Langit yang tadinya gelap dengan sangat cepat menjadi terang… Saya masih berusaha mendekati lokasi tetesan belerang namun… it’s too late…
Saya menoleh ke belakang saya… ternyata saya turun cukup jauh juga…
Kalau dilihat dari dasar kawah… jauh juga ya… 🙂
(panah kuning itu tempat saya mulai turun)
Ketika saya tiba di kawah, langit sudah terlalu terang, bluefire yang paling besar juga padam, katanya karena beberapa hari sebelumnya terguyur oleh hujan sangat deras. Entah ini alasan supaya saya tidak kecewa atau apa, yang pasti saya tidak sempat melihatnya.
Saya kecewa, tetapi tidak terlalu kecewa juga… Paling tidak saya sudah berhasil mencapai kawahnya.
Saya cukup bangga atas diri saya sendiri… Di kawah itu, tidak banyak yang berani turun, kalau menurut perkiraan saya, paling banyak sekitar 30 atau maksimal 50 orang yang turun, dari sekitar mungkin 1000 an orang yang naik ke Ijen ketika itu.
Tidak banyak yang menuruni kawah saat itu…
Not bad… right?
Lalu apa yang saya lihat di kawah?
Pertama yang menarik perhatian saya adalah para bapak penambang belerang yang luar biasa itu (look at his smile…:), blm tentu kita bisa tersenyum spt itu) :
Mereka bekerja dari dini hari, berselimutkan asap belerang yang luar biasa bau dan memedihkan mata itu. Memecah-mecah tetesan belerang yang sudah membeku untuk dipikul naik ke atas menggunakan pikulan sederhana.
Lelehan belerang yang sudah membeku…
Guide saya mengatakan bahwa dia dulu juga pernah melakukan pekerjaan ini selama beberapa tahun. Sehari dia sanggup mengangkat hingga 80 kg dengan harga per kg berkisar antara Rp. 600,- hingga Rp. 1.000,-. Ada juga yg membuat mencetak souvenir dari belerang itu untuk dijual ke pengunjung yang datang.
Setelah mereka menambang belerang itu, mereka memikulnya hingga ke Paltuding, dengan beban kurang lebih 40 – 80 kg tergantung kekuatan fisik masing2 penambang.
Ini yg mereka lakukan setiap hari…
Saya sempat bertahan beberapa saat, sambil menahan bau dan pedihnya asap belerang untuk memvideo mereka memeras keringat mencari nafkah… Entah karena simpati melihat kerja keras mereka, entah memang karena saya lebih kuat, yang pasti guide saya berulang kali terheran2 melihat saya tetap nekat bertahan disana ;)… dengarkan komentarnya: “Kuat pak sampeyan pak”…:).
Inilah biang kerok asap tebal di atas, yg bisa menutupi seluruh kawah
Dan inilah pemandangan dari dasar kawah Ijen yang sempat saya abadikan secara amatiran:
Asap dari air belerang mulai menguap begitu matahari mulai meninggi…
Dua wisatawan asing yang terpesona keindahan kawah Ijen…
Penampakan kawah ketika asap di atas air sudah sepenuhnya menghilang
Sisi lain dari Kawah Ijen…
Setelah puas berfoto ria, saya juga dengan narsisnya minta difotokan ke guide saya supaya pembaca yakin saya memang benar2 pernah turun hingga ke Kawah Ijen… hihihi… begini penampakannya…
Mantep kan??? Bwahahahaha….
Setelah itu, sekitar pukul 6:00 kami mulai mendaki naik. Perjalanan naik benar2 menguras tenaga saya, terutama dengkul yang sudah kecapekan menahan berat badan pada saat turun tadi, selain itu juga karena mata perih, nafas sesak dan lapar…
Seperti cerita saya di atas, saya benar2 tidak menduga jika ternyata route yg dini hari tadi saya lalui adalah seperti di bawah ini:
Inilah kondisi jalan yg saya lalui ketika turun dan naik Kawah… baru jelas setelah matahari bersinar terang (click untuk melihat detail…)
Tidak terhitung berapa kali saya terengah-engah untuk mengatur nafas, melemaskan kaki, atau bersembunyi menghindari asap… termasuk berhenti berkali-kali untuk mengambil foto…
Dan satu video yang luar biasa sekali… yang kebetulan saya ambil karena kejengkelan saya atas gangguan asap yang tidak henti2nya. Pada saat saya lagi mendaki naik, ketika sekeliling saya penuh saya, tiba2 saya entah kenapa saya membalikkan badan, menghidupkan video camera saya, berdiri diam memvideo asap yang menjengkelkan itu…dan lihat apa yang ditunjukkan Ijen ke saya:
Selama pendakian yang memakan waktu kurang lebih 45 menit penuh penyiksaan itu ;), saya baru ingat sudah meninggalkan istri saya diatas diterjang asap dari sekitar pukul 4 hingga hampir pukul 7:00… wellehhh gimana tuh… :)..
Untung sesampai di atas, si doi baik2 saja, namun tentu saja khawatir dan habis2an menghirup asap belerang. Thanks to masker anti teroris yang sangat membantu… :).
Saya tidak berhenti beristirahat karena kami harus segera sampai hotel untuk check out dan kembali ke Jember. Jadi begitu bertemu istri saya, kami jalan menuju Paltuding…
Pemandangan sepanjang perjalanan turun cukup menarik… Berikut foto2nya:
Kawah Ijen tampak dari Puncak Ijen
Foto berdua dulu sebelum meninggalkan lokasi 😉
Keempat foto berikut saya jepret hanya berbeda beberapa menit… lihat gerakan asapnya… dari tertutup rapat hingga menghilang dalam sekejap
Ini adalah guide yang membantu saya membawa ransel kamera dan drone…dia sama sekali tidak terengah2 dan tidak berkeringat :)…
Ini pemandangan ketika turun ke Paltuding
Kami tiba kembali di Paltuding sekitar pukul 9:00 setelah berjalan tertatih-tatih sekitar 2 jam… Perjalanan turun membuat jari2 kaki saya sakit karena sepatu saya kurang erat mengikatnya (atau mungkin juga terlalu besar), sehingga bagian depan sepatu mencengkeram jari2 kaki saya. Beberapa kali saya harus berhenti untuk membetulkan tali sepatu. Namun sekali lagi, kami tidak pernah berhenti untuk bahkan sekedar duduk2…
Nonstoppp bro… wkwkwk…
Dan inilah tampang kami setelah tiba kembali di Paltuding… masih seger kan…
So… kalau saya bisa… saya yakin semua pembaca bisa… bahkan lebih cepat lagi…
Ayoooo kesana… masa tourist yang saya temui dari Swiss, Jerman, Belanda, Jepang dll datang kesini, kita malah ke negara mereka… Hehehe…
Ayo kita dukung wisata dalam negeri !!! :)…
Salam,
Guntur Gozali,
Jakarta, Kebon Jeruk,
Jumat, 14 Jan 2016, 23:15
Emejing!!! Pengeeen.. mosok kalah sama bapak yg usianya 3x nya saya heheheh 🙂 sehat selalu ya pak & keep blogging
Terima kasih Tiara… ayoooo nyusul… masak kalah sama kakek2… 🙂
Wow, detail sekali reportase tentang Ijen. Aku n group cukup puas bisa ke puncak tanpa turun. Aneh kita beda cuman 15 menit waktu berangkat meninggalkan Ijen Resort. Tapi di puncak tidak ketemu. Atau gara2 pakaian, topi, masker, jadi tertutup wajah …hehehe…gak rugi koq jalan n mendaki ke Ijen. Terasa berat krn gelap. Setelah pagi…wow
Kalau sampai ketemu malah keajaiban, wajah orang di sebelah aja kagak kelihatan…wkwkwk…
Tapi masih mau balik lagi gak kalau ada kesempatan?
Keren banget pak, saya yg lebih muda dikit jadi pengen juga. keep rock n roll pak Guntur
Wah, menarik pak kisah perjalanannya.. Pemandangannya juga ruarr biasa!! One day, saya mau ke sana juga ahh 😊