Tulisan ini saya tujukan bagi anak2 yang masih galau akan penjurusan atau peminatan pekerjaan…
“Permisi, Pak” tiba2 saya dikejutkan oleh suara suara lembut seorang gadis belia berambut panjang seumuran anak saya yang meminta diberi jalan untuk bisa masuk ke deretan kursi dipinggir jendela pesawat, dalam perjalanan saya dari Malang ke Jakarta hari Sabtu lalu. Setelah menggeser badan agar dia bisa lewat, sayapun melanjutkan kegiatan saya mengirim sms ke supir saya untuk minta dijemput di airport.
Belum selesai saya mengirimkan sms, tiba2 dia berteriak mengagetkan saya:”Aduhh… saya salah schedule… aduhhh… gimana ya?” dan kemudian segera memanggil pramugari Garuda yang kebetulan sedang lewat.
Dia tampak sangat panic menjelaskan ke pramugari bahwa dia seharusnya tidak berangkat sekarang, dia salah schedule, apakah bisa dibukakan pintu pesawat yang sudah tertutup dan siap untuk take off itu? Saya hanya melongo mendengar sepotong penjelasannya yang sangat tidak masuk akal itu.
Salah schedule???
Minta dibukakan pintu pesawat?? Emangnya Mikrolet ?? …xixixi…
Tapi ya itu, beneran dia bilang salah schedule dan minta diturunkan saat itu juga.
Saya yang duduk berselang satu kursi dengan dia benar2 tidak habis mengerti. Mana mungkin salah schedule, pikir saya, lha wong dia tampak sudah rapi, duduk manis di kursi yang mestinya memang untuk dia, karena tidak ada penumpang lain yang mencoba menduduki kursi itu?
Saya hanya bisa bertanya-tanya kenapa si nona ini?
Sementara itu karena tertarik dengan keributan kecil ini, hingga tiga orang pramugari Garuda merubung tempat duduk kami, mencoba secara professional menenangkan dia. Setelah memastikan dia berada di pesawat dan jam yang benar, tanpa banyak tanya salah seorang pramugari menjanjikan untuk mencoba sebisanya menunda keberangkatan pesawat, yang mana menurut saya sangat mustahil.
Ternyata benar, setelah beberapa saat, entah benar ditanyakan ke pilot atau tidak karena menurut saya permintaan untuk menurunkan penumpang pada kondisi itu sangat tidak masuk akal, si pramugari kembali dengan meminta maaf bahwa mereka tidak mungkin menunda keberangkatan karena factor keamanan. Untuk ini saya salut dengan cara penanganan crew Garuda yang sangat professional itu.
Dia, si nona cantik ultra modern dengan celana jeans sobek2 itu :), kemudian tampak dengan panic mengetik-ngetik iPhone nya. Saya yang dari tadi hanya bingung, menanyakan ada apa kok bisa salah schedule, dia sembari tetap mengetik mengatakan bahwa dia harusnya berangkat besok karena ada keperluan mendadak di Malang hari itu juga. Wah keperluan mendadak seperti apa kok sampai begitunya?
Saya, tanpa menanyakan lagi keanehan ceritanya mencoba mencarikan schedule Jakarta – Malang untuk dia kembali lagi setiba di Cengkareng nanti. Namun nihil. Dia sendiri juga mencoba mencari jurusan Jakarta – Surabaya, namun tampaknya juga akan sangat tidak memungkinkan untuk kembali hari itu juga. Karena menurut saya, akan sangat malam tiba di Malang kembali.
Sementara itu kami sudah diminta untuk mematikan handphone karena pesawat segera akan take off.
Setelah pesawat take off dan dia tampak sudah pasrah, saya tidak tahan lagi untuk menanyakan alasan dia yang sangat tidak di akal saya itu. …salah schedule… :).
Dia kemudian menceritakan bahwa ketika dia baru saja duduk tadi tiba2 memperoleh message dari dosennya untuk bertemu siang itu juga untuk membahas skripsi dia…
“Oooo… begitu tohhh… bukan salah schedule …” batin saya..
”Lha ya sudah nanti diberitahu saja toh bahwa kamu lagi ada keperluan ke Jakarta” begitu saran saya enteng.
“Duhhh… orangnya susah pak”, katanya penuh khawatir…
“Maksudmu susah ditemui atau orangnya memang “susah”?” tanya saya…
“Dua duanya, Pak” lanjutnya… tampak murung…
“Ooooo….”, begitu toh ceritanya… jadi gara2 mendadak dapat waktu untuk supervisi dan dosennya killer jadi harus segera lompat dari pesawat… hehehe…
Welleh2… bikin kaget aja…
Setelah lebih mengetahui duduk masalahnya tidak semenakutkan yang saya bayangkan, kamipun jadi mengobrol panjang lebar mengenai kuliah dan rencana dia ke depan.
Memang dasar sayanya kepo, sayapun jadinya menggali rencana kuliahnya dan sekalian menguliahi dia dia sepanjang perjalanan hingga Jakarta :).
Topik pembicaraan kami menjadi menarik karena masalah yang dia hadapi, yang akan saya bahas di bawah, adalah merupakan masalah umum yang sering saya hadapi ketika berhadapan dengan anak2 muda akhir2 ini, termasuk anak saya sendiri, yaitu mengenai jurusan atau peminatan dalam hubungan pekerjaan di masa depan. Oleh karena itu saya merasa perlu untuk menuliskan dan membagikannya ke anak2 yang kebetulan membaca postingan saya ini.
Si Nona L, kita sebut saja namanya demikian, ketika saya tanya mengambil jurusan apa, mengatakan bahwa dia saat ini sudah tahap akhir kuliah di jurusan Sastra Jepang, Unibraw.
Mendengar itu, saya langsung nyeletuk:
“Wowww… jadi nanti kerja di perusahaan Jepang dong?” celetuk saya penuh kekaguman, karena beberapa waktu yg lalu saya mendengar dari salah seorang teman akan rencana perusahaan2 Jepang expansi ke Indonesia. Jadi jurusan yang dia ambil itu mestinya tepat sekali.
Ehhh alih2 mengiyakan, ternyata jawabannya benar2 di luar dugaan saya:”Nah itu pak masalahnya, saya malah gak kepingin lanjut di bidang ini. Rasanya kepala saya sudah full banget dengan ini?”. Wellehh … lha kok begitu?
Padahal dia mengatakan sudah menjalani 4 tahun lebih di jurusan ini…
“Lha terus kenapa kok ambil Sastra Jepang pada awalnya?” tanya saya penuh tanya…
“Dulu pilihan utama saya sebenarnya Accounting, Pak, tapi gak bisa tembus, akhirnya saya ambil pilihan kedua Sastra Jepang. Nah setelah saya jalani sepertinya saya kurang pas. Sekarang lagi mikir mau pindah jurusan….”.
Waduhhh… kok pake pindah jurusan… emangnya bis kota yang kita bisa tinggal loncat :)… Pindah jurusan perlu pemikiran yang benar2 serius dan matang, agar supaya jurusan yang kita pilih benar2 tepat dan kita sukai. Jika tidak, akan menyebabkan terbuangnya biaya dan waktu lebih lama lagi.
Namun… jika memang pada saat ini sudah tidak lagi bisa menikmati, saya lebih menyarankan untuk pindah jurusan… itu betulll… jurusan yang betul maksud saya :).
Topik pembicaraan kami ini adalah kasus umum, bahkan bisa saya katakan kasus paling banyak yang saya temukan selama saya berhubungan dengan fresh graduate selama karier saya.
Setiap 1.5 atau 2 bulan, saya selalu memberikan pelatihan Basic Mentality bagi fresh graduate yang akan bergabung dengan perusahaan saya ataupun trainee perusahaan lain.
Setiap kali saya tanya, berapa di antara mereka yang benar2 memilih jurusan sesuai selera atau kecintaan mereka. Jawaban yang saya peroleh benar2 di luar perkiraan saya, hanya sekitar 20% – 30% saja, selebihnya… bukan pilihan mereka tetapi karena pilihan orang tua, karena teman, karena tidak tahu mau ambil jurusan apalagi, karena terpaksa… dll dll…
So SAD…
Mengapa?
Tanpa kecintaan terhadap apa yang kita lakukan, hanya akan berakhir dengan buang2 waktu dan stress.
Saya pernah berhadapan dengan seorang fresh graduate jebolan perguruan tinggi ternama di Indonesia, dengan Indek Prestasi 3.98, cowok. Dia menangis di hadapan saya karena hasil test dia selama di pelatihan di perusahaan saya, selalu buruk. Dia frustasi. Dia tidak tahu apa yang membuat dia merasa sedemikian bodoh.
Sebenarnya dia tidak bodoh sama sekali, namun persaingan di pelatihan di perusahaan saya memang sangat ketat. Kami mencari anak2 yang terbaik dari yang terbaik. Dan… mereka tidak hanya dituntut untuk pintar namun juga mencintai pekerjaannya.
Bagi anak2 yang pandai, diukur dengan ukuran Indek Prestasi tentunya, menyelesaikan masalah2 standard adalah hal yang mudah. Menghadapi masalah2 yang di atas rata2, juga tidak masalah. Namun jika yang diberikan adalah masalah di atas rata2 dengan tekanan sana sini, baik itu persaingan ataupun tenggat waktu yang menekan, maka… anak2 pintar akan kalah dengan anak2 biasa yang menikmati pekerjaannya.
Saya sendiri misalnya, lebih merasa sebagai orang operational, saya lebih menyukai hal2 yang berhubungan dengan konsep, bisnis proses dan teristimewa adalah teknologi. Saya bukan type sales. Namun jika saya diminta untuk menjadi salesman, hmmmm… saya yakin saya bisa menjadi sales yang baik, bahkan kadang2 saya merasa lebih pandai menyakinkan orang daripada orang sales sejati. Tul gak pembaca :)….
Namunnnn….
Nah ini… jika kegiatan sales itu saya jadikan kegiatan saya sehari-hari, berhadapan dengan customer yang cerewet2, mendengar keluhan mereka setiap hari, dimaki-maki, dibantingi pintu, melakukan pendekatan halus atau kasar :), duduk2 sambil minum beer atau minuman lain diluar jam kerja dll dll… byuhhhh… kalau dinilai dengan IP, saya bisa dapat E dengan IP 1 kali :).
Demikian pula sebaliknya. Orang sales sejati yang suka haha hehe… menemani client golf atau karaoke atau sekedar chit chat ngalor ngidul… disuruh duduk manis dibelakang meja, mungkin bisa survive untuk satu, dua atau tiga hari. Coba disuruh duduk terus memikirkan Standard Operating Procedure, Quality Assurance dll… mungkin langsung pingsan di meja :).
So, selama pekerjaan itu tidak menekan atau harus dilakukan sekali2, kita bisa dengan baik melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan isi hati kita. Namun jika pekerjaan yang tidak ‘menyenangkan’ ini harus dilakukan setiap hari apalagi dibawah tekanan, maka akan banyak hal buruk yang terjadi pada diri kita. Dan semakin lama akan semakin memburuk.
Oleh karena itu ketika si trainee saya yang memiliki IP 3.98 ini menghadap, saya menanyakan hal yang sama ketika berhadapan dengan si Nona L. Saya tanyakan kenapa kok dia ambil jurusan IT? Dia mengatakan bahwa dulu dia maunya Sastra Cina, namun ortunya memaksa dia masuk jurusan IT karena nanti gajinya lebih besar.
Saya tanya apakah dia enjoy di IT?
“Saya pikir saya bisa enjoy, Pak. Tetapi ternyata setelah selama training disini saya diberi tekanan sedemikian berat, saya baru sadar jiwa saya bukan disni”.
Ketika itu juga saya sarankan dia untuk mengundurkan diri dan menghadap orangtuanya, supaya dia bisa melanjutkan ke bidang yang dia cintai. Menurut saya lebih baik dia memulai hal baru selagi masih muda, daripada nanti setelah tua dia baru menyadari.
Tidak ada yang bisa membuat kita lebih berhasil selain pekerjaan yang kita cintai.
Bahkan tukang bakso, tukang sate, tukang apapun yang mencintai pekerjaannya akan jauh lebih sukses daripada tukang2 lain yang hanya ikut2an tanpa bisa memaknai pekerjaannya.
Steve Jobs, maestro teknologi, salah satu innovator yang sangat terkenal dan saya kagumi itu, pernah mengatakan demikian:
Bagaimana jika hingga sekarang belum juga menemukan bidang/pekerjaan yang dicintai?
Maka carilah dan kemudian … pilihlah salah satu, selanjutnya belajar dan paksalah untuk mencintainya
Seek and Yee Shall Find…
Semoga tulisan ini boleh menjadi renungan bagi anak2 yang sekarang sedang galau, sedang berada di persimpangan atau belum menemukan apa yang dicintai.
Semoga Tuhan memberikan yang terbaik bagi yang mau mencarinya.
Salam,
Guntur Gozali,
Jakarta, Kebon Jeruk,
Minggu, 27 Sept 2015, 11:30
PS: Buat Nona L yang mungkin sekarang lagi galau, yang telah memberi saya ide untuk menuliskan postingan ini, semoga menemukan pilihan terbaik di dalam hidupmu. Semoga sukses di dalam hidup dan karier. Amin.
Topik ini menarik apalagi kalo bpk yg membahas. Ingin sedikit berbagi.. Saya udah telanjur kuliah kedokteran krn keinginan ortu (sebenarnya saya iklas2 saja) dan udah lulus trus baru ngeh kalo bidang ini sangat menjengkelkan. Ingin sekali memutar waktu lalu memilih jurusan yg lain. Tp saya sadari bahwa itu sia2, jadinya sy jalani saja sembari terus bersyukur kpd Tuhan.
Btw saya salut bpk masih sempatkan menulis di tengah kesibukan.
Hi mbak Tiara, terima kasih atas komentarnya.
Saya ikut prihatin atas apa yg Tiara alami. Tapi saya juga senang Anda juga mengatakan menjalaninya dengan rasa syukur. Itu hal yg luar biasa. Semoga pelan2 rasa cinta akan pekerjaan Anda akan tumbuh semakin besar krn rasa syukur itu.
Semoga Tuhan memberkati.
Salam,
aru cek email, langsung ada post baru dari pak guntur!
Saya seneng banget baca post yg ini! Karena sebelumnya saya juga mengalaminyaa 😀 hehe
Sebelumnya saya juga kerja kantor… pertama tama itu lingkungan kantornya enak tapi setelah ekspansi kantor pusat yg pindah ke lingkungan kantor tempat saya bekerja. Mulai deh.. politik sikut sana sini antara owner n coo … dan atasan saya langsung juga tidak bisa membela anak buahnya.. makin lama suasana kantor makin tidak mendukung di + teman2 mulai banyak yang resign… dari situ saaya mencoba belajar di bidang lain yg sebelumnya hanya sekedar suka dan sekarang saya benar2 menjadikan bidang ini sebagai kegiatan di mana saya mencari penghasilan dan berkat bidang ini jga saya mendapakan pengalaman baru, networking, teman2 yg mempunyai passion yang sama, Pekerjaan yg tidak monotonn! Dan saya tidak merasa terbebani meskipun pekerjaan ini lebih cape ( *terkadang hahah ) daripda pekerjaan kantor saya. Dan pas saya resign jga, atasan saya mengiming-imingi dengan bonus bla bla bla / pekerjaan akan passion saya yg blm pasti. Tapi saya sudah kekeh! selagi saya masih muda lebih baik saya melakukannya daripda tidak sama sekali! *karena setiap berangkat ke kantor dan ketika ingin memasuki ruangan saya yg selalu terbenak itu ”kapan saya resign dari kantor ini ? ” * udah pengen resign tingkat akuttt 😀 hahaha
Dan akhirnya! Yes! Saya seperti burung yg terbebas dari sangkar! *haduhhh lebaynyaa… tapi saya bener2 senang saat itu apalagi ketika saya dengan mantap menolak iming2an bos saya. 🙂
Dan saya masih memulai passion saya ini, semuanya membutuhkan proses dan saya akan bersabar dan belajar untuk meraih apa yg saya inginkan 🙂
Terimakasih pak guntur untuk postnya kali ini. 🙂
Hi Desy,
Saya membaca komentar Desy ini sambil senyum2. Caramu menyampaikan sedemikian seru sehingga saya bisa merasakan “passion” itu.
Terus jalani dan nikmati, semoga nanti semakin bertumbuh dan berkembang ya.
Semoga Tuhan memberkati bidang barumu ini.
Salam,
Wah di replynya cepat loh, 😀 haha
Saya senang kalau cerita saya bisa membuat org tersenyum, seperti saya juga membaca cerita bapak yg membuat saya lebih tersenyum dan merenungkan hidup saya lagi 🙂
Terimakasih yah pak 🙂
Semoga Tuhan juga selalu memberkati bapak dan keluarga 🙂
Sama2 Desy… Semoga ceritamu menginspirasi teman2 yg sekarang mungkin sedang galau.
Salam,
Pak Guntur, baru2 ini saya melihat salah satu share di Ted tentang topik yg sma nih pak, :
Emilie Wapnick: Why some of us don’t have one true calling
http://go.ted.com/bA3V
Tetapi, menurut si pembicaranya terkadang yg kita cintai bukan hanya satu. Topik yg menarik Pak, mungkin bisa dijadikan bahan buat basic mentality berikutnya (bukan berusaha ngasih pr buat pak Guntur ya :p).
Terima kasih atas komentarnya yang bagus sekali.
Memang benar ada yang specialist ada multipotentialite (saya lbh sering dengar istilah generalist).
Namun untuk itupun juga kita perlu menetapkan multi bidang yang kita sukai, jika tidak, kita akan jadi bingung kan ya? :). Ini mau itu mau. Untuk orang seperti ini paling cocok jadi consultant atau… enterpreneur rasanya :).
Saya akan akan pakai istilah ini for my next Basmen, tq Victor atas masukannya yang bagus sekali :).
Salam,
Menarik tulisannya Pak Guntur, jarang sekali pengusaha sukses berbagi pengalaman via blog he he he.
Saya pikir, kalau masih muda, saat yang bagus mencari tau kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Salah jurusan atau jurusan tidak tepat dengan pekerjaan tidak masalah. Meskipun jurusan yang dipelajari sama dengan bidang profesional, belum tentu bisa sukses. Kalau gak salah Steve Jobs sendiri belajar auditing dan kaligrafi saat belajar di college, sama sekali bukan computer engineering, IT atau sejenisnya.
Menariknya, justru karena belajar kaligrafi dia bisa membuat typography yang indah di produk Apple/Mac. Menurut saya, lebih banyak ambil kelas-kelas yang diminati meskipun terasa agak “gak nyambung.” Tujuannya supaya bisa memperkaya pengetahuan kita.
Menurut saya, hindari universitas yang kaku, yang sulit memilih kelas yang diinginkan. Uni seperti itu hanya bertujuan mencetak pekerja dengan ketrampilan yang sangat spesifik saja.
Mencintai / passion terhadap pekerjaan penting, tapi bukan sesuatu yang utama, yang penting adalah menurut saya adalah “Mastery”. Sesuatu yang menjadi momok anak mudah sekarang. Mengapa? Karena Mastery membutuhkan waktu. Seorang murid belajar kungfu dari sifu-nya dari muda, dan mencapai tingkat Master setelah bertahun-tahun berlatih, atau bahkan berpuluh-puluh tahun.
Saat sekarang, makin banyak anak muda gampang menyerah, dan kebanyakan maunya instan, 1-2 tahun kerja, langsung mau pendapatan yang relatif besar dan gaya hidup yang mewah. Kalau merasa tidak nyaman sedikit, ingin keluar, cari pekerjaan baru, atau pindah ke negara lain. Menurut saya, mestinya anak tersebut bersabar sambil belajar supaya menguasai pekerjaannya dengan lebih baik.
Passion/gairah bisa tinggi tapi mudah juga redup, Banyak anak muda yang merasa mencintai bidang tertentu tapi setelah menerima tekanan dari berbagai pihak (kompetisi, bos, rekan kerja) akhirnya stres dan tidak perform sesuai harapan/target.
Tapi ada juga yang tadinya biasa saja terhadap bidang tersebut, tapi karena anak muda tersebut ulet, dan terus belajar dari senior/mentor atau secara otodidak, akhirnya ia dapat menguasai bidang pekerjaan tersebut, dan kemudian sukses di pekerjaannya.
Saya sendiri tidak menyukai fotografi pada awalnya, karena sebagai anak muda (dulu) saya pikir fotografi itu mahal dan sulit (hehe). Tapi setelah belajar terus dan akhirnya menguasai cara memotret dan editing yang baik, saya jadi makin suka, dan sekarang pekerjaan saya menulis dan mengajar fotografi.
It is good to have passion, but mastery is way better.
Sore pak guntur gozali, bisakah bpk menjawab ke email saya mengenai ulasan bpk tentang zhen qi, saya mau tau brp biayanya saat itu, tks