Bulan lalu saya bertemu dengan seorang teman saya yang baru saja ditinggal pergi oleh ibunda tercintanya karena usia yang sudah lanjut. Saya, ketika beliau meninggal, tidak sempat untuk hadir memberikan saya hormat saya ke tempat persemayaman di salah satu RS Jakarta.
Saya kemudian menanyakan penyebab kepergian beliau. Teman saya lalu menceritakan bahwa kepergian beliau cukup cepat karena beberapa minggu sebelumnya beliau tampak sangat sehat. Sehingga meskipun usia beliau sudah lanjut, tak urung hal ini menyebabkan keterkejutan di keluarga.
Namun dari apa yang saya dengar dari cerita teman saya itu, saya benar2 merasa iri. Kenapa? Karena saya tahu bagaimana besar perhatiannya terhadap mamanya ini, dan bahkan pada mendekati akhir hayatnya, teman saya sempat menemani mamanya keliling dunia, dan yang lebih membuat iri saya, pada detik2 terakhir berada disisi mamanya tercinta.
Saya termenung mengingat kedua orang tua saya dulu. Seperti di beberapa tulisan saya sebelumnya, sejak kecil saya jarang berkumpul dengan kedua orang tua saya karena saya harus hidup terpisah di Surabaya untuk menuntut ilmu, sedangkan kedua orangtua saya berdagang di Kotabaru, Kalimantan Tenggara.
Rasa cinta dan perhatian orangtua ke saya, saya anggap sebagai suatu hal yang biasa saja, atau bisa dikatakan tidak saya rasakan sebagai sesuatu yang istimewa. Hal yang saya yakin juga dialami hampir semua anak2 dimanapun juga.
Kekhawatiran orangtua jika nilai saya buruk, kecerewetan mereka jika saya akan berkemah atau bepergian, kebingungan mereka kalau saya pulang telat, makanan luar biasa lezat yang mereka siapkan, tidak pernah saya terjemahkan sebagai rasa cinta orangtua. Itu kewajiban mereka.
Semua hal itu, meskipun tidak saya ucapkan, saya anggap memang kewajiban orangtua, emang sudah layak dan sepantasnya begitu. Saya jarang mengucapkan terima kasih atas segala hal yang mereka lakukan bagi saya, semua ya itu tadi “memang merupakan kewajiban mereka”.
Boro2 berterima kasih, malah mungkin saya lebih sering membuat marah atau khawatir orangtua saya dengan segala tingkah laku saya semasa remaja, tingkah laku sok tahu pada saat kita memasuki masa puber. Kebut2an, nyetel music rock keras2 atau tingkah laku pemberontak muda lainnya.
Hal ini berlangsung hingga saya kuliah. Meskipun saya terbiasa menulis surat (dulu belum ada email lho ya :)) ke orang tua saya, namun perasaan rindu sangat jarang atau bahkan boleh dikata tidak pernah mampir di kepala saya.
Saya menulis surat lebih karena kebiasaan yang sudah dibangun sejak saya masih kecil, untuk memberikan kabar berita ke papa mama saya.
Pada awal September 1985, ketika saya sedang kuliah di Salatiga, saya memperoleh kabar bahwa papa saya masuk ICU dan dalam kondisi kritis. Segera setelah memperoleh kabar itu, sayapun segera mencari bis malam untuk segera kembali ke Surabaya.
Sesampai saya di Surabaya, saya langsung menuju RS Darmo dimana papa saya dirawat. Saya menemui beliau terbaring lemah di ranjang dengan infus tertancap di tangan dan selang oksigen dihidung. Namun, tidak ada perasaan khawatir atau takut, selain daripada perasaan trenyuh melihat kondisi papa saya.
Saya pikir ketika itu papa saya akan segera sembuh, dan saya tidak akan lama berada di Surabaya. Pikiran saya hanya tertuju pada kekhawatiran meninggalkan beberapa kuliah yang menakutkan. Namun rupanya Tuhan menentukan lagi, rupanya tgl 3 September 1985 itu adalah merupakan hari terakhir saya bertemu beliau. Papa saya tercinta telah pergi dipanggilNYA.
Ketika pertama kali saya diberitahu bahwa papa saya meninggal, saya tidak menangis. Saya hanya bengong saja, tidak percaya akan apa yang saya lihat. Saya juga tidak bisa melukiskan secara tepat perasaan apa yang saya alami ketika itu. Mungkin lebih seperti perasaan kosong, perasaan tidak percaya dan lain-lain yang bercampur aduk menjadi satu.
Selama beberapa saat saya berada pada kondisi demikian hingga beberapa saat kemudian, tiba2 saja, yahh saya ingat, tiba2 saja muncul penyesalan yang amat sangat dalam bahwa saya sudah terlambat. Saya terlambat. Saya terlambat untuk membahagiakan papa saya, terlambat untuk menyenangkan hatinya, terlambat untuk mengajak dia jalan2, terlambat untuk mengatakan I Love You, Pa.
Yang saya lihat di depan saya hanya tubuh kaku papa saya, tubuh kaku yang sudah tidak bisa saya ajak bicara lagi, tubuh kaku yang sudah tidak bisa saya ajak jalan2 lagi, tubuh kaku orang yang seharusnya saya cinta semaksimal mungkin ketika beliau masih hidup … dan penyesalan itu kemudian meledak dalam tangis yang luar biasa, yang bahkan hingga saya mengetikka tulisan ini, masih bisa saya rasakan.
Sejak kejadian itu, saya bersumpah bahwa saya akan membahagiakan mama saya, satu2nya orangtua yang saya miliki ketika itu. Sejak saat itu, saya amat sangat memperhatikan beliau. Saya selalu berusaha menyenangkan hatinya, mengajak jalan2, makan, memijiti beliau. Hal yang tidak pernah saya lakukan seumur hidup saya hingga papa saya pergi meninggalkan saya.
Saya melindungi beliau dari berita2 keluarga yang tidak mengenakkan. Saya serap berita2 buruk, dan hanya saya sampaikan berita2 yang membuat beliau senang. Saya anggap sudah cukup beliau merasa khawatir sepanjang hidupnya, buat apa anak2nya menambahkan kekhawatiran lagi di ujung usianya.
Mama saya tercinta menyusul papa saya sembilan tahun kemudian. Meskipun saya berusaha dengan sekuat tenaga untuk membahagiakan beliau, namun saya belum sempat mengajak beliau keliling dunia. Saya belum sempat menunjukkan keberhasilan saya didalam karier, karena ketika itu saya sedang sibuk2nya merajut karier. Saya juga belum sempat memperkenalkan putera kedua dan ketiga saya ke beliau.
Sekarang ketika saya sudah merasa mampu untuk lebih meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk beliau, mereka sudah tidak ada lagi disisi saya. Mereka sudah pergi. Sering saya masih menyesali hal ini hingga detik ini. Dan sering juga saya merasa iri dengan teman2 yang sempat membahagiakan orangtuanya dimasa tuanya.
Sekarang setiap kali saya melewati ruang tamu, dimana terletak pigura kedua orangtua saya tercinta, saya menyempatkan diri membersihkan kaca piguranya dengan kaos yg sy pakai, sembari berdoa dalam hati that I missed them so much, dan semoga Tuhan memberikan tempat terindah disisiNYA.
Sometimes you will never know the true value of a moment until it’s become a memory.
Saya sengaja menuliskan topic ini, bukan karena saya lagi mengajak pembaca untuk melo, terutama bagi adik2 semua, dan teristimewa lagi bagi adik2 yang jauh dari orangtua.
Saya menuliskan hal ini agar adik2 tidak lupa bahwa orang yang setiap saat menelpun atau mem-BB kalian, mengkhawatirkan kalian dengan pertanyaan2 yang menjengkelkan, mengatur kalian kudu begini begitu, menanyakan kalian berulang kali tentang hal2 remeh seperti :sudah makan belum, sudah minum vitamin belum, sudah istirahat cukup belum, adalah orang yang sangat mencintai kalian. Orang yang hanya memikirkan hal yang terbaik bagi kalian (baca: They always think the best for you).
Sempatkanlah suatu ketika menyapa mereka, say Hi or Hello, say How Are you Mom/Dad, meskipun sesibuk apapun kalian. Gunakanlah alarm di HP kalian untuk paling tidak seminggu atau sebulan sekali menyapa mereka, jika kalian merasa luar biasa sibuknya.
Sapalah juga opa/oma kalian jika kalian masih memilikinya. Sapaan kalian itu saya jamin akan menambahkan semangat hidup mereka, memercikkan api kehidupan di usia senja mereka, dan membahagiakan mereka.
Mereka tidak mengharap kalian kirimi uang kok, mereka tidak juga mengharap kalian kirimi harta benda berlimpah, just Hi Ma/Pa or Hello Ma/Pa or…the best of all…Lover you, Ma/Pa.
Don’t let it become a memory, dan kalian menyesalinya…seperti yang saya alami hingga detik ini :(. Someday, you will thank me.
Lie,
Tulisan ini bagus sekali. Saya juga dulu tidak terbiasa untuk “hangat” dengan orang tua. Sekarang lebih berat lagi, karena sudah mengerti kesalahan selama ini tapi saya tinggal jauh sekali dari mami saya
Santoso
Tq San, really appreciate your comment.
It is never too late to say that miracle words, isn’t it? 🙂
GBU.
Thanks for the reminder, Om…
Dulu saya pernah merasa: saking kelamaan ngga say “love you Pa/Ma”, skrg kl mau bilang jadi aga aneh, canggung… pokoknya aneh deh… jd kadang2 kita cenderung untuk keep it to ourselves. But, like Om guntur said… kl kita terus pendam itu, nnt bakal jadi penyesalan….
Sekarang, saya berusaha untuk lebih ekspresif ke mereka. Action is definitely the best way to show how you care about someone, but words are a great medium to convey and filling in the missing pieces.
Saya rasa ini juga bukan hanya untuk hal ke orang tua, namun berlaku jg untuk hal2 lain ke orang2 di sekitar kita. Take your time to tell others how you appreciate them. That one sentence of yours will make their day… 🙂
Ya benar, bukan hanya ke orang tua, tapi juga orang sekitar kita. Asal kamu tahu situasi dan kondisi serta cara mengucapkannya. Kalau nanti you say Love You to sembarangan orang, bisa2 digamparin wkwkwkwk… Just kidding.
Very nice share Pak 🙂
Membuat saya mengubah pola pikir 😀
God Bless abundantly for you and your family more.. ^^
Terima kasih atas komentarnya. Senang sekali jika sharing saya bermanfaat.
God Bless you and your family too.
Sometimes you will never know the true value of a moment until it’s become a memory.
Saya post di status saya..
Makasih pak buat share-nya.
God bless u always.
🙂
Terima kasih juga atas komentarnya.
God bless you too 🙂
ypi sangat keren, menarik artikelnya gan