Going down (13:42)
lanjutan posting sebelumnya….
Salah satu factor yang membuat saya agak enggan untuk mendaki gunung adalah bagian ketika kita harus kembali turun (lha gimana, sudah capek2 naik, masa turun lagi…heheheh… :)). Sebabnya sederhana kan ya, ketika kita masih di bawah, semangat untuk mencapai puncak menjadi pendorong agar badan/kaki yang bawaannya mau mogok, bisa tetap kita gerakkan untuk naik. Ada sesuatu nun di atas sana yang sedang menunggu. Sesuatu yang indah, yang membuat kita penasaran dan ingin segera mencapai puncak.
Begitu sudah menikmati keindahan puncak yang dituju, semangat yang diempos selama pendakian sepertinya sudah habis tanpa sisa, lah kok malah disuruh balik lagi :), parahnya lagi harus turun kembali melalui jalur yang tadi baru saja kita lalui pula… wedehhh… malasnya… Apa loncat aja ya? Hehehe….gak turun, malah naik ke dunia lain…
So, setelah puas berfoto ria, sekitar pukul 13:40 an, dengan sisa2 tenaga yang ada kamipun mulai turun.
Jika pada saat kita memanjat naik, pandangan kita lurus ke depan sehingga lebih banyak menatap bebatuan yang berada persis di depan mata kita, nah ketika turun, mau tidak mau kita harus melihat jurang menganga di kanan kiri jalan yang akan kita lalui…. Sehingga secara psikologis lebih mengerikan daripada pada saat naiknya.
Turunan pertama adalah turunan paling curam yang baru saja kami lalui pada saat naik tadi. Inilah satu2nya jalan untuk turun, kecuali jika ada helicopter yg menjemput atau yaitu tadi, meloncat :). Untuk kedua pilihan ini, sepertinya hingga saat ini belum pernah ada yang mencobanya sih…hehehehe….
Dari titik saya mengambil foto ini, tampak di kejauhan Scout Lookup dimana kami sempat berhenti untuk buang air kecil (lihat panah pada foto di bawah). Melihat jarak yang bakal kami tempuh, saya lemes juga …aduhh jauhnya…fiuhh…fiuhhhh…
Ketika lagi memotret-motret, Calvin menangkap gerakan (tampak melalui lensa zoom) beberapa orang di kejauhan yang sedang berjuang untuk menuruni bukit menuju ke arah kami… Saya bersyukur ketika itu sudah dalam perjalanan pulang. Perhatikan foto di bawah, seperti itulah kami sebelumnya:
Posisi mereka adalah di panah kuning pada foto di bawah:
Kalau di zoom out, disono itu lah, gak kelihatan apa2 kan 🙂 :
Seteleh merasa cukup memompa semangat, maka saya bersama anak2 mulai menuruni turunan curam di depan kami.
Namun, baru beberapa meter turun ternyata ada sepasang hiker yang pada saat yang sama sedang mendaki …..
Pada kondisi seperti ini, sangat penting untuk menjaga kesabaran meskipun kita sedang diburu waktu atau kelelahan. Tidak ada rumusan siapa yang harus mengalah, apakah yang sedang naik, atau turun, semua pendaki secara automatis begitu melihat ada orang di depannya, akan mempersilakn orang tersebut untuk mendahului. Demikian juga dengan kami, begitu menyadari ada yang sedang naik, kamipun menyingkir memberikan jalan.
Sembari menunggu mereka melalui jalan yang akan saya lalui, ya sekalian deh nampang lagi …hehehehe…
Saya nih terus terang saja paling malas untuk difoto lho… caileee… hehehe… tapi ciyusss ini. Saya tidak photogenic, mau diambil dari sudut manapun pasti jeleknya … tapi pada situasi itu, yang untuk mencapainya perlu taruhan nyawa…ya apa boleh buat deh, biarpun jelek ya minta difoto lah…hihihi… But, setelah melihat hasilnya, ternyata cukup spectacular juga ya.
Muka senyam senyum, padahal hati deg2an karena di belakang saya itu jurang terbuka ratusan meter lebih ..….
Selain itu kami juga tidak mau rugi untuk mengambil foto pemandangan di sekitar kami . Coba pembaca lihat, jarak antara kami berdiri dengan tepian jurang, tidak lebih dari 60 cm, langsung terjal ke permukaan tanah nun jauh di bawah sana…
Setelah sepasang hiker itu melalui kami, kamipun melanjutkan menuruni area itu….
Beberapa kali kami mengistirahatkan kaki yang semakin lama semain susah diperintah. Berkali-kali pula kami disalip oleh hiker2 lain gara2 kebanyakan berhenti, malu juga sih, tapi gimana lagi lha wong kami gak pernah hiking, cuma modal nekat doang :), ya harap maklum lah ya…jalan nya: keong mode.
Beristirahat sejenak
Menapaki The Refrigerator dengan lunglai 🙂
Jalan berkelok yang paginya baru kami lalui
Ketika sedang menuruni bukit, tiba2 tanpa disangka-sangka kami bertemu lagi dengan tiga gadis yang kami temui pada saat mendaki di pagi harinya. Kamipun akhirnya turun bersama-sama.
Calvin, Ivan, Rani dan teman2nya
Calvin, Ivan dan saya dengan latar yang luar biasa indahnya
Beberapa pemandangan indah sepanjang perjalanan turun
Sekitar pukul 16:20, setelah berulang kali melihat jam tangan, berulang kali menanyakan kok gak sampe2, kok jembatan yang pagi tadi kami lalu tidak nampak2, akhirnya…. kamipun melihat juga jembatan yang sangat kami rindukan itu. Itu artinya kami telah tiba di lokasi kami memulai pendakian ini di pagi hari itu…yyeeeeyyyyy…. hahahaha… senengnya….
Setelah melewati jembatan ini, kamipun segera kembali ke hotel menggunakan shuttle bus untuk menemui istri dan anak saya, Steven yang saya yakin sudah sangat cemas menunggu kedatangan kami. Seturun dari shuttle bus, pemandangan indah masih juga mengikuti kami:
Pemandangan dari hotel kami ke gunung2 batu:
Sesampai di hotel, kami segera bergegas mencari resto untuk mengganjal perut yang sudah berteriak-teriak sejak siang hari :), dan kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Bryce Canyon sore / malam itu juga.
Dengan demikian selesailah sudah perjalanan impian saya ke Angels Landing yang luar biasa itu. Bagian terakhir setelah ini, saya akan menuliskan beberapa tips bagi pembaca yang ingin mencoba mendaki Angels Landing.
Sebelum saya tutup tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan alam yang luar biasa indah bagi umatNYA, dan juga memberikan kesempatan dan perlindungan sehingga kami sekeluarga boleh menikmatina.
Terima kasih Ivan dan Calvin yang telah bersedia menemani papanya yang edan ini hingga ke puncak. Khusus buat Ivan, terima kasih juga sudah dengan sabar menjagai papanya dan buat Calvin atas foto2nya yang “berbicara” ( a talking pictures, karena tanpa foto2 itu, sulit bagi saya menceritakan kembali pengalaman perjalanan ini).
Terima kasih buat my dearest wife yang bersedia menunggu sambil ketar-ketir, dan Steven yang mau menemani.
Terima kasih juga bagi pembaca yang dengan sabar telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan yang membosankan ini.
Salam,
Guntur Gozali,
Jakarta, Kebon Jeruk,
Sabtu, 18 Oktober 2014, 10:50
Woooowww…..luar biasa keren cerita bersambung nya pak.
Akhirnya selesai juga 😀
Eh tp sebenernya yg keren begete sih foto2nya. Sungguh pemandangan menakjubkan, uapik tenan!
Saya pikir semangat dan kemauan bapak sih luar biasa yah. Saya pribadi sangat suka dengan pemandangan alam, tapiii….kalo disuruh hiking panas2 di zona gitu sih ciut juga. Hehehee.
4 jempol deh buat pak guntur.
Terimakasih Tanti atas komentar dan pujiannya.
Kalau takut panas, naiknya mulai jam 4.30, kan masih adem tuh :). Ayooo…dicoba…dicoba :).
Salam,
pak, kalau liat tebing2 nya kok seperti di Ngarai Sianok ya.. hehe…
bagus artikelnya pak, siapa tau nanti saya ada rejeki bisa nyampai disana…
Oya, mirip Ngarai Sianok ya… Sharing dong mengenai Ngarai Sianok, siapa tahu suatu ketika menjadi salah satu bucket list saya :).
Terima kasih ya atas komentar dan masukannya, saya doakan semoga suatu ketika bisa menyusul saya ke Angels Landing :).
Salam,
wuahh mantapp omm *bener bakal jadi satu pengalaman tak terlupakan selama hidup om 🙂
& pemandangannya juga ehmeizingg hahahhah 😀
*tapi foto yg om narsis sendiri itu bagus loh. seperti menunjukkan kebanggaan tersendiri akhirnya bisa menaklukan si angel ini. 😀
di tunggu cerita selanjutnya ^^
have a nice day om 🙂