Day 4:
Kami tiba di resort ini setelah melakukan 4 dive liveaboard terakhir kami. Matahari sudah mulai tenggelam ketika kami mendekati dermaga kecil yang ada di Pulau Sebayur itu.
Kapal yang kami tumpangi mencoba mendekat ke dermaga namun akhirnya memutuskan untuk berlabuh jauh dari dermaga karena air laut sedang surut. Akhirnya barang dan penumpang diturunkan dengan menggunakan speedboat yang ada selalu ditarik dibelakang kapal.
Speedboat yang digunakan untuk menjangkau dive site
Komodo Resort merupakan sebuah resort kecil yang terdiri atas 14 bungalow yang berjejer di pantai sepanjang kurang lebih 400 an meter di Pulau Sebayur. Resort ini dikelola oleh seorang WNI keturunan Italia yang sudah tinggal di Indonesia selama kurang lebih 20 tahun.
Ketika pertama menginjakkan kaki di dermaga, kami langsung disambut oleh beberapa staff resort. Salah seorang perempuan menyorongkan handuk dingin yang langsung saya sambar dan saya pakai untuk mengelap seluruh wajah saya. Ahhhh….segarnyaaaa….
Kami kemudian segera menuju kantor resepsionis yang berdampingan dengan restaurant hotel itu. Ketika saya tiba di depan kantor resort, tampak seorang pria berambut pirang sedang berbicara dengan anak2 yang tiba terlebih dahulu disana.
Sesampai saya di depan kantor, Roberto, seorang pria separuh baya berkebangsaan Italy, yang ternyata merupakan dive master kami, langsung menyodorkan form2 diving untuk diisi. Tanpa terlebih dahulu mempersilakan kami untuk duduk, apalagi menawarkan welcome drink, kami dijelaskan mengenai form isian yang pasti selalu kami isi dimanapun kami menyelam.
Kami juga diperintahkan untuk membongkar semua peralatan selam kami saat itu juga, dan memisahkannya ke tujuh container plastic yang sudah mereka sediakan. Beliau berulang kali menjelaskan bagaimana cara kami harus memisahkan dan memasukkan peralatan selam kami ke container plastic itu. Sesekali beliau mengomel karena salah urutan atau salah salah memutar selang regulator. Bahkan beberapa kali dengan tidak sabar beliau meminta staff admin yang ada untuk menterjemahkan bahasa Inggris kami yang dianggap lebih buruk dari dia.
Saya sangat terkejut memperoleh sambutan seperti ini, namun saya pikir beginilah cara dive master asing memperlakukan tamunya, penuh disiplin dan tanpa kompromi. Hal serupa saya alami ketika kami dive di Bunaken yang dikelola orang warga Jepang. Mereka berkeras meminta sertifikat diving kami. Ketika salah seorang tidak membawa yang asli, hampir saja dia membatalkan acara diving kami sebelum akhirnya dia bisa melihat sendiri melalui internet nama ybs ada di website PADI. Untuk itu kami kehilangan hampir 2.5 jam waktu berharga kami, sebelum kami bisa nyemplung ke laut.
Saya awalnya sempat bersyukur dalam hal kedisiplinan ini. Saya bahkan sempat menggodai anak2 supaya jangan sembarangan deh kalau urusan diving dengan dive master bule seperti ini, karena memang sangat menyangkut keselamatan jiwa.
Setelah selesai memisahkan dan meletakkan semua peralatan selam kami, anak2 mulai mengisi form dan sayapun meninggalkan mereka untuk menikmati mandi sepuasnya setelah selama 3 hari mandi kucing.
Belum juga saya selesai mencuci rambut saya, anak saya tiba2 mengetuk pintu. Saya tanya ada apa, kayak gak tau aja saya lagi garuk2 kepala karena gatalnya minta ampun. Eh ternyata anak saya meminta saya untuk menanda tangani form isian tadi. Hehh…Nanti saja, teriak saya. Wong lagi enak menggosok kepala yang penuh shampoo kok disuruh tanda tangan. Anak sayapun pergi.
Sayapun melanjutkan menggosok badan yang selama ini hanya sempat ditowel-towel oleh air tawar di kapal. Ehhh belum juga puas menyabuni badan, tiba2 pintu kamar mandi diketuk lagi. Errrrghhhh siapa lagi ini? Ternyata anak saya yang lain, lagi2 minta tanda tangan????? Gila pikir saya, kok seperti emergency saja. Saya katakan nanti saja di resto setelah saya mandi. Anak saya mengatakan si Roberto minta sekarang juga. Duhhh…gile bener. Akhirnya karena saya sudah nanggung sekali mandi, saya suruh anak saya saja yang menanda tangani. Haiyyaaa….ini disiplin atau gila??
Hal kecil ini sempat saya protes ke pihak hotel yang direspon dengan kalimat:”Iya pak maaf, memang dia agak “resek” pak. Maaf ya”. Hmm… ya sudahlah saya pikir, yang penting sekarang makan dan istirahat untuk memulai 3 diving besok pagi.
Kami menikmati dinner malam itu sekitar pukul 20:30. Makanan yang dihidangkan semuanya beraroma masakan Italy. Meskipun berada dipulau terpencil di perairan Komodo, cara pihak resort menyiapkan menu sangat istimewa. Semua dihidangkan secara professional.
Anak2 yang lidahnya sudah terbiasa dengan berbagai model macam makanan pasta, spaghetti, pizza dan lasagna dan lain-lain sangat menikmati hidangan ini. Namun bagi saya dan mertua saya yang memiliki lidah kampong, tidak bisa menikmati sepuas-puasnya jenis makanan seperti ini. Padahal selama 4 malam kami disuguhi berbagai macam fine dining seperti ini. Welehhhh…
Suasana restaurant sangat menyenangkan, berupa ruang terbuat dengan atap rumbai dan berlantaikan semen. Kami diwajibkan untuk bertelanjang kaki dengan melepas sandal/sepatu di luar resto. Suasana cukup romantic dan menyenangkan, hanya…kaki harus terus digoyang-goyang seperti tukang jahit begitu ;). Karena kalau kaki kita diam, dijamin bakal bentol2 digigit nyamuk hutan yang luar biasa ganas dan “ndableg”.
Nyamuk hutan ini terkenal sangat gatal gigitannya, kakinya berbelang-belang hitam putih, dan sekali gigit tidak akan melepaskan gigitannya sebelum puas. Jadi disana saya tidak menepuk nyamuk, tetapi memencet nyamuk. Kita tidak perlu susah2 pelan2 melayangkan tangan kita supaya si “kurjar” tidak lari, cukup kita pencet aja pakai ujung jari, beres dah.
Malam itu setelah mengisi perut hingga hampir tidak bisa bernafas, kami berjalan-jalan sebentar di seputar resort kecil itu dan masuk ke kamar tidur. Udara ruangan sudah terasa dingin karena AC (yang untuk menghidupkannya kita harus menambah biaya, kalau tidak, kita tidak diberikan remote AC :p). Saya menarik nafas lega, ahhh…akhirnya malam ini saya akan tidur secara proper juga.
Day 5:
Pagi itu saya bangun dengan pikiran segar namun badan remuk. Saya pikir untuk diver seperti kami, yang belum tentu setahun sekali diving, 3 kali dive sehari merupakan jumlah yang ideal. Empat kali sehari rasanya terlalu memaksakan diri, apalagi saya awalnya sempat meminta 5 kali sehari wkwkwk… Wah kalau dive master saya gila dan menuruti kemauan saya, saya bisa gak bangun pagi itu.
Seusai kami menikmati makan pagi, kami segera berkemas-kemas untuk memulai diving pagi itu dengan menggunakan perahu motor yang telah siap sedia di ujung dermaga. Hari itu 2 orang dari group kami tidak ikut diving, tetapi ada dua warga asing yang akan menyelam bersama kami. Jadi total peserta 7 orang.
Perahu motor di atas bisa menampung sekitar 10 orang divers. Terdiri atas 2 tingkat. Tingkat pertama terdiri atas 2 dipan berhadapan, sedangkan tingkat kedua untuk kita bersantai sehabis melakukan penyelaman.
Roberto sang dive master didampingi seorang dive master local bernama Hengky. Roberto direncanakan mengawal kami berlima, sedangkan Hengky mengawal kedua orang asing yang ikut bersama kami.
Sejak mulai dari dermaga si Roberto sudah menunjukkan giginya dengan perintah2nya ke anak buah kapal. Hal ini berlanjut dengan briefing2 singkat beliau selama perjalanan menuju ke dive site.
Beliau sempat bercerita mengenai pengalaman penyelamannya yang sudah ribuan kali di beberapa Dive Club dunia, sebelum akhirnya bekerja di Komodo Resort beberapa bulan sebelumnya. Dia sempat mengkritik dive computer Suunto yang kami pakai, yang katanya kurang bagus, tidak bisa dipercaya dlsb, sembari menunjuk dive comp yang dia gunakan (saya lupa mereknya :p). Padahal dive comp Suunto adalah salah satu yang terbaik di dunia, dan kami menggunakan dari medium D41, D6 hingga top model D9, asem bener.
Dia juga memandang rendah kamera yang dibawa anak2, dan mengatakan bahwa dia baru mulai membawa-bawa kamera setelah dia menyelam lebih dari tujuh ribu kali, jadi kalau ingin belajar nanti dia akan beritahu tip2nya. Sayapun cuma bisa mantuk2 saja :).
Beberapa saat sebelum mencapai dive site Tatawa Kecil, kami diperintahkan untuk segera mengenakan pakaian selam dan peralatannya. Kami di brief mengenai karakteristik lokasi penyelaman dan diberitahu pada saat exit nanti seluruh penyelam harus naik dengan menggendong seluruh peralatan ke atas kapal.
Hmmm…baru kali ini saya memperoleh perintah seperti ini, tapi ya sudahlah coba saja, mudah2an kuat :). Lha gimana coba, naik dari permukaan air laut yang bergelombang ke atas speed boat atau kapal tanpa beban saja sudah sulit, ini disuruh mengangkat semua beban kecuali fin. Biasanya selama ini ketika kita muncul ke permukaan, anak buah kapal sudah dengan sigap mengambili semua perlengkapan kita dari speed boat atau kapal, hingga tinggal mengangkat badan saja. Itupun kadang harus terbanting-banting kesisi speed boat.
Beliau masih tetap rajin menjelaskan ini itu seakan-akan kami baru sekali ini melihat air. Dia juga menunjuk stick yang kami pakai dan dengan wajah serius mengatakan dalam bahasa Inggris: “Jangan sembarang tusuk sana tusuk sini ya. Kalian tidak boleh sembarangan menusuk, itu akan merusak karang. Ingat ini. Saya paling tidak suka orang sembarangan menusuk. Ini kepulauan saya, jadi jangan merusak!”. Saya meringis lagi mendengar penjelasan beliau. Saya sempat terpikir, apakah ada turis lokal sebelumnya yang “nggratil” tangannya, menusuk sana sini? Walahualam…
Beliau masih mengoceh ketika kami sudah mulai memasang peralatan dan mengenakannya di tubuh kami masing. Setelah yakin semua beres maka si Roberto meloncat, diikuti oleh kami secara bergiliran.
Selagi kami masih mengapung-apung di atas air, rupanya briefing belum selesai juga. Beliau memanggil kami mendekat karena dia hendak menjelaskan sesuatu. Namun karena ombak dan arus air, kami perlu sedikit bermanuever sehingga sedikit terlambat mendekat ke beliau, dan akibatnya beliau mengomel panjang pendek:”Kalian dengar, dibawah sana banyak sekali benda laut yang berbahaya. Coba lihat karang berwarna biru di bawah itu” katanya sembari meminta kami memasukkan kepala ke air untuk melihat apa yang dimaksud. Namun kami tidak melihat apa yang dia maksud
“Nah kalau sampai kalian sentuh karang itu. Saya jamin penyelaman ini adalah penyelaman kalian yang terakhir, bukan hanya disini, tetapi selamanya”, katanya dengan pongah. Hmmm…saya mulai terganggu. Hal2 kecil yang selama ini saya anggap sebagai professionalitas seorang dive master kawakan tiba2 berkurang drastic. Kok sudah hampir masuk ke dalam air ngomongnya begitu. Anak2 saling berpandangan mendengar hal ini, saya rasa mereka juga sudah sebel sekali.
Setelah memeriksa mask dan regulator kami, kamipun mulai masuk ke dalam air. Ehhh belum juga 3 meter, beliau sudah menunjuk satu persatu dari kami, seperti menyuruh kami memperhatikan buddy (pasangan selam, yang memang selalu ditetapkan sebelum terjun ke air), kemudian mulai menunjuk2 kami satu persatu mencela cara kami menyelam, menyeimbangkan diri dlsb.
Kelakuannya menjadi semakin menjadi-jadi, seakan-akan dictator, dia omeli satu persatu dari kami dengan mata mendelik dan ahhh uhhhh ahhh uhhhh karena badan yang kurang mendatar, gerakan yang tidak perlu dlsb. Dia juga melakukan beberapa maneuver yang membuat kami kebingungan. Sebentar menyuruh kami mendekat, seakan-akan hendak menunjukkan sesuatu, ketika anak2 mendekat dia dorong anak2 menjauh. Sebentar dia mengarah ke kiri, ketika kami ikuti dia bergerak ke kanan.
Arrrghhhh….saya mulai jengkel sekali. Anak2 memberi tanda ke saya dengan mengangkat tangan mengisyaratkan:”Apa2an ini?? Apa sihh maunya?”. Mereka tampak marah, tidak mengerti apa maunya si dive master yang sok tahu itu. Perubahan2 instruksi yang menyebabkan kami harus bermanuever itu tidaklah mudah bagi non-expert diver, dan malahan membuat kami panic. Namun ceritanya belum selesai.
Puncaknya adalah ketika dia dengan asyiknya melihat-lihat sesuatu di karang sedangkan kami berada 2 – 3 meter di atasnya, berjuang melawan arus, menunggu dia menyelesaikan keasyikannya. Kami tetap bertahan seperti itu tanpa ada yang berani mendekat sebelum memperoleh aba2.
Saya yang sudah mulai sangat jengkel akhirnyat tidak tahan lagi. Kurang ajar sekali, saya yang membayar mahal kok malah jadi dayang2 dia menikmati isi laut. Kemudian saya mencoba mendekat. Ehhh ketika dia melihat saya mendekat, dia langsung memberi aba2 untuk meminta saya memberitahu tekanan tabung saya. Sebelum saya sempat melihat dive comp saya, tangan saya dipegangnya dan dilihatnya sekitar 80 bar. Tangan saya langsung dicekalnya, dipegangnya dengan erat seperti ketika ibu2 memegang anak2 kalau lagi ke pasar :(.
Saya terkejut sekali, tekanan 80 masih aman di bawah air. Biasanya jika tekanan sudah mencapai 50, kita wajib memberitahu dive master untuk bersiap-siap naik ke permukaan. Namun dengan sisa 50 bar pun, jika penggunaan gas kita irit, kita masih bisa berputar-putar hingga tekanan 30 sebelum bersiap-siap naik.
Saya ketika itu tidak mengerti kenapa tangan saya dicekal, namun yang saya tahu, kemudian saya ditarik mengikuti dia. Saya pikir akan dilepaskan, ternyata salah, saya benar2 dicekal dan ditarik seperti anak nakal yang suka melarikan diri di pasar wkwkwkwk…. Gila pikir saya, sedangkan saya bebas saja saya sudah tidak betah menunggu dia menikmati isi laut, apalagi dalam keadaan terbelenggu.
Saya coba mengebaskan tangan saya. Eh tambah keras cekalannya, sementara itu anak2 bertebaran tidak tahu kemana dan itu membuat saya benar2 panik. Selama ini, anak2 tidak pernah lepas dari pandangan saya. Terkecuali mereka berpasangan dengan dive master atau teman saya yang saya tahu berpengalaman, mereka tidak pernah lepas dari pengawasan saya.
Pada penyelaman kali ini hanya satu dive master yang menemani kami berlima, dan saya sangat sadar bahwa komposisi ini tidak seimbang. Saya tadinya tidak mempermasalahkan hal ini karena saya pikir seperti penyelaman sebelumnya, dive master memimpin di depan, saya akan ada di belakang, dan itu membuat saya nyaman.
Namun kali ini, kehilangan pengawasan ke anak2 yang sedang jengkel, ditengah derasnya arus dan visibility yang buruk, sementara tangan saya dibelenggu oleh si dive master edan itu, benar2 membuat saya marah. Nafas saya menjadi memburu, bahkan tersengal-sengal, dan saya sentakkan tangan saya. Diraihnya lagi, dan ditariknya dengan keras. Kurang ajar pikir saya. Saya sentak tangan saya sekali lagi dan saya mundur seraya melotot ke dia, dan menyuruh dia naik untuk membatalkan penyelaman.
Saya juga memberi tanda ke anak2 untuk segera naik ke permukaan. Kami kemudian segera naik, saya dengan nafas tersengal-sengal, yang seharusnya berbahaya pada kondisi itu, naik tanpa ingat lagi untuk melakukan safety stop, hal yang perlu dilakukan untuk menghindari Decompression Sickness.
Ketika sedang hendak naik itu, kaki saya sempat ditarik si sialan itu, namun saya sentakkan dan saya tetap naik ke permukaan. Sesampai di permukaan, saya lepaskan mask saya, dan saya bernafas tersengal-sengal saking emosinya. Saya tunggu anak2 namun tidak ada satupun yang naik ke permukaan.
Saya membunyikan peluit saya untuk memanggil kapal yang menunggu di permukaan untuk menjemput, dan sayapun naik ke kapal dengan kondisi luar biasa marah. Nafas saya masih tersengal-sengal entah sampai berapa lama, kepala juga berdenyut-denyut entah karena emosi atau karena akibat saya mengabaikan safety stop tadi. Saya tidak tahu bagaimana melukiskan kemarahan dan kekhawatiran saya ketika itu, karena anak2 belum juga naik ke permukaan.
Saya mencoba mengatur nafas saya, mengatur detakan jantung saya yang suaranya hingga bisa saya dengar, menarik nafas dalam2, menekan pelipis saya untuk mengurangi denyut di otak saya dan menunggu. Saya menunggu kurang lebih 30 an menit, menunggu dengan perasaan campuran kemarahan dan kekhawatiran, hingga satu persatu anak2 naik ke permukaan dan naik ke kapal.
Hal pertama yang saya tanyakan ke anak2 adalah:”Kenapa kok kalian semua tidak naik?. Kan papa sudah suruh kalian naik semua??”. Jawaban anak2 membuat emosi saya tidak terbendung lagi. Mereka mengatakan bahwa ketika hendak naik, kaki mereka ditarik disuruh turun!!
Begitu si dive master brengsek itu, naik, saya omelin dia kenapa kok membuat kami malah panic di dasar laut. Ehhh…bukannya minta maaf malah dengan petita-petiti mengatakan:”Kenapa Anda naik? Saya dive masternya!. Saya yang mengatur kalau di dalam air. Saya sudah pengalaman puluhan tahun”.
Saya samperin dan tanpa ba-bi-bu, saya tampar wajahnya. Plakkkk!!!!! Dia terkejut, tapi masih ngoceh2 yang membuat saya semakin emosi. Saya dorong dia hampir terjengkang ke laut jika tidak ditahan anak buah kapal yang berdiri di belakangnya. Saya masih akan melanjutkan menghajar di kurang ajar ini jika saja tidak dilerai oleh semua anak kapal dan anak2.
Saya maki-maki dia, saya katakan:”Kalau Anda dive master yang hebat, Anda harus tahu hal yang paling berbahaya di dasar laut bukan binatang, karang dlsb, tetapi adalah membuat orang panic. Itu adalah hal yang paling berbahaya”. Yah memang benar, kalau kita panic di bawah air, bahayanya lebih dari diserang binatang.
Saya masih memaki-maki, namun saya sudah tidak ingat lagi apa yang saya katakan.
Oh iya, saya katakan juga:”Jangan sekali-sekali mendekat keluarga saya !!! Dan ingattt!! Ini adalah negara saya, kepulauan saya. Dan saya mencintainya lebih dari kamu. Jadi jangan menyuruh kami untuk tidak menusuk-nusuknya, kami tahu itu!!!”. Errrghhhh…
Dive master local dan anak buah kapal mencoba menenangkan saya. Anak2 juga berusaha menenangkan saya, dan mereka terkejut melihat papanya bisa seemosi itu. Yahh…memang baru kali ini saya menampar orang. Seingat saya, saya terakhir berantem waktu masih SD :). Itupun tamparan saya tidak setelak ini.
Tapi saya pikir saya berurusan dengan orang yang sangat membahayakan keselamatan jiwa saya dan keluarga saya. Orang yang tidak saja pantas saya tampar, tapi mungkin pantas saya tenggelamkan ke laut.
Setelah kejadian itu, si brengsek tidak lagi berani mendekat, bahkan ngomongpun jadi irit. Saya mengatakan ke dive master local untuk membatalkan sisa dive hari itu dan minta diantar ke resort. Saya sudah benar2 kehilangan gairah untuk meneruskannya.
Tetapi jarak dari dive site kami ke resort cukup jauh, sekitar 1.5 jam. Jika kapal harus balik mengantar kami, dan kemudian melanjutkan penyelamanan bersama 2 penyelam asing lainnya, maka waktunya akan terlalu lama. Sehingga akhirnya saya mengalah dan melanjutkan diving ditemani dive master local.
Penyelaman kedua dilakukan di Batu Bolong, lokasi yang sama dengan ketika kami melakukan penyelaman liveaboard. Namun sisi yang dipilih adalah drift dive di wall.
Tidak seperti penyelaman pertama tadi, penyelaman kali ini kami nikmati benar2, apalagi visibility jauh lebih bagus dibandingkan ketika penyelaman sebelumnya di tempat yang sama, yang ketika itu visibility masih kurang baik.
Kami melihat dinding karang yang indah, ikan2 berukuran sedang hingga besar di kedalaman kurang lebih 25 meter an. Ikan Napoleon, Sweet Lips, beberapa Lion Fish yang bersembunyi dicelah dinding. Indah sekali. Hmm…kemarahan saya jauh berkurang setelah melihat kreasi Tuhan Yang Maha Kuasa ini. Indah sekali.
Seusai penyelaman ini, saya secara khusus menyanyakan ke dive master saya, apakah ada di antara kami yang menurut kacamata dia tidak layak untuk menyelam? Saya terus terang penasaran apakah kami ini begitu bodohnya hingga harus diomelin dan dituntun oleh si dive master brengsek itu. Saya perlu opini yang jujur, jangan2 memang gara2 kebodohan kami semua makanya kami memang perlu diperlakukan seperti anak kecil itu.
Saya berulang kali meminta opini yang jujur dari pak Hengky, si dive master local. Saya katakan, kalau memang menurut dia tidak layak, saya akan batalkan penyelaman ketiga. Namun dia dengan bersungguh-sungguh mengatakan kami sangat layak untuk menyelam, sama seperti yang saya rasakan, apalagi anak saya Calvin dan keponakan saya Christian yang sudah bisa dikatakan mahir.
Penyelaman ketiga, atau terakhir hari itu, dilakukan sekali lagi di Manta Point. Setelah menikmati santap siang, kamipun terjun lagi dengan ditemani oleh dive master pak Hengky.
Saya tidak memperoleh visibility yang saya inginkan, namun untunglah kali ini si Manta tidak terlalu malu2 menampilkan diri. Setelah beberapa saat berputar-putar, kami berkali-kali bertemu dengan Manta yang kami cari.
Pada saat itu saya juga menyaksikan kehebatan orang yang sudah berpengalaman di dalam mengendalikan buoyancynya (mengapung di dalam air). Pada kondisi tarikan arus yang cukup deras, mereka bisa mengapung di dasar laut dengan santai, bahkan hampir tanpa gerakan kaki sama sekali. Sementara saya harus berjuang keras untuk mempertahankan diri supaya tidak terseret arus.
Sebenarnya kita dengan mudah bisa menonton Manta di aquarium air laut raksasa seperti di Seaworld Ancol (sepertinya ada), atau di Singapore. Namun melihat langsung di habitatnya jauh berbeda rasanya. Melihat mereka tanpa takut meliuk-liuk mengebaskan sayapnya seperti burung elang, sangat luar biasa elegance-nya. Indah sekali.
Untuk bisa menikmati keindahan tarian dia itu, kita harus mengendap-endap di dasar laut agar si Manta tidak lari. Kami tidak diperkenankan menyemburkan buih2 udara ketika mereka melewati kepala kita. Juga tidak diperkenankan untuk membuat gerakan2 tiba2.
Saya sempat hampir bersentuhan dengan salah seekor dari Manta yang dari ujung ke ujung sayapnya mungkin hampir 3 – 4 meter itu, ahhhh…indah sekali. Sayangnya visibility tidak jernih, sehingga pengambilan foto tidak seperti yang saya harapkan.
Selesai penyelaman ketiga, kami kembali ke resort untuk berbilas dan makan malam.
Peristiwa saya nggampar pipi si dive master brengsek itu ternyata sudah menyebar di resort. Saya sudah mencoba melupakannya, dan berpikir besok untuk diving dengan didampingi oleh pak Hengky saja. Namun Stefano, pemilik resort mengundang saya ke kantornya untuk meminta penjalasan saya.
Tetapi rupanya apa yang saya anggap hanya akan berlangsung sebentar, berlangsung lebih hampir 1 jam. Si Stefano tidak terima dive masternya saya gampar. Apapun yang saya jelaskan tidak mengundang simpatinya, padahal saya sudah meminta dia untuk menanyakan langsung ke anak2 kalau memang dia merasa saya mengada-ada.
Berulang kali dia mengatakan bahwa kejadian ini baru kali ini terjadi, tidak pernah sekalipun si Roberto dicomplain tamu lain. Roberto adalah dive master hebat, disayang tamu bla bla bla. Jauh sekali dibandingkan info yang saya peroleh dari pelayan di resort dan staff di Labuan Bajo.
Beberapa staff di resort yang saya tanya mengatakan bahwa beberapa tamu pernah complain mengenai si gemblung itu Petugas di Labuan Bajo yang saya temui keesokan harinya bahkan nyerocos tanpa saya minta:”Iya tuh. Dulu lebih parah pak. Dia tidak mau melepas sandal di resto karena jijik kakinya menginjak bekas kaki orang pribumi”.
Sikap Stefano yang buta mata membela dive masternya, dan bahkan menyalahkan saya sebagai tamu yang harusnya dia layanan bak raja (kan katanya Customer is King), membuat saya kehilangan gairah untuk melanjutkan diving. Apalagi dia pada awalnya tidak berencana menambah dive master untuk mendampingi kami, yang besok akan bertujuh orang.
Setelah didesak istri saya yang menanyakan apakah cukup 1 dive master menangani 7 orang?? Dia baru menawarkan diri dengan enggan untuk ikut menemani kami. Hmmm….
Mempertimbangkan sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan pemilik resort ini, ditambah kekhawatiran saya akan keselamatan penyelaman besok, maka kami sepakat untuk membatalkan penyelaman keesokan harinya.
Keesokan harinya kami isi dengan mendarat ke Labuan Bajo yang hanya kami lalui pada hari pertama, dan juga berkunjung ke Goa Cermin yang menurut penyelam senior yang pernah saya temui, layak untuk dikunjungi.
Jadi sampai disini berakhirlah cerita diving saya di perairan sekitar Pulau Komodo. Apakah saya puas? Saya rasa tidak. Kalau dari rate 1 – 10, mulai dari dari proses booking yang sulitnya setengah mati, ditambah pengalaman buruk ketinggalan koper, ketidak nyamanan tidur malam di kapal, permasalahan dengan dive master asing yang sok tahu, dan lain sebagainya, saya hanya akan memberi rate 5. Itupun saya sudah cukup bermurah hati :).
Saya rasa, semua yang saya lihat selama penyelaman disana, bisa saya peroleh dengan biaya lebih murah, effort lebih mudah, fasilitas lebih nyaman di sekitaran Bali atau Bunaken. Selain itu tidak ada yang bisa dilihat oleh non-divers seperti di Bali misalnya. Kalau di Bali, sementara kita diving, para istri juga bisa punya acara sendiri :).
Saya tidak tahu apakah kekurangan yang saya alami pada penyelaman kali ini karena salah musim yang membuat air sedemikian jeleknya, atau karena kemampuan kami yang kurang sehingga dicarikan dive site yang mudah2 atau karena operator diving kami tidak mau susah2 jadi dicarikan saja yang dive site yang dekat2 (mudah2an hal ini saya salah).
Akankah saya kesana lagi? Hmmm…nanti saya jawab setelah saya menyelesaikan bagian terakhir tulisan saya ya :).
Bersambung: Goa Cermin, Labuan Bajo – Mengunjungi Pula Rinca menengok Komodo
Reading your 3rd sequel of Komodo’s Trip has given me further insight not only to the journey but also to the people we will encounter. Indeed, your dive master had ruined your diving excitement as if he was the only expert there. However, as common people, I personally thank to pak Guntur for his real moment sharing so we can anticipate those obstacles before hand cause none of us want to have such ‘holiday from hell experience.’
Thank you again for your comment. I still have one more posting to finish it, hope you’ll like it :).
Hahahaaaaaaa…..seru banget, sampe gua rasanya pengen ikut ngomel2in n njotos si jemblung itu, sombong buanget…….hiiiiihhhhh…
Kapan serial berikutnya? Cepaaatt….
Sorry for this late reply.
Harus ngajak kamu ya Lis, jadi kita gamparin bareng2 🙂
Hahaha “sing gelut… sing gelut… sing gelut..” ,
itu dive master udah ribuah kali penyelaman tapi kog parno & lebai banget ya pak… :))
tapi resort nya bagus ^^ sukaaaa
Apalagi kalau buat honeymoon aw aw aw… 🙂
Wahahahahahaha……. :”> ~pipi bersemu merah…
Wakakakakak….ternyata pas mengena ya 🙂
mantaaaapp!!!…boleh minta kontak resort nya??
Bisa di browse disini: http://www.komodoresort.com/page.php?page=36
Salam,