Lanjutan tulisan saya ini, saya peruntukkan bagi beberapa teman yang masih sabar membaca perjalanan saya ke Komodo. Berikut lanjutan cerita saya yang belum selesai itu.
Day two:
Saya terbangun bukan karena sudah puas tidur, tapi karena saya mendengar suara jedakkk jedukkkk jedakkk jedukkk terus tidak berhenti. Suara itu sangat mengganggu. Duhhh suara apaan sih ini pikir saya, kok malam2 ada yang memukul-mukul sesuatu.
Dengan mata setengah terpejam, saya mencoba bangun, wuikkk…badan serasa remuk karena kasur busa yang kurang keras dan akibat berbalet ria di bawah air. Saya turun dari dipan saya, dan memeriksa suara apa yang mengganggu sekali itu.Setelah keluar dari “suite room” saya, baru saya sadar yang jedak jeduk adalah pintu kamar yang terbuka tertutup akibat diombang ambing ombak sehingga menghamtam dinding kamar. Selain itu, koper2 yang diletakkan di gang, bergeser kesana kemari. Hayaahhh…ada2 aja.
Saya segera menutup pintunya, saya betulkan letak kopernya, dan sayapun naik ke ruang makan untuk minum air. Ahhh…segarnya udara di ruang makan, pingin sekali saya tidur disana, tapi saya perhatikan ruang sudah digunakan anak saya yang tidur dengan nyenyaknya. Saya geser sedikit kakinya, dan saya duduk “blongak blongok” bingung mau ngapain. Saya cari2 HP saya untuk melihat jam, lohhhh baru jam 2:30 dini hari. Waduhhh masih lama nih terangnya.
Setelah puas “lolak lolok”, saya turun kembali ke ruang sauna, berguling-guling, memaki-maki panas dan pengapnya kamar, naik lagi ke ruang makan, keluar ke dek. Masuk lagi ke ruang makan, mengambil kamera, memotret langit yang penuh dengan bintang, memutari kapal, masuk ke ruang makan….mirip orang edan wkwkwkwk…
Duhhhh tidur lagi gak ya? Mana hari ini masih akan dive 4 kali lagi, saya perlu tubuh dengan kondisi prima. Namun memikirkan tidur di ruang sauna itu benar2 membuat kantuk saya hilang. Akhirnya, saya duduk di meja makan dengan menggeser kaki anak saya sedikit.
Saya sapu atas meja makan dengan mata saya, ehhh ada Biskuit Roma Malkist, saya raih biscuit itu, saya buka, saya ambil satu, dua, tiga, empat…akhirnya hampir sebungkus saya habiskan sambil menikmati suara kecipak ombak dan sesekali saya dengar seperti suara ikan terhempas di air.
Ngapain ya enaknya?? Di luar gelap gulita kecuali sedikit bocoran sinar lampu dari ruang makan di kapal, selain itu gelap. Semua masih tertidur lelap.
Saya ambil BB saya, iseng2 saya lihat signalnya nol, tidak ada signal sama sekali. XL tewas, tidak bisa digunakan sama sekali. Saya ambil Galaxy Note saya yang menggunakan simcard Telkomsel, ehh ada signal, bahkan ada signal data HSPA. Wuahhh…hebat…coba browse, eh bisa. Coba whatsapp, ehhh jalan. Lumayan juga.
Saya coba chat, tidak ada yang langsung menjawab, ya iya pasti tidur semua pikir saya :). Iseng2 saya kirim beberapa foto yang sempat saya jepret pakai Note saya, ehh ternyata beberapa teman saya di US membalas, dan kamipun sempat beberapa saat ngobrol.
Hmmm…teknologi memang luar biasa ya. Ribuan kilometer terpisah, namun mereka serasa berada di ruang makan itu bersama saya. Saya berada di kapal yang menyiksa saya, di Labuan Bajo, lagi terombang ambing di perairannya, tapi saya bisa chat dengan teman2 saya di US. Hebat bukan?.
Selesai berchatting ria, saya ambil iPad Mini saya, saya baca eMagazines yang sudah saya download sejak di Jakarta. Tidak berapa lama, saya tutup. Kemudian pindah ke aplikasi iPhoto. Saya edit beberapa foto, saya tutup lagi, lalu saya baca eBook saya, saya tutup juga, saya browse kesana kemari, saya berganti-ganti aplikasi untuk mengatasi kebosanan saya sampai saya tidak tahu apalagi yang saya lakukan, tiba2 matahari mulai nongol di ufuk langit. Ahhh akhirnya pagi juga….saya ambil kamera dan saya mulai memotret lukisan alam di pagi hari itu.
Beberapa saat kemudian awak kapal juga mulai bangun, dan kehidupan di hari kedua mulai berjalan seiring dengan mulai diangkatnya jangkar dan kapal mulai pelan2 meninggalkan area Labuan Bajo menuju laut lepas.
Saya kemudian duduk di dek depan sambil membaca-baca apa saja yang ada di iPad Mini saya sembari dibelai-belai angin laut yang terasa sejuk. Ini adalah bagian paling menyenangkan sejak saya tiba di Labuan Bajo sejak kemarin, menikmati udara pagi, pemandangan laut yang indah sambil duduk di dek depan kapal. Hmmm…enak juga.
Satu persatu anggota keluarga saya mulai bangun, awak kapal juga sudah menyediakan sarapan pagi sederhana berupa roti, scramble eggs, dan beberapa macam selai. Dan kamipun sarapan pagi bersama.
Selesai sarapan kami di-briefing mengenai rencana penyelaman hari itu. Penyelaman akan dilakukan 4 kali, kemudian 4 kali besok harinya.
Penyelaman pertama hari itu adalah di dive site sekitar Pulau Sebayur, sama seperti kemarin visibility tidak membaik, paling jauh sekitar 5 meter, ikan dan coral reef yang saya lihat tidak ada yang istimewa.
Penyelaman kedua di Manta Point, tempat berkumpulnya ikan2 manta. Visibility juga buruk, arus kuat, dan kami hanya bertemu beberapa ekor manta.
Penyelaman ketiga tetap di Manta Point, namun kami bergeser ke area yang katanya merupakan Cleaning Point si Manta, dimana katanya si Manta suka berkumpul disana untuk dibersihkan badannya oleh ikan2 kecil. Kami sempat melihat 4 – 6 ekor Manta berenang beriringan, indah sekali. Namun sayangnya visibility juga buruk :(.
Selesai ketiga penyelaman yang rata2 membutuhkan waktu satu jam dengan jeda sekitar 1 jam pula, kami kemudian menikmati makan siang alias sore sekitar pukul 15 an.
Kembali kami disuguhi makanan yang menarik seluruh air liur keluar, terutama karena sudah kelaparan :).
Kapal kemudian berpindah tempat ke Pulau lain, tujuannya adalah dive site Batu Bolong. Perjalanan antara satu dive site ke dive site lainnya terkadang sangat tenang, namun tidak jarang juga berombak.
Goyangan ombak seringkali cukup keras, antara 30 – 45 derajat, sehingga selain melemparkan koper kesana kemari, juga membuat ibu2 mabok laut. Jika sudah seperti ini, tidak ada lagi yg bisa dilakukan selain memuntahkan semua makanan di perut dan berbaring tidur untuk meredakan gejolak isi perut. Bagian ini mungkin bagian yang paling tidak menyenangkan bagi ibu2 selain harus tidur di ruang sauna yang panas dan pengap itu.
Berikutnya kamipun nyemplung lagi untuk yang keempat kalinya sekitar pukul 16:15 di dive site Batu Bolong. Kali ini visibility lebih baik, sekitar 6 – 8 meter, dengan pemandangan coral yang menawan, namun tidak sampai membuat saya membelalakkan mata. Saya tidak tahu kenapa saya tidak sampai berteriak WOW, mungkin karena coral di Tulamben dan Bunaken tidak kalah bahkan mungkin lebih bagus daripada Komodo. Atau karena harapan saya terhadap alam bawah laut Komodo sudah terlalu tinggi akibat promosi dari sana sini.
Sejam setelah itu kami naik ke permukaan, berbilas diri dengan shower yang seperti enggan mengeluarkan air. Sembari berbilas, kapal berpindah tempat ke suatu pulau yang saya lupa alias tidak tahu namanya, berlabuh disana untuk bermalam.
Berbilas dengan air dari shower
Pulau tempat kapal berlabuh untuk melewatkan malam
Pulau tempat kami berlabuh, adalah sebuah pulau kosong yang hanya terdiri atas savanah. Di beberapa tempat tampak satu atau beberapa batang pohon menghijau, namun selebihnya berupa rumput2 kering.
Pesisir pantainya putih bersih namun tidak sampai memancing kami untuk mendarat kesana. Sesekali tampak ikan2 melompat di perairan itu, bahkan kami sempat melihat beberapa manta melompat dari dalam air. Indah sekali.
Anak2 yang terbius oleh indahnya suasana dan tenang serta jernihnya air, serta tenaga anak muda yang masih belum habis terlampiaskan oleh 4 dive, berenang kesana kemari dan juga melompat dari kapal ke laut :).
Kami makan malam di dekat pulau itu, ngobrol ngalor ngidul hingga satu persatu mulai memasuki “suite room”nya masing2 :). Ketika kami hendak tidur, tiba2 hujan turun dengan deras sehingga anak2 yang tadinya berencana tidur di dek terpaksa ikutan masuk ke ruang sauna juga :).
Malam itu saya terpaksa harus memanipulasi pikiran saya bahwa saya berada di ruangan yang adem ayemm :), saya tekankan bahwa ruangan saya dingin, ademmmm hingga saat tertidur sekitar pukul 22:00. Sebelum saya hanyut dalam mimpi, saya sempat mendengar kegaduhan di dek atas seperti orang sedang memindah-mindahkan barang, namun saya sudah tidak ada tenaga lagi untuk memeriksa apa yang dilakukan orang2 di dek itu.
Day 3:
Sekitar pukul 3 pagi, saya terbangun karena badan saya basah kuyup oleh keringat. Ruangan terasa panas dan pengap sekali. Saya coba bolak balik kanan kira tidak bisa tidur. Duhhh…kenapa kok bisa panas begini sih??? Saya lihat pintu kamar sudah terbuka, kok tidak ada angin sama sekali. Kipas angin sudah maximum. Saya cek jendela kecil di atas kepala saya, lho kok ada yang menutupi kedua jendela itu. Saya dorong2 tidak bisa. Errrghhhhh…apa itu?
Lubang udara yang sangat kecil
Sayapun bangun, naik ke dek atas untuk memeriksa apa yang menutup jendela itu. Terhuyung-huyung seperti pendekar mabok, saya akhirnya tiba di dek. Ehhh ternyata dek ditutup terpal karena hujan semalam. Terpal itu diganjal menggunakan tabung udara, pemberat untuk penyelaman dan segala barang yang bisa digunakan untuk menindih terpal supaya tidak diterbangkan angin.
Pantas ruangan saya seperti neraka. Lha wong tidak ditutup terpal aja sudah ‘sumuk’nya minta ampun, lha ini malah lubang satu2nya untuk udara mengalir ditutup terpal pula. Edannn…
Terpal yang digunakan untuk menutup jendela ke kamar
Dini hari itu satu persatu pemberat dan tabung saya pindahkan, saya angkat terpalnya supaya lubang jendela bisa dimasuki angin. Dan setelah selesai, sayapun melanjutkan tidur saya yang terganggu itu. Untungnya mata saya bisa diajak kompromi untuk tidur hingga sekitar pukul 6 saya terbangun dengan punggung kaku, pinggang serasa patah, dan kaki seperti habis diajak marathon puluhan kilo. Mirip seperti sehabis mendaki gunung :).
Sama seperti sehari sebelumnya kami sarapan, kapal mulai bergerak menuju ke dive site pertama yang akan kami selami.
Penyelaman pertama kali adalah dive site Crystal Rock. Arus di daerah ini besar sekali, kaki serasa hampir kram melawan arus yang yang sedemikian keras. Penyelaman di daerah Komodo memang terkenal dengan arus yang kuat. Kami sudah berkali-kali diingatkan oleh teman2 akan kuatnya arus, namun sebelum mengalaminya sendiri, saya belum terbayang seperti apa.
Di Crystal Rock visibility juga di bawah 5 m, banyak coral reef dan ikan2 dengan ukuran besar, sekitar 30 – 50 cm. Kami juga sempat bertemu dengan 3 anak hiu seukuran 50 cm yang bersembunyi di bawah karang.
Penyelaman kedua kami lakukan di dive site Gili Lawa. Penyelaman ini merupakan penyelaman drift dive, menyelam sembari mengikuti arus air. Saya membayangkan drift dive kali ini seperti yang pernah saya lakukan di wall di Tulamben. Air bening, wall yang indah, yang bisa saya nikmati sambil dihanyutkan arus.
Namun drift dive yang saya alami kali ini jauh dari yang saya bayangkan :). Saya harus berjuang sampai kaki rasanya hampir kram mempertahankan diri dari tarikan arus. Arusnya kuat sekali sampai2 saya harus menggunakan hook untuk pertama kalinya selama saya menyelam.
Sebelum kami berangkat ke Komodo, kami sudah berkali-kali diingatkan untuk berhati-hati akan arus deras di perairan Komodo. Salah seorang penyelam kawakan yang saya temui di Dive Shop Seapearl, daerah Grogol, menyarankan saya untuk membeli hook (kaitan) jika nanti saya harus bertahan melawan arus. Terus terang saja ketika itu saya tidak secara serius menanggapi saran si Om itu, apalagi kami pernah mengalami kuatnya arus di Nusa Penida. Jadi ocehan beliau saya dengar separuhnya saja.
Namun meskipun demikian saya pikir2 tidak ada salahnyalah saya membeli saja hook yang beliau sarankan, tetapi saya hanya membeli dua saja dari seharusnya empat. Selain keragu-raguan saya akan derasnya arus di Komodo, saya juga tidak terbayang apa gunanya dan bagaimana cara menggunakannya. Pokoke beli aja, paling tidak untuk anak saya Calvin yang suka memotret di bawah air.
1 and Twin Drift dive hook
Kembali ke bawah air. Ketika terhanyut oleh arus yang sangat kuat itu, tiba2 Dive Master kami menunjuk sesuatu diantara karang, maka secara automatis anak saya Calvin dan keponakan saya, Christian, yang membawa kamera, langsung bermanuver ke bawah. Sedangkan saya, keponakan saya, Stefani yang lain dan dua anak saya, Steven dan Ivan menunggu sekitar 2 – 3 meter di atasnya.
Ketika sedang menunggu itu, saya merasakan seretan arus yang sangat kuat sekali, berhenti sebentar saja mengayuh kaki, maka kami akan langsung terseret arus. Dan jika sampai terpisah lebih dari 3 – 5 meter, maka kita akan hanyut dan sudah pasti hilang dari pandangan karena visibility yang buruk. Jadi kami berempat dan satu dive master yang menemani kami berusaha sekeras tenaga melawan arus sambil menunggu di atas.
Ketika kami sudah merasakan kelelahan, Steven, anak saya paling kecil, menancapkan sticknya ke karang dan berpegangan. Dive master yang satunya menancapkan hook ke karang dan memberikan ke keponakan saya, Stefani, untuk berpegangan. Tinggal saya dan anak tertua saya, Ivan, yang mati2an bertahan melawan arus menunggu anak dan keponakan saya memotret entah binatang apa.
Mereka berdua didampingi Dive Master yang menunjukkan lokasi binatang itu sih terlindung di balik batu karang, sehingga mereka tidak merasakan besarnya seretan arus. Saya dan Ivan yang setengah mati bertahan. Malangnya, saya tidak membawa hook saya, karena di penyelaman sebelumnya arus tidak sebesar itu. Saya pikir kali ini juga tidak akan besar, sehingga ketika hendak menyelam, hook saya tinggal. Aduhh menyesalnya saya…terpaksa saya seret Ivan menempel ke Steven yang menancapkan sticknya, dan saya ngawur2an memegang apa saja yang bisa saya raih.
Setelah menunggu beberapa saat tidak ada tanda2 selesai memotret, dan saya sudah kecapekan menahan arus serta menahan sakit di jari2 tangan saya untuk memegang karang yang tajam, akhirnya memberi tanda ke dive master kedua untuk meninggalkan lokasi dan meminta dia memberitahu yang dibawah untuk juga ikut meninggalkan lokasi. Dan kami melepaskan diri dari karang untuk ikut hanyut sesuai aliran arus. Fiuhhh…edan bener.
Penyelaman ketiga kami lakukan di Pulau Siaba Kecil. Kali ini baru kami menikmati apa yang namanya fun dive. Airnya bening dan hampir tidak ada arus. Saya bisa dengan leluasa meninggalkan anak2 tanpa harus mengkhawatirkan mereka.
Ribuan ikan2 kecil beraneka warna dengan coral reef yang bagus sekali terbentang meluas. Bisa dikatakan menyelam di dive site ini mirip seperti menyelam di aquarium air laut saja. Ribuan ikan2 kecil dan menengah mengitari kita. Kita bisa berkejar-kejaran dengan mereka.
Tenangnya air, membuat penyelaman bisa dilakukan dengan santai, sehingga penggunaan tabung udara juga sangat irit. Namun setelah sejam berputar-putar, saya akhirnya bosan juga :). Saya coba mengejar rombongan ribuan ikan2 kesana kemari agar tekanan tabung berkurang, tapi ternyata masih tinggi juga, sampai akhirnya saya benar2 bosan dan naik ke permukaan :).
Penyelaman keempat setelah diselingi makan sore, dilakukan di Pulau Sebayur Kecil. Kondisi bawah lautnya mirip dengan Siaba Kecil namun visibility tidak sejernih di Siaba Kecil.
Kelelahan setelah 4x dive 🙂
Setelah menyelesaikan penyelaman keempat, maka selesailah Liveaboard kami. Terus terang hingga saat ini saya belum merasakan kenikmatan menyelam seperti promosi yang saya dengar selama ini. Dive site, coral, ikan apalagi visibility yang saya lihat tidak seheboh apa yang saya dengar. Tapi saya masih memiliki simpanan 6 kali dive yang akan saya lakukan dari sebuah resort. Mudah2an nanti saya temukan nirwana yang dijanjikan itu…aw aw aw… :).
Resort yang juga akan kami gunakan sebagai tempat menginap ini terletak di sebuah pulau kecil bernama Pulau Sebayur. Komodo Resort, nama resort yang akan kami tempati, juga saya peroleh dari berbagai rekomendasi yang saya baca dari internet, terutama TripAdvisor.
Sama seperti ketika membooking / mereserve Dive Komodo, proses pemesanan tempat di resort ini juga sama susahnya. Proses administrasi berbelit-belit sehingga kami kesulitan untuk memperoleh konfirmasi. Jadi jika ingin menginap di resort ini, lakukanlah jauh2 hari sebelumnya.
Kami kemudian di antar oleh kapal yang kami gunakan selama liveaboard, langsung ke Pulau Sebayur sekitar pukul 18:00.
Komodo Resort – Pulau Sebayur
Bersambung: Komodo Resort, Goa Cermin – Labuan Bajo & Pulau Rinca
Thanks untuk ceritanya and foto fotonya yg sangat bagus. Tapi kok nggak ada foto bawah air? Si Calvin ada publish nggak foto yg dia ambil?
Thank you atas komentarnya Sien. Foto bawah air gak ada yang bagus, karena belum bisa motret dengan benar, dan visibility yang buruk. Gak ada yang pantas dipamerin rasanya :). Dan casing camera bocor, jadi camera sempat terendam air sampe mogok gak bisa dipakai :).
Thanks for your effort continuing ‘Komodo Story’, in this section…I learn more in how to anticipate such troubles in the next visit to Komodo island. Just wonder whether kids at age 8-10 are available for this journey or diving?Do you get decent food during 3 days journey in the boat? I’m afraid that only people with good stamina can join to this trip since you were also lack of sleeping, right? Anyway, I look forward for the upcoming episode sir!
You’re welcome Ms. Yeti. Yes, of course kids at age 8 – 10 are possible to take this journey, but I’m not really sure whether they can enjoy or not :). Food is excellent, whether on boat or at the resort. Kids like it so much :).
Regarding stamina, yes you have to be in a prime condition, not only because of lack of sleeping, but also bcs of wind, wave dan rain. I’m not recommend to bring kids to do liveaboard kind of journey, sorry :).
Wah Foto Bawah airnya bagus gk pak.. :D… melihat bentuk Jendela nya dan membaca tulisan pa Guntur saa jadi ikut kepanasan nih… 😀
Tidak, Victor. Pertama karena belum mahir memotret di bawah laut, kedua visibility buruk sekali. Mudah2an skr kamu sudah adem ya, kan akhir2 ini hujan melulu :).
cerita nya super seru nich pak, udah langsung sambil ngebayangin diving dengan visibility 5m, sambil bertahan melawan arus…super capek :p
diving yg sebelum nya saya berhasil bertahan dari arus dengan “nancepin” pointer ke karang :))
tapi kalo baca cerita pak Guntur, kynya hook lebih menjanjikan..
Saya dulu waktu di Nusa Penida pernah melawan arus, tapi kali ini lebih kuat arusnya. Menurut saya perlulah beli hook, harganya murah kok, rasanya gak sampe 100 ribu deh.
Fotonya underwaternya mana pak? 😉
Maluuu…fotonya hancur lebur…belum pantas untuk dipost 🙂