Unconditional Love

Tulisan saya mengenai Tell us where you are, kids … ternyata memperoleh komentar yang sangat panjang dari sobat baik saya Om Eddy Harris yang rajin memberikan komentar menarik atas tulisan2 saya. Komentar2 beliau selalu menantang saya untuk berpikir panjang sebelum berani menjawabnya :).

Sebenarnya saya juga amat sangat ingin memperoleh komentar dari ortu-ortu lain yang membaca posting saya ini, supaya apa yang saya tulis dengan mengatasnamakan para ortu, bisa diperkuat oleh ortu2 yang lain. I think, this is the blog should be, untuk menjadi ajang diskusi dari berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang. Tapi…mungkin belum saatnya kali ya :p.

Kembali ke email teman saya, atas seijinnya, saya mencuplik email beliau sebagai berikut:

———

“Tadi saya barusan ketemu a good friend of mine yg baru balik nganterin anak nya sekolah di Univ of Portland Oregon where I used to go to.

Teman saya baru balik 1 minggu yg lalu.

Dia bilang sebelum dia anterin pergi about 2 months before the date… saat itu dia mesti bantuin soal pendaftaran sekolah, he was very sad. Ngak siap. It is striking. Terus nganterin anak nya disitu, saat dihari2 terakhir dia ke Seattle dan makan sekeluarga yg tadinya ber 4 jadi ber 3.

Sekarang setiap hari dia connect dari ipad nya dengan faceup kalau nggak salah. To check how he’s doing.

Sampai2 maminya bilang jam segini mestinya si Mathew udah bangun to go to school ya, apakah dia sudah bangun belum ya?

And dia juga bisa check anaknya punya tugas2 apa saja untuk mata pelajaran yg diambil…somehow ada personal account yg berisikan those things. And his mom  remind her son about the home works.”

———-

Hmm…seem so familiar to me, because it also happened to us hahaha.. :). Dan saya yakin juga terjadi dengan ortu2 lain yang harus berpisah lama dengan anak2nya karena harus menuntut ilmu di kota atau Negara lain. Oleh karena itulah saya putuskan untuk meminta ijin saya cuplik untuk tulisan ini.

Ya kami juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali putera saya Ivan berangkat ke US pada Agustus 2009,  tiga tahun lalu, dan kemudian disusul putera saya kedua Calvin tiga bulan kemudian.

Kami mungkin tidak separah ortu Mathew, karena kebetulan saya sejak kecil sudah hidup terpisah dengan orang tua saya karena di kota kelahiran saya, Kotabaru, Pulau Laut tidak ada sekolah yang bagus, sehingga saya ketika masih SD sudah disekolahkan ke Surabaya dan hidup mandiri disana bersama kakak2 saya yang datang bergantian. Saya hanya bertemu dengan ortu saya sekalin satu atau dua kali.

Sedangkan istri saya sejak SMA juga harus meninggalkan kota kelahirannya di Jember untuk bersekolah di Surabaya. Sehingga bagi kami berdua, urusan hidup terpisah dari ortu dan hidup mandiri sudah sangat berpengalaman :).

Namun meskipun demikian, pada saat harus berpisah untuk jangka waktu yang lama, rasa kehilangan tetaplah ada. Apalagi ketika itu jarak keberangkatan putera saya pertama dan kedua hanya 3 bulan. Hal ini menyebabkan sentakan kekosongan yang tiba2 menerjang rumah saya, rumah yang tadinya ramai tiba2 jadi sunyi senyap karena hanya tinggal putera saya ketiga, Steven di rumah.

Makan malam yang biasanya ramai karena mereka selalu saling goda, lenyap. Kumpul2 nonton TV di ruang keluarga setelah makan malam, hilang. Sekarang jadi sunyi, sepi.

Oleh karena itulah keingingan untuk mengetahui kondisi putera2 kami secara detail tidak bisa dihilangkan begitu saja, kami setiap hari selalu berkomunikasi melalui BlackBerry Messenger, setiap hari, bahkan lebih intensive daripada ketika semuanya berada di Jakarta :).

Keterpisahan ini menyebabkan munculnya kekhawatiran kami sebagai orangtua karena tidak lagi bisa melihat tingkah polah atau kegiatan2 mereka yang tadinya langsung tampak di depan mata setiap hari. Dan juga karena di mata kami, meskipun mereka sudah dewasa, tetaplah anak2 bagi kami.

Panggilan anak2 ini sepertinya bukannya tanpa alasan. Meskipun nanti beranak cucu, kan juga masih tetap anak2 kami, karena mau berumur berapapun juga, secara relative (mirip seperti hukum Relativitynya Albert Einstein) jarak usia kami tetap sama. Betul tidak?

Apakah saya dan istri terlalu melankolis? Tidak!

Buktinya ketika putera kedua saya memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Singapore, bersama dengan 46 teman2nya dari berbagai sekolah di Indonesia dan ketika tiba hari keberangkatannya, hampir semua orang tua, terutama mami2, meneteskan air mata, tidak terkecuali juga beberapa bapak2.

Hampir semua lho, mau mami2 maupun papi2, kecuali tentu saja saya…caileee…:). Padahal cuma ke Singapore, yang jaraknya hanya selemparan batu :p, yang tiket pesawatnya lebih murah daripada ke Surabaya.

Saya ketika itu sempat menggoda mami2 itu dengan mengatakan:”Ini tangis sedih atau bahagia? Maksud saya bahagia karena setelah ini punya alasan untuk bisa slonang slonong belanja ke Singapore?”..hahaha…

Tentu saya tahu bahwa tangis mami-mami itu adalah tangis sedih karena anak2, yang meskipun telah memasuki usia 16 tahun, yang meskipun hanya bersekolah ke Singapore, harus berpisah untuk waktu yang lebih daripada biasanya.

Biasanya cuma berpisah dari pagi sampai sore, atau paling lama kalau lagi ada acara camping atau mendaki gunung, kali ini harus berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Dan hingga hari ini, topik pembicaraan kami di group BB adalah selalu berkisar pada kegiatan anak2, yang sebentar lagi akan test ini, sebentar lagi akan ada kegiatan ini, sebentar lagi akan begini beginu.

Oleh karena itulah wahai anak2ku semua, yang sekarang jauh terpisah dari ortu kalian, termasuk anak saya juga, bersabarlah dengan kecerewetan ortu2 kalian yang seringkali menanyakan hal yang sama berulang-ulang, menanyakan hal yang sangat detail yang gak penting punya, menanyakan kemana kalian pergi, dengan apa kalian pergi, dengan siapa kalian pergi, ngapain kalian pergi, etc etc etc

Menanyakan makan apa hari ini, menanyakan apakah sudah minum vitamin atau belum, menanyakan apakah sudah bikin PR atau belum, menanyakan apakah sudah beli roti untuk besok belum, menanyakan apakah sudah mulai punya pacar belum, menanyakan apakah pacarmu masih baik sama kamu atau tidak, menanyakan ini … menyanyakan itu … menanyakan inu … menanyakan hal yang sama tiap hariiiiii…

Why???? Because no matter how old you are, you are still a kid for us …

And because we love you…no more no less…

 

Dear parents, am I right or am I wrong? No comments, as always? Ok, thank you 🙂.

12 thoughts on “Unconditional Love

  1. Ga usah jauh keluar negeri pak
    Mami saya yg saya awal kuliah nge kos d jgj yg jaraknya cm 1,5 jam dgn mobil saja tiap hari rajin telpon
    Malah sempat pagi hari saya berangkat ke Jogja, sorenya mami nyusul krn kangen

    Apalagi ketika saya pindah Jakarta, sudah nangis bombay, hehehe
    Untung sekarangnortu sudah mau belajar teknologi
    Tidak seperti ortu2 d daerah saya yg rata2 sudah tidak mau belajar.
    Walau masi tetap telpon, tp jg sering bbman atau fban 😛

    Anak2 jg kalau dah jauh sebenernya kangen dicerewetin ortu koq pak 😛
    Cuma mungkin kadang gengsi mengakui

    • Mamimu bukan hanya kangen Pep, pasti juga pingin “unyek2” kamu tuh wkwkwk..
      Anak gak usah gengsi pake harus mengakui segala :), just say hi or hello to your parents, itu sudah lebih dari cukup.
      GBU

  2. Tulisan yang menarik, mungkin tidak kita sadari, tapi memang setiap ortu akan “bertingkah” sama seperti itu termasuk saya…..anak2 walaupun sdh berusia >17tahun yang mana secara hukum sdh dianggap dewasa, tapi kita sebagai ortu masih membayangkan mereka perlu “lindungan” dari ortu…..takut mereka berbuat salah, lalai, salah bergaul dll dll

    apakah ini termasuk kategori ortu terlalu protektif ya?? atau memang semua ortu seperti itu?? atau ini memang trend ortu zaman sekarang ?? 🙂

    Karena klu dipikir2 kembali, zaman kita lulus SMA dulu, urusan melanjutkan sekolah dll kayaknya kita urus2 sendiri, ortu cuma tinggal menyelesaikan administrasinya, dll , kok rasanya gak seheboh seperti perhatian / perlakuan kita terhadap anak kita sekarang ya?

    ada teori , klu ortu terlalu protektif , anak bisa menjadi kurang mandiri

    so, what do u think ?? 🙂

    • Ahaaa…akhirnya ada juga ortu yang mensupport saya…fiuhhh susahnya nyari sponsor :). Tq2 atas komentarnya bu Lisa.

      Rasanya ortu dari jaman beheula juga bertingkah sama, terutama ibu2 lho…bukannya diskriminasi, tapi karena ikatan batinnya mungkin jauh lebih kuat :). Jadi bersikap protektif sudah ada dari sononya, justru kalau tidak malah aneh bin ajaib.

      Tapi kalau protektif sudah ketambahan OVER, welehhhh semua yang ketempelan kata OVER ini pasti tidak baek ya.

      Anak2 kadang perlu dilepas juga biar mandiri, dan bertanggung jawab dan juga syukur2 bisa merasakan kehilangan ‘extra’ service dari ortunya selama hidup bersama-sama. Kalau sudah merasakan hal ini biasanya akan semakin dewasa, asal ortu juga kompakan untuk kadang2 menutup mata atas tindakan anak2 (which is biasanya berat :))

      So intinya protektif betul sekali, tetapi over protektif sepertinya salah sekali ya?

      Bagaimana nih pendapat ortu2 yang lain?

      GBU

  3. hadeh pak, tulisan ini…..kenyataan sangat, hehehe
    saya sih dari kecil gak pernah jauh dari ortu, sampe2 pas masih sekolah ajah, kalo pulang sekolah mama lagi gak ada di rumah, suka berasa kayak ada sesuatu yang ga enak gitu *kebiasaan tiap pulang disambut* hehehehe
    nah, apalagi pas udah lulus kuliah, udah kerja, eh…tiba2 dapet telp dari jakarta, walah…susah e memutuskan pindah ato gak.
    akhirnya….sampe sekarang ajah, tiap kali pulang dan harus balik ke jkt, yah tetep aja si mama mengeluarkan air mata, dan saya pun meskipun sok2an tabah, akhirnya yah nangis juga T_T
    dan ternyata memang kata pepatah itu bener, kalo udah jauh baru berasa kangennya, sampe2 kangen diomelin juga, hehehhee

  4. Wah, saya jg ngalami hal sperti anda dulu.. Saya tinggal di kota kecil di Papua, anak saya skg kelas 2 SD dan sekolah di luar kota krn keterbatasan skolah disini. Saya bs menengoknya mgkn hanya 2 bln sekali.. Sedih banget rasanya. Apalagi anak masih kecil, dia sih memang gak mau skul disini dan cukup termotivasi utk skolah yg bagus, tapi kasihan banget krn masih kecil. Apalagi kalo dia menangis krn kangen, hati saya juga sedih sekali. Kadang berpikir apakah terlalu kejam dia sampe harus sekolah di kota lain, dijaga oleh saudara saya, meski skolah bagus dan karakternya makin baik, tapi jauh dari ibunya.

    • Sedih membaca kondisi anak yang terpisah dari orangtua, apalagi pada umur2 masih belia. Namun dengan kemajuan teknologi sekarang mestinya tidak seburuk saya dulu yang hanya bisa berkabar ria dengan orangtua melalui telegram, karena telpun saja belum ada. Saat ini kita bisa email, chat bahkan video conference dengan orang yang kita cintai.
      Semoga anak ibu boleh tumbuh dan menjadi orang yang dibanggakan keluarganya. Amin.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s