Hari minggu lalu, ketika lagi iseng2 ngebrowse koleksi film yang saya miliki, saya secara random memilih film berjudul 127 Hours, yang dibintangi oleh James Franco. Mungkin sebagian pembaca pernah menontonnya di HBO atau Fox Movies, seingat saya pernah ditayangkan beberapa waktu yang lalu.
Bagi yang belum menontonnya, film 127 Hours adalah kisah nyata yang dialami oleh Aron Ralston, seorang pendaki gunung Aspen kawakan yang sebelah tangannya terjepit batu seberat 400 – 500 kg di canyon terpencil di gurun pasir di selatan Utah selama lima hari. Tanpa air dan kemungkinan kecil selamat, dia akhirnya menggunakan pisau tangan untuk memotong tangannya yang terjepit batu untuk membebaskan diri.
Pengalaman nyata yang dia tuliskan di bukunya yang berjudul ‘Between A Rock And A Hard Place’ dan dipublikasikan oleh Simon & Schuster serta kemudian difilmkan dengan judul 127 Hours ini, terjadi karena kelalaian, kecerobohan dan kecuekan yang sering kita tunjukkan di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Di bukunya itu dia mengakui bahwa kecelakaan yang menyebabkan dia terpaku di canyon di selatan Utah selama lima hari itu adalah kesalahannya sendiri, karena dia tidak memberitahukan siapapun kemana dia akan pergi – aturan nomor satu bagi pendaki tunggal yang mendaki seorang diri.
Cerita di film ini mengingatkan saya akan kelakuan anak saya, dan juga anak2 lain secara umum yang saya keluhan2 teman2 orang tua lain, yang seringkali sebel kalau ditanya-tanya mau pergi kemana, atau kalau pergi tidak berusaha memberitahu orang tuanya sedang ada dimana atau hendak kemana.
Kira2 familiar gak dengan kalimat seperti ini:”Duhh kok nanya mulu sehhh…” atau “Kok mau tau aja sih….”, atau “Resek nih papa mamaku, nanya mulu, kek gak pernah muda aja”, atau “Iya2, ok2, he eh….”, terus ngloyor pergi
Saya semasa kecil rasanya tidak seperti itu lho, cailee…gayanya, tapi iya, saya selalu melapor kemanapun saya pergi, mungkin karena dulu tidak ada tuh rumusnya anak2 membantah omongan orang tua. Tapi mungkin juga karena saya tahu dan sangat memahami mama saya adalah orang yang sangat khawatiran, sifat yang ketika itu belum saya pahami hingga saya sendiri mengalaminya.
Mama saya akan panic kalau sampai jam saya janji pulang, saya belum berada di rumah. Biasanya seluruh rumah akan dibuat sibuk untuk mencari kemana saya berada. Jadi daripada semua heboh, mending saya pulang atau saya beritahu saya sedang berada dimana.
Saya jadinya menjadi terbiasa untuk selalu memberitahu beliau melalui telpun dimana saya, dan memberitahu kapan akan pulang. Jika pada saatnya saya harus pulang tapi belum selesai bermain atau berkumpul dengan teman dan harus pulang terlambat, saya akan berusaha mengupdatenya. Kalau saya tidak bisa menghubungi mama saya, saya akan putuskan untuk pulang, for the sake supaya mama saya tidak bingung.
Sekarang pada jaman yang modern ini, anak2 diberi kebebasan untuk protes, menolak jika perlu, bahkan mengkritik ortunya dengan alasan supaya anak creative, innovative dan segala macam tive lainnya :).
Konsep kebebasan bersuara, berpendapat dan protes ini memang ada baiknya, anak2 menjadi lebih terbuka, berani mengemukakan pendapat, berinisiatif dll. Namun juga tidak gampang diatur, tidak gampang diberitahu, selalu mencoba men-challenge sampai nanti kena batunya. Kalau orang tua mulai cerewet sedikit anak2 mulai pakai strategi ho-oh ho-oh terus ngloyor pergi, betul gak bapak ibu? :).
Kalau diingatkan matanya kemana-mana, kepalanya mantuk2 bukan karena mengerti tetapi karena music yang menghentak dari iPod atau HP nya… Haizz… Nanti kalian akan mengerti mengapa kami, para ortu suka cerewet atau khawatir berlebih, nanti kalau kalian sudah berkeluarga dan memiliki anak2, jadi sebelum kalian sampai waktunya, untuk sekarang ini nurut aja deh ya anak2ku :).
Back to 127 Hours, pada awal film itu ditampilkan adegan si Aron yang dibintangi oleh James Franco, sedang mempersiapkan peralatan mendaki gunungnya. Pada saat memilih dan mengambil perlengkapan itu, answering machine telpunnya berbunyi, terdengar suara perempuan (sepertinya suara adiknya) yang meminta dia untuk menelpun ibunya yang sudah khawatir karena tidak pernah mendengar kabar berita dari Aron.
Aron yang sedang bersemangat untuk pergi, dan sibuk dengan kegiatannya memilih perlengkapan mendaki, sedikitpun tidak tertarik dengan bunyi pesan itu, dia langsung ngloyor pergi setelah tas ranselnya penuh dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Dia juga tidak berniat memberitahu siapapun juga kemana dia akan pergi, otaknya sudah dipenuhi dengan serunya kegiatan pendakian yang akan dia lakukan.
Dan akhirnya setelah tiba di lokasi, melompat kesana kemari di antara bebatuan di Canyon itu, bertemu sejenak dengan dua pendaki wanita, bermain2 bersama, kemudian berpisah, Aron melanjutkan pendakiannya hingga dia terpeleset ketika menjejak sebuah batu besar, dan jatuh di antara celah batu dengan tangan sebelah kanan terjepit oleh batu seberat 400 – 500 kg.
Selanjutnya yang diceritakan adalah bagaimana Aron berusaha melepaskan tangannya dari himpitan batu, bagaimana dia mulai kelelahan, kekeringan, tidur sambil berdiri, kehabisan makan, kekurangan air hingga harus minum air kencing sendiri. Dia juga berteriak-teriak meminta tolong, menyesali kebodohannya karena tidak memberitahu siapapun, merekam kesehariannya dan bahkan sampai merekam pesan terakhirnya jika mati.
Digambarkan juga bagaimana dia berusaha memotong tangannya dengan pisau tangan yang ternyata tumpul sampai dia menyumpah serapah karena pisau lipat yang dia bawah ternyata buatan China J. Pada akhir terakhir, pada saat dia sudah tidak tahan lagi dia memutuskan untuk membacok dan mematahkan tulang tangannya untuk melepaskan diri dari batu yang menghimpitnya (di adegan ini saya sampai memalingkan muka saking ngerinya).
Setelah berhasil melepaskan diri dengan tindakan yang luar biasa berani dan gila itu, akhirnya dia berhasil selamat dari kematian yang sudah hampir menjemputnya, dan dia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.
Aron menuliskan di bukunya: I limited myself to one shout a day. But I didn’t like the sound of my voice. It sounded panicked, it sounded scared. And I knew from experience you can’t hear more than 50 yards either way down a canyon.
Tentu kami, ortu2 kalian, tidak sedikitpun berharap sampai kejadian seperti ini menimpa kalian baru kalian sadar, wahai anak2ku. Tapi cobalah mengerti kekhawatiran kami ini, pahamilah bahwa kalian meskipun sudah dewasa, bahkan mungkin sudah beranak pinak, secara relative kalian tetap masih anak2 di mata kami. Kebahagiaan dan kesusahan kalian adalah kebahagiaan dan kesusahan kami juga.
Please tell us where you are, bukan karena mau memata-matai, bukan karena mau turut campur, tapi karena kami selalu khawatir kapan dan dimanapun kalian berada. A simple call, sms or BB Messenger yang hanya memerlukan waktu kalian tidak lebih semenit, akan melegakan kami.
Ketika kami, saya dan istri, chatting dengan kedua anak saya di US, dan jika mereka mengatakan sedang bepergian ke suatu tempat, pertanyaan standard yang pasti kami tanyakan berikutnya adalah “sama siapa?”, “sampai kapan?” atau “naik apa?”. Itu semua adalah pertanyaan2 standard yang mengandung kekhawatiran, yang saya yakin pasti juga ditanyakan oleh ortu2 lainnya.
So, daripada dicereweti, beritahu kami kalian ada dimana dan bersama siapa, beritahu kapan akan pulang, jika kalian harus stay more than you should beritahu juga kalau akan terlambat. Beritahu kami sebelum kami menanyakannya. Intinya, just don’t let us worry about you. Nanti kalian akan mengerti jika tiba saatnya.
So, tell us where you are, kids…please…
Rasanya permintaan ini tidak terlalu berlebihan bukan?.
anak jaman sekarang biasanya kasih info lewat twitter kan ya ?
Hello mas Kukuh, master blogger Indonesia, akhirnya berkomentar juga :))). Anak2 kebetulan gak ada yg ngetweet :). Tp sebenarnya bukan masalah media/caranya, lbh kearah awareness anak2 utk bisa mengerti kekhawatiran ortu2. Soon you will understand what I mean with it :)))
GBU
OOm GG kalau ngak salah dulunya juga merantau ke kota solotigo buat kuliah nya….. kiro2… bagaimono sebagai anak saat itu yg merantau?
Betul, tidak salah. Kalau dulu kan harus interlokal, mahal, jadi ya pakai surat2an atau telegram lah, mana ada tuh yang namanya sms, email, bbm dlsb 🙂
di track aja pak via GPS, seperti feature “Find My Friends” di iOS.
Jadi ketauan boong apa nggak klo ditanya ada dimana 😛
Saya pakai Latitude jadi bisa tahu dimana mereka (kalau ada signal 🙂 Den, but that’s not about tracking. Mrk gak pernah bohong juga, cuma sering lupa aja kalau yg di rumah deg2an nunggu kalau gak ada kabar.
Nanti deh kamu akan tahu apa yang saya dan ortu lain rasakan, kalau sudah tiba saatnya 🙂
GBU.
sorry nih, tp saya bkn tukang boong juga ya om 🙂
:p
Jadi inget pas dulu jaman sekolah, kalau pulang telat karena ada eskul, biasanya ngabarin ortu pake telp koin Rp 100 itu.. :p terus pas sampe rumah, ortu udah nungguin di depan pintu rumah +udah masak utk makan malem. amazing yach… *missThemSoMuch*
Dear Patty, komentarmu bikin saya trenyuh… Ya betul, my mom juga kalau saya pulang telat, nungguin di depan pintu rumah, terus cepet2 narik tangan saya ke meja makan :p.
MissThemSoMuchToo
iyah saya sering sebel sama telpon dari mama yg berdering seminggu sekali , tengah malam lagi (beda 2jam dengan indonesia) , dan mama ga punya hape yg bisa internetan dan dia juga ga bisa internetan, tapi yah mungkin namanya ortu, sudah tidak bisa bertemu secara langsung selama 2 tahun, juga ga memiliki biaya lebih untuk bertelpon ria tiap hari apalagi sampai berkunjung, jadi mama makin gencer deh nanyanya