Setelah sukses besar dengan konser Hitman-nya pertama di bulan Oktober 2010, kemudian mengulang kesuksesannya di bulan yang sama tahun lalu, ehhh…si Om David jadi langganan, bakalan datang lagi sekitar bulan November 2012.
Pada konser Hitmannya yang pertama pada tahun 2010, saya sempat menonton kehebatan musisi, produser, komposer, penyanyi, penulis lagu dan arrangger dari Canada ini. Pengalaman kampungan saya menonton konser ini, pernah saya post di Facebook Notes saya pada tanggal 29 Oktober 2010.
Bagi yang ada waktu membacanya, silakan disimak. Tulisan ini puanjangg sekali, sengaja tidak saya potong2 dalam beberapa post, karena sudah kadaluarsa, namun sayang juga kalau tidak saya file di blog saya :).
David Foster: An Unforgettable Performance
Hunting Tiket
Seorang teman dari Surabaya sekitar satu setengah bulan lalu menelpun saya, dia menanyakan apakah ada mendengar berita bahwa David Foster akan show di Jakarta? “Nggak tuh, gak mungkin ah. Kalau show pasti semua pada ribut”, begitu kira2 jawaban saya.
Seraya menggerutu dalam hati “Masa sampai saya nggak tahu kalau David Foster mau manggung di Jakarta sih. Yang bener aja ah”, rasa penasaran merayapi kapala saya. Kebangeten dah kalau teman yang dari Surabaya, dari Surabaya lohhh…lebih tahu dari saya. Tapi demi menghargai pertemanan ya saya jawab seadanya “Ok lah, nanti saya cari tahu. Kalau ada akan saya hubungi”. Dan…setelah itu mencoba melupakannya.
Tapiiii…nama David Foster ini sudah sangat melekat dikepala saya, kalau tidak bisa dikatakan tercetak di hati saya (cailahhh…kek anak muda aja) sejak dulu, seingat saya semasa saya masih SMA atau kuliah. Ketika itu dia mengcompose Love Theme St. Elmo’s Fire yang hingga kini masih juga uenakkk poll di telinga.
Jadi meskipun serasa tidak percaya bahwa DF akan manggung di Jakarta, sepulang dari kantor malamnya sayapun iseng2 tanya ke Om Google, saya search keyword “David Foster Concert” dan saya tertegun…ternyata betul. Saya baca satu persatu beritanya, dan akhirnya saya temukan penyelenggaranya adalah Berliant Entertainment, akan diadakan di Ritz Carlton – Pacific Place pada tanggal 27 October 2010, pukul 19:30.
Deg..deg..deg…hati saya berdegup kencang, wah masih ada tiketnya gak ya….kok saya bisa gak tahu begini, kok bego bener, kok teman saya bisa tahu lebih dulu, kok…kok… …sembari jemari saya mencari-cari informasi dimana bisa memperoleh detail harga ticket dlsb.
Setelah beberapa saat memelototi layar monitor dengan perasaan campur aduk, akhirnya saya temukan juga di detikshop.com informasi penjualan tiketnya, saya click dan saya tercengang….Platinum… sold out. Gold…sold out. Silver…sold out. Bronze…sold out. Wuahhhh gila, masa saya belum dengar apa2 tiket sudah sold out semua. Jantung saya semakin berdebar debar, sialan kok bisa begini ya.
Saya search lagi, ketemu di rajakarcis, sama sold out juga, di tiketnonton sold out juga….di websitenya hanya tertulis begini “Mohon maaf http://www.tiketnonton.com tidak lagi melayani penjualan tiket David Foster dikarenakan jatah penjualan dikami sudah ditutup. Mohon menghubungi tiket box lain.”
Malam itu pikiran saya tidak tenang, bukan hanya karena sudah kehabisan tiket, tetapi juga karena melihat harga tiket yang terpampang di layar monitor :
– Platinum Rp. 7.500.000,- / US$ 112
– Gold Rp. 5.000.000,- / US$ 336
– Silver Rp. 3.000.000,- / US$ 560
– Bronze Rp. 1.000.000,- / US$ 840
Dan belakangan saya juga mengetahui, selain kelas tiket di atas, ada juga kelas yang lebih “murah” bagi orang super kaya yaitu:
– Diamond Rp. 15.000.000,- / US$ 1,680
– Super Diamond Rp. 25.000.000,- / US$ 2,800
Saat itu kurs US$ = Rp. 8,928.57
Seakan tidak percaya, saya lihat pelan2 jumlah nolnya, ternyata betul. Gila, masa tiket semahal itu??? Hmmm…diteruskan nggak ya? Masih mau lanjut hunting tiket gak ya? Saya pikir kalaupun benar2 ingin nonton, rasanya tidak akan membeli yang paling buncit alias bronze class, karena logika saya pasti cuma kelihatan kepala atau lebih parah lagi pantat orang :). Sedangkan silver class harganya langsung melonjak tiga kali lipat dari bronze class, masa beli yang Gold class? Hmmm…edan apa, beli tiket 5 juta (baca pelan-pelan: LIMA juta). It’s a big amount of money for me, bro.
Lha wong beli kulkas yang 3 jutaan aja seluruh pelosok Jakarta disamperin atau kalau beli rice cooker yang seharga dibawah sejuta saja, kaki hampir patah dipakai keliling untuk menawar :). Hmmm…gila bener si David ini. Pening kepala saya mencari justifikasi kenapa kok harus spend that much money only for 1 or 2 hours of entertaintment? Tapi… lihat besok lah pikir saya, dan kemudian saya catat semua nomor telpun yang ada di website ticket box itu, untuk besok saya hunting.
Besok paginya, saya minta sekretaris saya untuk membantu mencari ke beberapa tiket box yang sudah saya catat nomor telpnya. Hasilnya, semua memberikan jawaban yang “mbencekno” (ini istilah keren arek suroboyo yang artinya membencikan sekali…nah lho…) dan seragam… sold out, sold out and sold out.
Namun setelah call sana sini itu, kami akhirnya berhasil menghubungi ticket master yang mengelola seluruh penjualan ticket dari ticket box lainnya, selain itu saya juga berhasil memperoleh seat arrangementnya. Mereka mengatakan masih ada seat tersisa di silver class dan gold class. Bronze sold out. Platinum sold out. Super Diamond dan Diamond tidak dijual.
Perasaaan saya ketika itu antara lega dan tidak lega :). Aneh ya. Lega karena masih ada kemungkinan tidak nonton, tidak lega karena saya sekarang dihadapkan pada kenyataan mahalnya tiket. Hmmm…tiga atau lima juta ya. Hmmm…mahalnya. Hmm…bisa dapat apa ya uang segitu. Hmmm…kalau dibelikan nasi pecel kegemaran saya bisa untuk berapa bulan ya :).
Beberapa pertimbangan lain berkelebatan di kepala saya, pesan tidak, pesan tidak ya. Apa worth it spending this much for only 2 hours of show? Apalagi saya sudah hampir hafal semua detail acaranya David Foster dari DVD nya yang berjudul Hit Man: David Foster & Friends yang saya beli sejak setahun lebih yang lalu dan belum puas dengan DVDnya, saya kemudian juga membeli BluRaynya.
Saya tanya istri saya, mau lihat reaksinya, dia sih cuma bilang terserah saja, ngikut aja. Haiyaa…jawaban paling aman, benar2 curang. Saya mencoba mencari justifikasi keputusan saya karena menurut hati saya harga tiket ini sangat gila mahalnya. Saya sendiri tidak sering menonton konser2 seperti ini karena tidak ada satupun yang sedemikian menarik hingga membuat saya bersedia meluangkan waktu untuk menontonnya.
Beberapa bintang besar pernah mampir Jakarta ,namun hanya beberapa nama yang membuat saya “ingin” menontonnya, seperti Air Supply, Nathalie Cole dan Diana Krall, hanya saja tidak ada yang mampu mengalahkan kemalasan saya hunting tiket, antri dan lain sebagainya.
Namun ini si David Foster oiiii. Si David yang karyanya sudah mengorbitkan puluhan bintang terkenal itu, yang telah mengoleksi hingga 15 Grammy Awards, sementara orang lain untuk memperoleh satu saja setengah mati. Rasanya kesempatan ini tidak boleh saya lewatkan.
Piuhhh…. Sembari terombang-ambing ketidak pastian saya meneliti komposisi tempat duduk berdasar email yang saya terima, sayapun tercenung, ternyata lokasi seat yang tersisa di silver class hanya tinggal di bagian paling belakang, persis bersebelahan dengan deretan bronze class terdepan. Demikian pula halnya dengan gold class, hanya tersisa beberapa seat di depan silver class terdepan. Hmmm… beli silver dapatnya bronze plus satu deret, beli gold dapatnya silver plus satu deret :). Waduhh…udah harganya mahal, dapatnya di lokasi sampah pula :(. Asem tenan.
“Book dulu deh” demikian saya perintahkan sekretaris saya, yang juga pusing melihat bossnya jalan mondar mandir di depannya seperti setrikaan :). Yah saya pikir book dulu aja, nanti saya samperin saja tiket masternya untuk memastikan posisi sejauh apa dari stage karena di layout tidak tampak begitu jelas. Sekretaris saya segera membooking tempat, dan diberi waktu hingga pukul dua sore untuk membayar, jika tidak tiket aja dijual ke pihak lain. Hmmm…benar2 keterlaluan deh.
Sekaligus makan siang, saya semperin tiket masternya di daerah Ciniru, Jakarta Selatan. Setelah muter2 mencari lokasi, akhirnya saya temukan juga kantor si tiket master yang ternyata hanya berupa rumah yang sangat tidak representative sekali. Saya sempat celingak celinguk karena ragu2 melihat kondisi rumahnya. Apa benar ini ya tempat menjual tiket super mahal itu?
Tidak ada satpam, tidak ada manusia sama sekali yang say hello atau mengkonfirmasi bahwa tempat ini yg menjual tiket muahallnya si David Foster. Setengah ragu, saya naik ke lantai dua melalui tangga ruangan yang kurang tertata dan tampak kumuh, tidak ada tanda2 apapun yang menunjukkan tempat ini pantas menjual tiket semahal itu kecuali satu standing banner konser David Foster.
Sesampai di lantai dua, saya baru bisa bernafas lega ternyata ada beberapa manusia yang sedang sibuk menerima telpun, dan seorang nona sedang duduk di belakang computer. Saya tanyakan apakah benar tempat ini menjual tiket pertunjukkan David Foster? Sembari menganggukkan kepala, orang yang saya tanya menunjuk seorang gadis muda yang sedang sibuk menerima telpun dan mengutak-atik file excel di depannya.
Singkat cerita, saya akhirnya bisa melihat secara langsung bagaimana cara kerja tiket master itu. Rupanya di ruangan ini mereka mengkoordinasi semua agen penjualan tiket yang kita kenal dengan tiket box. Dia bertugas memberi tanda di file excel, lokasi2 seat yang sudah terbeli, seat yang dipesan, seat yang di jual secara group dlsb. Disana saya lihat ternyata seat yang masih available lebih banyak daripada yang dikatakan ke sekretaris saya melalui telpun. Disini kita juga bisa langsung melihat beberapa lokasi yang tiba2 kosong atau terisi.
Berdiri disamping si nona ini suasananya mirip2 berdiri di stock gallery, dimana stock broker sibuk telpun sana sini dengan data stock yang berubah-ubah setiap saat. Dengan suasana seperti ini, saya malah tidak bisa berpikir tenang, karena selagi kita masih mikir2 dan menghitung kebutuhan seat, lokasi yang kita incar tiba2 hilang, cepat sekali. Dalam waktu tidak lama, seat2 yang available diberi warna telah di book atau dibayar.
Saya yang tadinya berencana melihat-lihat dulu akhirnya terbawa suasana, dan karena tidak menyangka akan ada beberapa seat dengan posisi lumayan masih tersedia, maka sayapun sibuk menelpun teman2 lain, siapa tahu tertarik untuk menonton. Jadi sembari sibuk telpun sana sini, dan menunggu konfirmasi, warna2 deretan kursi di depan saya juga berubah terus :). Fiuhhh…
Cukup lama saya berdiri di samping si mbak sebelum akhirnya saya bisa memperoleh konfirmasi dari teman2 yang ingin titip dibelikan. Setelah seluruhnya mengkonfirmasi, ternyata diperlukan 16 seat untuk keluarga dan teman2. Can you imagine how busy to confirm availability of 16 persons dan memastikan posisinya adalah yang terbaik dalam waktu yang singkat dibawah tekanan warna2 deretan kursi yang terus berubah dan kekhawatiran salah pesan ?? :).
Namun pada akhirnya semua beres juga, saya diharuskan membayar cash saat itu juga :). Ada-ada aja, mana bawa duit sebanyak itu? Setelah bernegosiasi, saya diberi waktu hanya dua jam untuk melunasi pembayaran demi selembar konfirmasi pembayaran, bukan tiket lho, karena tiket akan diberikan satu hari sebelum pertunjukan.
Setelah semua dipastikan OK, sayapun meninggalkan tiket master yang tidak representative tadi :). Sepanjang perjanalan kembali ke kantor saya berpikir, apa yang telah saya lakukan? Meskipun belum saya bayar, tapi saya telah memutuskan untuk membayar so much for a one or two hours show. Saya tercenung, luar biasa sekali mahalnya perasaan ya.
Kadang2 kita menawar habis2an barang yang jelas2 bisa kita touch and feel, tapi untuk sesuatu yang tidak tampak ini kita berani mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Untuk itu peran justifikasi, pembenaran di otak kita sangat penting untuk dilakukan sebelum kita menyesali keputusan kita. Justifikasi saya ketika itu adalah: lha wong saya gak pernah nonton konser yang aneh2, kalau semua keinginan nonton konserdari dulu saya kumpulkan, masih lebih murah daripada tiket David ini. Begitu kira2 cara saya membohongi diri, dan sayapun duduk tenang kembali ke kantor….
Sebulan lebih kemudian, tepatnya tanggal 26 Oktober 2010 yang lalu, tanda terima pembayaran pembelian tiket sudah bisa ditukar dengan tiket asli. Penuh rasa penasaran saya minta supir saya menukarkannya ke tiket master. Sedari pagi saya tidak sabar ingin melihat macam apa sih tiket seharga 5 juta selember itu, namun rupanya supir saya harus mampir kesana kemari terlebih dahulu seakan tidak tahu bossnya sudah tidak sabar ingin melihat dan memegang nya? Groarrr…
Sore hari seusai meeting saya lihat dimeja saya sudah tergeletak beberapa tiket dalam amplop hitam berlambangkan
Berlian Entertainment. Tidak menunggu lebih lama lagi, saya segera membuka amplopnya dan menemukan 16 tiket seharga 5 juta (baca LIMA juta) yang tampangnya amat sangat mengecewakan, sangat tidak pantas seharga itu. Tiket di design selebar tiket masuk Premiere 21, dengan design seperti spanduk yang tertancap di pinggir-pinggir jalan, plus bulatan hologram berlogo DM, dan seat number berupa sticker yg ditempel secara manual. Tiket Premiere 21 rasanya lebih mewah kesannya, paling tidak sesuai harganya dibandingkan dengan tiket David Foster ini. Secara sepintas saja, saya sudah bisa menebak kira2 sekelas apa pelayanan penyelenggaranya.
Hari H konser David Foster
Keesokan harinya, pada hari H yang telah saya tunggu2 dengan was-was, dengan mengusahakan mengosongkan acara dan mempersiapkan diri supaya tidak sakit dadakan, ehh…tiba2 secara mendadak ada client dari sebuah perusahaan Jepang yang ingin berkunjung pada pukul 14:00. Nasibbb…nasibb.. Dan karena yang akan hadir adalah Board of Directornya, maka sayapun harus ikut menemui mereka, karena sayalah satu2nya di kantor yg paling pandai menyeduh dan menyediakan kopi susu hangat :).
Rapat yang direncanakan berlangsung hingga pukul 16:00 ternyata berlangsung seru, saya sudah mulai was2 karena saya sudah janjian dengan teman2 saya akan tiba di Pacific Place, tempat berlangsungnya acara, pada pukul 18:00 untuk bersama-sama makan malam terlebih dahulu. Untuk mencapai lokasi pada pukul 18:00, paling tidak saya sudah harus meninggalkan kantor pukul 17:00 karena jam-jam itu bersamaan dengan jam pulang kantor.
Saya lihat jam tangan saya, sudah pukul 16:20, pembicaraan semakin hot, pukul 16:35 belum ada tanda2 mereda, pukul 16:50 saya sudah mulai gelisah, pukul 17:00 tamu saya masih banyak pertanyaan, 17:15 tidak ada yang berniat menghentikan rapat. Sementara itu, BB saya sudah tang ting tung dari teman2 yang tidak tahu betapa berdebar-debarnya saya di ruangan rapat. Mereka semua sudah tiba di lokasi, dan dengan nada sedikit panic mengatakan bahwa antrian sudah mengular masuk ke ballroom.
Pukul 17:30 akhirnya sayapun dengan sangat terpaksa, tidak pernah saya lakukan seumur-umur, meminta maaf ke client saya yang terhormat untuk pamitan karena ada acara lain. Dan dengan memegang erat tiket super mahal namun tidak berkelas itupun saya dan keluargapun meluncur ke Pacific Place.
Tidak mau ketinggalan membuat saya jantungan, ternyata lalu lintas ikut2an padat, saya merasa seakan-akan seluruh Jakarta sedang menuju arah yang sama. Maklum lagi sensi tingkat tinggi :). Dan supir saya juga berulah dengan mengambil jalan memotong karena saya suruh cepat2, dan…salah jalan. Hmmm….berputar atau berbalik arah di Jakarta sih sama dengan cari mati dalam kondisi kita sudah kepepet seperti itu.
Namun rupanya Tuhan masih sayang ke saya, setelah menerobos sana sini, saya akhirnya tiba juga di Pacific Place yang memang sudah padat antrian mobil yang menurunkan penumpang di lobbynya. Kami segera menuju ke Ballroom Ritz Carlton di lantai 4 yang sudah penuh dengan Ladies and Gentlemen yang guanteng2 dan cantik2, dengan pakaian, make up dan hiasan gemerlap sedang bergerombol tidak beraturan di depan pintu masuk ke lobby Ballroom.
Setelah meminta keluarga saya bergabung dengan teman saya di resto lantai 5 sayapun mencari informasi mengenai pintu masuk dan jam diperbolehkan masuk. Tidak ada tanda dimana pintu masuk untuk golongan tiket tertentu kecuali sebuah LCD monitor yang dipasang didepan pintu masuk, sementara untuk menanyakannya kita harus menerobos gerombolan orang2 yang untungnya berbau harum itu.
Pintu masuk dipisahkan menjadi 3, Super Diamond dan Diamond menjadi satu, Platinum tersendiri dan sisanya yaitu Gold, Silver dan Bronze. Ketika setelah berjuang menerobos orang2 itu dan akhirnya berhasil mendekati salah satu pintu, petugas yang mengecek tiket saya langsung mengarahkan untuk menuju pintu khusus Gold, Silver dan Bronze di sebelah ujung.
Orang2 yang saya yakin sebagian besar adalah executive dan pengusaha beserta keluarganya itu berkerumun tidak teratur dan saya yakin sama bingungnya dengan saya, karena tidak ada petunjuk apapun kecuali LCD kecil yang dipasang di depan pintu masuk itu tadi.
Sayapun kembali mengarungi lautan manusia yang saya yakin sebagian besar diantaranya adalah pengusaha atau executive beserta keluarga yang sama bingungnya dengan saya. Setelah untuk kedua kalinya menerobos kerumunan orang2 tersebut, akhirnya saya berhasil mencapai pintu yang dimaksud, namun di LCD tertampang text BRONZE. Lho sing endi pintu masuk GOLD?
Saya tanyakan: “Dimana pintu masuk gold? “
Dijawab tanpa senyum “Disini !”.
Mengesalkan sekali deh cara menjawabnya, apa dia tidak tahu saya pegang tiket GOLD heh?!! :). Tapi saya berusaha sabar, mungkin mulut si bapak sudah capek menjawb pertanyaan yang sama. Lha habisnya, bodonya sendiri kok tidak ada petunjuk sama sekali.
Terus saya tanya lagi, “Kapan gold class bisa masuk?”.
Jawabnya, tetap tanpa senyum “Nanti pak, harus menunggu bronze class masuk dulu, diikuti silver class dan gold class”.
Saya tanya lagi, “Jam berapa kira2 gold class diperkenankan masuk?”.
Mungkin dia sudah habis kesabarannya, dengan seenaknya dijawab: “Tidak tahu pak, antri saja sana pak”.
Groarrrr…. Antriiii???? Antri sepanjang itu dan tidak tahu kapan akan masuk??? Gold Class disuruh antri?? Lima juta disuruh antri gak jelas?? Groarrr…
Ternyata Gold class di mata Berlian adalah sama dengan kelas Festival di pertunjukan lain. Sama sekali tidak terasa pelayanan GOLD. Benar sekali perasaan saya dari saat melihat bentuk tiketnya saja, pelayanannya kelas teri.
Untungnya semua itu saya rasakan sendiri karena keluarga dan teman saya, saya suruh makan dan menunggu di resto lantai 5 hingga antrian berkurang dan kami bisa langsung masuk tanpa berdesakan. Kami baru masuk ke dalam ruangan sekitar pukul 20:15, padahal di tiket tertera jam pertunjukan adalah 19:30.
Pada saat kami sedang berjalan memasuki ruangan, saya menunjukkan ke mama mertua saya bahwa dua pintu masuk yang baru kami lalui adalah pintu super diamond, diamond dan platinum. Ketika saya beritahu harga tiketnya yang 25 juta itu, beliau terbelalak.
Sebaliknya dari kesan terkagum-kagum yang saya ingin lihat, beliau malah menampilkan wajah sedih sembari berkata “Buat apa ya membuang uang sebanyak itu. Mama di Jember melihat banyak sekali orang2 yang hidupnya begitu susah, anak2 yg tidak mampu sekolah, pemuda2 pengangguran…dlsb…dlsb?”. Alamaakkk…saya tertegun saat itu juga. I can not say anything. Speechless.
Beliau memang tadinya berkeras tidak mau datang dari kota asalnya Jember, karena kesibukan pelayanan Gereja. Namun karena kami pikir acara ini hanya akan terjadi puluhan tahun sekali, atau sama sekali tidak akan terjadi lagi, maka dengan segala cara kami bujuk untuk datang. Tentu saja kami tidak memberitahu berapa harga tiketnya.
Alih2 mendengar seruan kaget karena kehebatan orang Jakarta membelanjakan uangnya, eehhhh saya malah merasa seperti ditampar dengan kenyataan hidup yang sedemikian pahit. Saat itu saya benar2 mati gaya. Saya langsung teringat kejadian pahit yang sedang menimpa Negara tercinta kita ini, peristiwa di Wasior yang belum tuntas, tsunami di Mentawai dan bencana Gunung Merapi serta banjir dimana-mana.
Saya sedemikian shocknya dengan jawaban tidak terduga dari mama mertua saya sehingga saya berjanji, saya akan berusaha melakukan sesuatu untuk menebusnya. Yes, I will do something. Dan saya katakan sekenanya “Ya sudahlah kita nikmati dulu saja acara ini, masih banyak yg kita pikirkan selain orang2 tidak mampu di Jember. Nantilah kita pikirkan itu”. And I promised I will do something. I swear.
Begitu memasuki lobby ballroom, tercium aroma yang sangat saya kenal dan paling saya benci, yaitu aroma asap rokok!!! Aduhhh rekkk…hotel mahal2, baunya sama dengan terminal di Pulo Gadung :(. Huhhh….Saya tolah toleh mencari asal bau rokok ini, eh ternyata baru saya sadar kalau sponsor utama acara ini adalah Gudang Garam Surya 16, Citra Eksklusif eksekutif awet muda…karena sebagian besar gak bakalan mencapai usia tua. Pisss teman2 perokok, I love you, but I hate the smoke from your cigars.
Setelah tiket kami diperiksa di pintu masuk, kami menyeberangi lobby untuk kembali diterima petugas pemeriksa tiket sebelum memasuki ballroom. Sekali lagi tiket kami dicek, tangan kami distempel dengan stempel tanpa warna, yang katanya akan tampak jika disinari dengan sinar UV. Ini saya baru tahu, good idea kalau emang bener :).
Setiba di dalam ruang, saya langsung menyapunkan pandangan saya keseluruh ruangan dan saya kembali kecewa melihat panggung dan seat arrangementnya. Tata letak panggung sangat minimalis, hanya panggung dengan grand piano di tengah, dan drum, synthesizer serta beberapa peralatan lain di belakangnya. Tidak ada orchestra seperti yang saya lihat di DVD maupun Bluraynya.
Backdrop panggung hanya berupa kain hitam dengan dua layar LCD raksasa di kanan kiri panggung. Yang lebih parah, dan menurut teman saya yg mengerti bisnis hiburan dengan baik, raging (kalau tidak salah istilahnya begitu) yaitu besi penyangga layar LCD yang seharusnya terbungkus kain, ini tampak jelas dibungkus sekenanya sehingga kelihatan jelas kerangkanya. Benar-benar tidak mencerminkan perhelatan yang pantas untuk harga tiket yang katanya paling mahal sepanjang sejarah itu.
Selain itu seat arrangementnya tidak seperti yang dijanjikan. Saya benar2 merasa tertipu. Bagaimana tidak? Pada saat saya memesan tiket di tiket master, saya diberitahu bahwa per 4 deret kursi, maka lantai akan dinaikkan sekitar 20 cm, supaya pandangan kita tidak terhalang oleh kepala orang di depan. Dan ketika melakukan pemesanan di tiket master, saya mati2an memilih deretan kursi yang tepat berada di undak2an. Namun ternyata undak2an tidak diatur dalam 4 deret, namun sepertinya hanya ada 2 undak2an di gold class, sehingga posisi kami yang seharusnya tepat di undak2an malah ada di tengah2.
Yang lebih menyesakkan lagi, deretan kursi silver class yang berada di belakang kami, dinaikkan sekitar 60 hingga 80 centi diatas gold class. Wahhh saya tidak bisa membayangkan betapa marahnya yang memperoleh tiket tepat di depan undak2an silver class tersebut. Jadinya posisi silver class bagian depan jauh lebih nyaman daripada gold clas paling belakang. Berlian Entertaintment memang bloon…
Dengan perasaan kecewa saya akhirnya duduk diantara penonton yang saya tengarai sebagian besar dari kelas menengah atas , kecuali saya. Stage pertunjukkan tidak terlalu tinggi, sehingga pandangan saya tidak bisa bebas melihat ke depan, bahkan beberapa kali harus menjulurkan kepala agar bisa melihat dari sela2 kepala penonton di depan. Bahkan selama pertunjukan saya lebih sering melihat ke dua screen di kanan kiri panggung.
Music pembukaan yang berupa video tidak tampil dengan sempurna, gambarnya tidak cerah, ditambah suara cempreng dan menyakitkan telinga. Pada intinya, tata letak panggung, design backdrop dan pencahayaan seadanya saja. Four thumbs down for BE.
Sekitar pukul 20:30, tiba2 lampu ruangan dimatikan, dan beberapa gadis/ibu di sudut kanan belakang berteriak-teriak histeris. Orang mulai tolah toleh, sebagian mulai berdiri, diikuti yang lain, dan satu dua mulai naik ke atas kursi diikuti pula oleh yang lain. Suasana jadi gaduh, kelakuan mid and upper class yang tadinya sangat elegant mulai menjadi sangat kampungan, dan saya yang sudah jengkel hati diam saja duduk sambil mengumpat penyelenggara dan sikap kampungan mid and upper class Jakarta itu.
Saya tidak seberapa mengetahui apa yang sedang terjadi karena camera man yang harusnya meliput juga sepertinya tertutup oleh penonton yang sudah bergerak mendekati David, hingga akhirnya David yang seharusnya berkeliling digiring langsung naik ke panggung.
Hitman Show…
Selama keriuhan itu music intro Love Theme From St. Elmo’s Fire berkumandang sayup2. Sesampai di panggung, David melambaikan tangan, membungkukkan badan ke arah penonton, dan langsung menuju grand piano, duduk sembari mengucapkan SELAMAT MALAM dalam bahasa Indonesia ditingkahi teriakan ibu2 yang sudah histeris tinggkat tinggi. David langsung menggebrak dengan lagu andalannya itu.
Selama itu penonton terus berteriak-teriak riuh rendah, apalagi setelah itu intro Winter Games mulai dimainkan David wuahhh…tambah ributt…benar2 tidak tampak lagi pesona perlente sebelum masuk ruangan tadi :). Semua sudah larut dengan keriuhan, dan sepertinya tidak ada yang peduli lagi dengan suara cempreng sound system dan backdrop yang jelek itu.
Seusai memainkan kedua lagu tersebut dan tidak ketinggalan teriakan2 histeris penonton, barulah David secara formal menyapa penonton dengan mengucapkan “Good Evening everyone…bla bla bla” serta pemintaan maaf karena kekacauan pada saat entry sebelumnya.
Beberapa saat David mengambil jeda sambil mendekat ke pinggir panggung, dan tiba2 sembari menyapu deretan terdepan penonton kemudian tersenyum simpatik , David mengucapkan kata2 yang tidak terduga:” HELLO RICH PEOPLE”, katanya, dan penonton pun dengan serta merta menjadi grrrrrr kemudian bertepuk tangan riuh rindah sembari menikmati pujian (atau sindiran?) David tersebut.
David tidak salah mengatakan hal itu, karena rupanya harga tiket show David Foster kali ini adalah harga tiket termahal sepanjang sejarah pertunjukan di Indonesia. Dan saya hakul yakin harga tiket kali ini merupakan harga tiket termahal yang pernah David Foster alami selama public shownya dia.
Pada saat saya lagi hunting tiket dan mendapati tiket di Jakarta sudah sold out, saya berusaha mencari tiket untuk penyelenggaraan di Singapore. Harga tiket di Singapore yang paling mahal hanya separo Gold, sekitar SGD 268. Namun seperti halnya di Jakarta, ketika itu seluruh tiket di Esplanade Singapore sudah sold out untuk pertunjukan 2 malam.
Setelah beberapa saat menyapa penonton, dimana tampak sekali beliau bukan hanya musician, record producer, composer, singer, songwriter and arranger jagoan, tetapi pula seorang entertainer sejati, David kemudian memperkenalkan penyanyi pembuka yang dibawakan oleh The Canadian Tenors yang terdiri atas 4 pemuda bersuara emas dan bertampang elok. Mereka sempat membawakan 3 lagu dengan sangat baik, salah satunya sering dibawakan oleh Andrea Bocelli (saya tidak ingat namanya), Halleluya dan Prayer.
Selesai The Canadian Tenors yang sudah tampil habis2an tapi hanya mendapat sambutan hangat penonton, David mengundang Nathalie Cole yang tampil dengan terusan warna hitam gemerlapan. Nathalie yang sudah dua atau tiga kali manggung di Jakarta, tampak masih segar meskipun beliau sudah tidak muda lagi. Putri salah seorang raja Jazz dan Swing, Nat King Cole ini sudah berusia 60 tahun saat ini, namun masih mampu membangkitkan suasana hangat di ruangan yang memang sudah mulai panas itu.
Nathalie membawakan satu lagu berirama swing, diikuti lagu lama I miss you like crazy, dan tidak ketinggalan lagu yang mengorbitkannya ke puncak kariernya yaitu Unforgettable berduet secara virtual dengan si legendaris Nat King Cole. Meskipun mampu menggoyang kepala penonton, namun sangat kelihatan kemampuan vocalnya sudah tidak prima lagi. Tampak beliau tidak berani menjajal nada-nada tinggi, tapi sengaja berimprovisasi menghindarinya. But, that’s ok for me, menghibur tapi tidak sampai membuat saya berdiri bertepuk tangan.
Berikutnya yang tampil adalah Rubben Studdard, pemenang American Idol second session, dan penyanyi jenis2 lagu R&B, pop dan gospel. Rubben yang saat ini berusia 32, pernah dinominasikan Grammy Award sebagai Best Male R&B Vocal Performance.
Pria tambun dengan vocal yang luar biasa mantafff ini menyanyikan 3 lagu, yang pertama I swear, kemudian Who eat my fish? Nah lhoo pernah gak denger judul lagu ini? Ini adalah lagu dadakan yang dibawakannya secara instant atas sepenggal kalimat yang diperoleh David dari penonton.
David mengatakan bahwa selain jago menyanyi, Rubben juga jago mengarang lagu instant. Untuk itu David menantang penonton untuk mengucapkan sepenggal kalimat dan dari situ Rubben akan menyanyikannya. Maka turunlah David dari podium, berkeliling dan menghampiri seorang penonton yang tanpa pikir panjang mengucapkan Who eat my fish?
Penggalan kalimat ini sempat menjadi bahan guyonan David di panggung karena memang benar2 aneh. Namun Rubben tanpa mengalami kesulitan apapun membawakan sebuah lagu, dengan memasukkan kata2 tersebut di dalamnya. Menarik tapi juga belum sampai membuat saya harus berdiri bertepuk tangan.
Peter Cetera, penyanyi gaek yang telah berumur 66 tahun namun masih tampak seperti 50 an tahun ini merupakan penyanyi andalan berikutnya. Saya rasa bagi angkatan sekitar usia saya, bahkan juga sebagian anak2 muda jaman sekarang, tidak ada yang tidak tahu Chicago. Lagu2nya melegenda dan diaransemen ulang oleh musisi muda seperti Westlife.
Kali ini David mencoba mengajak audience berpatisipasi dengan menjemput dari deretan penonton dan mengajak seorang anak laki2 berusia sembilan tahun, yang sangat menggemari lagu2 Chicago, untuk berduet dengan Peter. Si Anak yang tadinya malu2 tampil di panggung akhirnya berani juga berduet dengan Peter membawakan satu lagu Chicago. Komunikasi yang sangat baik. Berikutnya Peter menyanyikan beberapa lagu kalau tidak salah Hard to say I’m sorry, If You Leave Me Now, dan Glory of Love.
Yang menarik disini, selama menyanyikan lagu2nya hampir seluruh penonton ikut juga menyanyikannya. Saya tidak tahu apakah bagi seorang penyanyi kelakuan penonton ini mengganggu atau tidak, namun saya tidak melihat kesan Peter menyukainya apalagai memanfaatkan momen ini. Sedangkan dari sisi penonton, yang tujuannya datang untuk mendengarkan Peter bernyanyi, sudah tidak peduli lagi, malah assyik bernyanyi sendiri-sendiri, jadilah seluruh gedung seolah-olah menjadi koor raksasa :).
Saya yang tadinya jaim, karena terbawa suasana ikutlah juga tarik suara, meskipun kalau seluruh penonton yang lain di silent, suara saya akan terdengar seperti kambing congek, tapi tak apalah. Yang penting happy lah…seolah sudah kagak peduli lagi dengan segala macam aturan, seluruh penontonpun seolah-olah ingin bersaing bagus2an vocal dengan Peter Cetera wkwkwk…. Wis inilah penonton Indonesia yang super hebohh :).
Sama seperti Nathalie Cole, penampilan yang apik dari Peter tidak bisa dipungkiri sudah tergerogoti oleh usia beliau yang sudah sepuh. Terganggu oleh earphone yang tidak bekerja dengan baik, sampai2 dicopotnya, kemudian penyangga mic yg tidak beres hingga membuat beliau tampak marah ke crewnya, dan cantolan gitar yang dipakai seperti hampir terlepas, beliau yang sudah sangat berpengalaman itu masih mampu menguasai panggung dengan baik.
Berikutnya David kembali berinteraksi dengan audience, dan mengajak seorang pemuda, yg ternyata salah seorang anggota group Kahitna, dari deretan audience di depan untuk tampik ke depan, serta seorang gadis pada awalnya tampil menjengkelkan karena bertingkah bermanja-manja namun beruntung bersuara cukup bagus sehingga mendapat applaus dari penonton.
Terakhir seperti yang telah saya duga, David memperkenalkan salah satu bintang besar bertubuh kecil, yang telah mengharumkan bangsa Asia di ranah international, dan berasal dari Philipina. Dialah si Charice, yang akhir2 ini menjadi super star di setiap acara konser David Foster.
Charmaine Clarice Relucio Pempengco demikian nama lengkapnya, lahir 10 Mei 1992 namun lebih dikenal dengan nama Charice, adalah penyanyi kelahiran Philipina yang menjadi terkenal berkat YouTube. Digadang-gadang oleh Oprah Winfrey sebagai Most Talented Girl in the World, Charise adalah merupakan artis Asia pertama di dalam sejarah yang berhasil menempati Top 10 of the Billboard 200 album chart.
Charice yang tampil bergaun hitam, tampak sangat mungil di tengah2 panggung. David sempat memberikan kesempatan kepadanya untuk menyapa penonton namun dengan malu2 Charice menolaknya dan lebih memilih untuk langsung menyanyikan lagu pembukaan. Disini tampak Charice tetaplah gadis muda yang belum percaya diri jika diberi kesempatan berkomunikasi dengan penggemarnya. Namun tentu saja masih banyak sekali waktu baginya untuk bisa menjadi seorang entertainer sejati, yang tidak hanya jago menyanyi, namun juga kudu jago berkomunikasi dengan penggemarnya.
Penampilan Charice diawali dengan lagu Power of love, dilanjutkan dengan To Love You More, dan tandem I Have Nothing dengan I Will Always Love You yang dulu dipopulerkan Whitney Houston. Semuanya dibawakan dengan vocal amat sangat kuat dan sempurna.
Seusai Charice menyelesaikan I Will Always Love You, sebagian besar penonton memberikan tepukan tangan meriah sembari berdiri, standing ovation pertama selama acara berlangsung. Namun tampak sekitar 30% penonton tetap duduk terpaku meskipun sebagian besar sudah berdiSetelah memberikan puja puji bagi Charice, David kemudian memberikan pengantar bagi lagu berikutnya adalah All By Myself yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Eric Carmen sejak 1975. Menurut David, dia sengaja mengaransemen ulang lagu ini untuk Charice karena di dunia ini hanya tiga penyanyi yang mampu secara sempurna mengcover seluruh range oktaf dari lagu ini. Celine Dion yang sudah sangat terkenal kuat vocalnyapun harus mengulang sebanyak 8 kali untuk akhirnya berhasil menguasainya.
Dan inilah Charice, benar2 luar biasa, saya sampai terkagum-kagum mendengar dan menyaksikannya menguasai lagu ini dengan amat sangat sempurna. Seolah tenggorokannya terbuat dari pralon saja, dia berteriak sekuat tenaga hingga ke nada tertinggi lagu ini tanpa kehilangan kendali. Luar biasa. Benar-benar luar biasa, dan standing ovation dengan tepukan tangan yang panjang menyertai berakhirnya lagu ini.
Menarik diperhatikan, tidak seperti konser2 yang sering saya lihat di luar sana, dimana standing ovation hampir selalu dilakukan oleh seluruh penonton, rupa2nya hal tersebut tidak berlaku di Jakarta. Entah karena pantatnya melekat di kursi atau tidak mengerti mengapa kudu berdiri dan bertepuk tangan, sebagian penonton cuek aja meskipun kanan kiri depan belakangnya sudah berdiri. Seakan-akan mau mengatakan “Eh lu orang pada ngapain seh, pake berdiri-diri segala” hahaha…pokoke gw tetap duduk, begitu kira2 pikiran sebagian penontonSetelah tepukan tangan mereda, David kemudian mengucapkan bela sungkawa yang mendalam atas beberapa kejadian bencana alam yang menimpa Negara kita. Menurut berita di Kompas.com di dalam acara jumpa pers, David mengatakan bahwa dia akan mendedikasikan sesuatu pada konser malam itu untuk bencana alam di Indonesia. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan mendedikasikan konser, apakah seluruh uang terkumpul untuk bencana di Indonesia, atau hanya secara simpati saja. Tapi yang jelas sebagai penutup acara, David memilih lagu Earth Song yang dipopulerkan oleh Michael Jackson di albumnya History.
Lagu Earth Song diawali oleh Charice, kemudian ditimpali Nathalie Cole selanjutnya Rubben Studdard, The Canadian Tenors satu persatu muncul dan terakhir Peter Cetera.
Setelah selesai lagu ini maka berakhirlah acara yang telah berlangsung kalau tidak salah sekitar 1.5 – 2 jam. Saya benar2 tidak ingat pasti berapa lama acara berlangsung, namun saya yakin “rasanya” hanya berlangsung sekitar 30 menit wakakakak.
Saat mereka membungkukan badan tanda hormat ke penonton, saya berujar ke teman sebelah saya” Kok cepet ya rasanya”, dia dengan penuh senyum puas menjawab “Iya ya, gak kerasa” :).
Satu persatu kemudian para bintang tersebut meninggalkan panggung, hingga terakhir David Foster sambil melambaikan tangan meninggalkan panggung juga.
Namun…meskipun panggung sudah kosong, rupanya penonton tidak beranjak sama sekali. Tetapi berbeda dengan pagelaran lain yang biasanya penonton akan berteriak MORE…MORE… disini tidak terjadi hal itu, mungkin jaim kali ya. Jadi selama beberapa menit para penonton hanya berdiri saya menunggu, mungkin masih merasa sayang meninggalkan tempat duduk, atau mungkin tidak terima kok uangnya menghilang secepat itu :), sembari berharap terjadi keajaiban, termasuk saya :).
Setelah beberapa menit tidak tampak apa2, beberapa penonton akhirnya satu persatu mulai meninggalkan ruangan. Sayapun juga akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kursi. Namun ketika saya sudah hampir mencapai pintu keluar ballroom, tiba2 penonton bersorak riuh rendah dan penonton yang sudah hampir meninggalkan ruangan kembali lagi karena tampak David kembali memasuki panggung dan duduk di depan grand pianonya sembari mempermainkan jarinya mengalunkan lagunya yang melankolis Water Fountain dari albumnya A Touch of David Foster.
Penonton histeris lagi hingga David menutup lagunya diiringi tepukan riuh dan jeritan ibu2 yang meneriakkan “David, I Love Youuuu”. Dengan tak kalah semangatnya saya juga juga meneriakkan “David, gimme back mo money”…just kidding.
Seusai acara saya tanyakan tanggapan teman saya, dia mengatakan “Puas dan happy”, satu lagi mengatakan “Nggak rugi”, anak saya mengatakan “Never regret”, keponakan saya “Bagus..bagus”, dan saya sendiri mencoba memilahnya dengan memberi nilai dari satu untuk nilai paling rendah hingga 10 tertinggi, seperti dibawah:
– Penyelenggara : 5 (buruk sekali)
– Seating arrangement : 4
– Sound system : 6 (sayang tidak orchestra mengiringi)
– Lighting : 5
– Camera : 5 (sudut pengambilan buruk, berkali-kali bergetar, mixing tidak sempurna)
– Nathalie Cole : 7
– The Canadian Tenors : 7.5
– Rubben Studdard : 8
– Peter Cetera : 8
– Charice : 9
– David Foster : 10
Begitulah kira2 konser David Foster dilihat dari kacamata orang awam, wong ndeso, yang belum pernah menonton konser besar namun nekat karena kecintaannya akan semua karya2 David Foster.
Special note:
Dear pembaca yang baik, jika Anda berhasil menyelesaikan membaca hingga baris ini, maka Anda adalah orang yang LUARRR BIASA. Anda adalah orang yang penuh rasa ingin tahu dan sabar sekali. Ini adalah posting terpanjang saya, tidak akan ada duanya wkwkwkwk….Anda benar2 LUARRR BIASAAAA… Apa gak bosan tuh? Huahahaa…..
Salammm….mudah2an gak capek bacanya :).
Pengalaman tak terlupakan ya wkwkwk…
Hanya heran, biasanya musisi kaliber dunia bawa sendiri peralatannya dan kirim orang jauh2 hari sebelum hari H untuk cek panggung dan lainnya. Begitu ketahuan reputasi penyelenggaranya tidak bonafide, maka konser akan dibatalkan.
Saya rasa waktu itu DF dibayar amat sangat mahal…jadi ya apaboleh buat 🙂
saya suka tulisan anda. mengecewakan sekali BE nya ituu smga konser di MEIS malam ini memuaskan segala2 nya. :))
Hii Putri, kamu rencana mau nonton ya malam ini?
Semoga acaranya menyenangkan.
Saya baru nonton di Singapore hari Sabtu malam, minggu lalu. Nanti akan saya post malam ini atau besok hasil observasi saya. Tadinya mau saya post minggu ini, tapi saya tidak mau mempengaruhi penilaian fans DF atas penampilannya di MEIS malam ini. Jadi saya post setelah selesai acara di Jakarta saja, supaya bisa dicompare dengan di Singapore.:)
Salam.
Pingback: Hitman Returns, Again, and Again.. | Guntur Gozali