Ajaklah Mereka Berbahasa Indo/Daerah (1/2)

Tadi siang ketika hendak memasuki lift di Grand Indonesia sehabis acara lunch meeting dengan salah seorang client saya, saya mendengar ocehan dua anak yang lucu-lucu. Yang satu seorang anak perempuan berusia kurang lebih 8 tahun, sedang disebelahnya berdiri adik laki2nya berusia sekitar 6 tahunan. Mereka berdua didampingi oleh kedua orang tuanya yang sama-sama sibuk ber BB ria.

Kedua anak tersebut sibuk ngoceh dalam bahasa Inggris yang sangat lancar, dengan dialek yang bagus dan sesekali disela oleh papa atau mamanya yang tampak dari cara berbicaranya bukan pasangan yang lancar berbahasa Inggris alias kemungkinan besar jebolan pendidikan local, persis seperti saya :p.

Lama juga saya mendengar ocehan kedua anak itu, mulai dari menunggu lift terbuka, di dalam lift hingga keluar dari lift. Sesekali saya mbatin, lucu banget mereka itu, kecil2 sudah cecet cuwet dalam bahasa Inggris yang sedemikian fasih. Sementara saya sendiri omong I Love You aja terbata-bata :p.

Pemandangan seperti ini semakin sering saya lihat dimana-mana, terutama di mall di pusat kota. Saya rasa pertumbuhan sekolah yang berlabelkan International mempunyai andil besar didalam membentuk generasi muda seperti ini. Semua pasangan muda berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Inggris / Mandarin.

Saya sendiri pada awalnya sangat mendukung penguasaan bahasa asing bagi anak2 seperti ini, hingga pada akhirnya, waktu yang berlalu membukakan mata saya bahwa ternyata menurut hemat saya strategi ini sepertinya salah.

Nah…penasaran kan kok saya mengatakan salah.

Menurut hemat saya, justru seharusnya mereka malah kita ajak berbahasa daerah…

Nah lho lebih penasaran lagi kan 🙂

Marilah kita telaah secara logika.

Analisis yang akan saya lakukan ini tidak berdasar pada survey maupun research apapun. Semua analisis saya dibawah adalah berdasarkan pengalaman yang saya alami, yang tumbuh menjadi penyesalan saya atas ketidak mampuan ketiga putera saya berbahasa daerah, padahal saya dan istri mempunyai kemampuan untuk menurunkannya.

Asumsi analisa saya ini adalah salah satu atau kedua pasang orang tua masih menguasai bahasa daerah selain bahasa pengantar yang digunakan di sekolah. Sebagai contoh, saya dan istri mengusai bahasa Jawa kasar, putera saya diajarkan di sekolah berbahasa Indonesia. Atau bisa juga orang tua berbahasa Indonesia, anak2 bersekolah di International School dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Atau kedua orang tua yang fasih berbahasa Indonesia hidup bersama anak2 di US/Australia/Canada/UK.

Sekarang mari kita lihat kenapa kok saya menyesali ketidak mampuan putera saya berbahasa daerah. Sejak anak kecil hingga menginjak remaja/dewasa, saya dan istri tidak pernah mengajak mereka berbicara bahasa daerah, sementara kami sendiri sering menggunakannya. Namun pada saat berbicara dengan mereka, kami langsung switch berbahasa Indonesia, bahkan dulu sempat ikut2an untuk berbahasa Inggris.

Sekarang pada saat mereka sudah dewasa (putera tertua saya sudah tahun ketiga di Universitas di US, putera kedua saat ini baru menginjak tahun pertama Universitas di US, satu lagi masih Secondary 3 di Jakarta) mereka sama sekali tidak bisa berbahasa daerah. Mereka tentu saja fasih berbahasa Indonesia karena lingkungan sekolah membentuk mereka seperti itu, sekarang ketiga putera saya juga fasih berbahasa Inggris karena lingkungan dan disekolahnya berbahasa Inggris. Padahal papanya bloon bener kalau bahasa Inggris.

So, lingkungan sekolah dan teman2 akan langsung membentuk cara mereka berbicara dalam waktu yang relative singkat. Sedangkan bahasa Jawa yang sangat lancar saya kuasai, tidak ada satupun dari putera saya yang menguasai.

Sampai disini apakah pembaca sudah bisa menangkap arah analisis saya?

Continue…

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s