Mentang-Mentang Pinter

Minggu lalu saya bertemu dengan salah seorang pimpinan perusahaan yang menurut saya terlalu sombong sikapnya. Gaya bicara dan sikapnya benar2 tidak enak dipandang mata dan sama sekali tidak mau mendengar masukan dari orang lain, apalagi dari anak buahnya sendiri.

Selama meeting dengan beliau, saya hanya bisa tersenyum kecut mendengar ocehan keberhasilan dia dan omelan dia terhadap anak buahnya jika dia teringat kesalahan yang diperbuat anak buahnya tersebut.

Sesekali saya mencoba mengalihkan subject pembicaraan ke hal lain, namun dia lebih asyik dengan dirinya sendiri daripada mendengarkan apa yang saya katakana atau masukan dari peserta rapat yang lain.

Beliau memang terkenal pinter, jebolan perguruan tinggi kelas dunia dan sudah malang melintang bekerja di berbagai macam perusahaan, namun sekilas dari pengamatan saya tampak sekali dia tidak memperoleh respect dari anak buahnya sendiri.

Saya rasa pembaca juga pernah sesekali menghadapi orang seperti ini di sekitar kita. Saya bahkan sering mendengar omelan seperti “Huh…mentang-mentang pinter…sombongnya selangit” atau “Mentang-mentang pinter, semua orang dianggap bloon semuanya” dll dll.

Memang pernah juga saya mendengar omelah sebaliknya seperti: “Udah bodoh …. sombong pula”. Omelan jenis yang terakhir ini lebih jarang terjadi, namun pernah juga mendengarnya.

Salah siapa?

Sebenarnya salah siapa kalau orang pinter itu menjadi sombong? Apakah salah dia? Atau orang tua, kakek nenek, atau siapa?

Dari pengamatan saya, tersangka utama yang menyebabkan seseorang menjadi sombong adalah orang tuanya sendiri atau orang yang membesarkan si sombong ini (secara umum ortunya). Lohhh….kok bisa?

Tentu saja pengamatan saya bisa salah, dan saya sangat senang kalau ada yang mau mendebat pernyataan saya ini. Saya tidak menelaahnya secara ilmu psikologi tradisional atau ultramodern, tapi hanya berdasarkan logika dan pengalaman menyaksikan pertumbuhan putera, sepupu, keponakan atau anak teman2 saya.

Saya sengaja mengangkat tulisan ini agar supaya, bagi ortu yang sependapat dengan saya, dan memiliki putera/puteri yang extra-ordinary, mudah-mudahan bisa mengurangi “daya sombong” putera/puteri mereka di kemudian hari. Mudah2an.

Analisa Sederhana

Ok, supaya fair, saya akan mengambil sample salah satu putera saya yang kebetulan dikarunia kepinteran sedikit di atas rata2. Sedikitnya ini cukup untuk mengantarkan dia menjadi Juara Olympiade Science National bidang Fisika, Silver Medal – Asian Physics Olympiad, juara umum di sekolahnya dan penghargaan di bidang akademis lain di sekolahnya.

Sejak kecil memang dia sudah menunjukkan sedikit kelebihan dibandingkan anak seusianya. Pada umur 3 tahun dia sudah lancar membaca, menyanyikan lagu barat dengan irama yang tidak false (ketika itu lagu yang lagi favourite adalah Denpasar Moon), dan beberapa hal lain.

Kelebihan dia bukan pada taraf super duper genius seperti Einstein, atau Mozart atau Leonardo Da Vinci begitu :), namun sebagai orangtua, kami bisa merasakan dia lebih istimewa dibanding anak sepantarannya.

Nah perasaan bahwa dia memiliki kelebihan inilah penyebab utamanya. Kebanggan orangtua seperti kami ini tentu tidak serta merta bisa kami sembunyikan, malah sebaliknya kami pamerkan. Saya rasa semua orang tua akan melakukan hal yang sama. Apalagi dulu saya tidak termasuk orang pinter, sehingga ketika memiliki anak yang pinter kan bisa balas dendam pamer sana sini wkwkwkwk….

Kebanggaan berlebih terhadap talenta anak ini yang menurut saya menyebabkan anak menjadi sombong. Mengapa demikian? Coba bayangkan. Pada saat teman2nya masih belajar membaca be-a=ba, be-u=bu, ba-bu, dia sudah dengan lancar membaca. Pada saat teman2nya masih sibuk menghitung jari-jarinya untuk penjumlahan 1+3 = 4, dia sudah bisa perkalian. Demikian pula seterusnya untuk hal-hal lainnya.

Kejadian ini berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tanpa dia mengerti kenapa kok teman2nya tidak bisa2. Kok begitu aja kagak bisa, kok nanya terus, kok … kok…. Sementara dia selalu dipuji, dielu-elukan oleh guru, ortu, kakek neneknya dan terutama papa mamanya sebagai anak yang pinter, yang luar biasa.

Kalau kejadian ini berlangsung terus hingga dia dewasa, maka dia tidak akan pernah menyadari bahwa setiap orang dilahirkan berbeda, ada yang pinter, ada yang bodoh, ada yang sangat bodoh dlsb.

Dia tidak tahu bahwa yang bodoh/setengah bodoh atau amat sangat bodoh, punya talenta lain yang tidak dia miliki. Talenta untuk bersabar, talenta untuk membuat orang lain senang, talenta memimpin, talenta merayu  dlsb. Dia hanya tahu yang lain bodoh, kalau diajak omong gak nyambung, bikin frustasi dlsb.

Dia tidak pernah bertanya, karena selama sekolah selalu bisa menyelesaikan semua masalah dan bahkan memperoleh nilai sempurna. Dia tidak pernah gagal, karena itu tidak ada dalam kamusnya. Dia adalah yang paling pinter, yang tidak pernah salah, so ngapain dengerin orang lain omong!!!

Bukan salah mereka

Nah pembentukan kepribadian seperti ini sama sekali bukan salah dia, karena tidak ada yang mengingatkan dia bahwa semua manusia dilahirkan dengan talenta yang berbeda-beda. Ada yang pinter matematika, tapi gak bisa melukis. Ada pinter fisika, tapi gak bisa menyanyi. Ada yang pinter kimia, tapi gak pandai bergaul dlsb.

Selama tidak ada yang menyadarkan dia bahwa keberhasilan di dalam hidup bukan melulu karena kepinteran/kepandaian, maka dia akan bertumbuh menjadi pribadi yang sombong, angkuh, mau menang sendiri dan bahkan menjadi berbahaya.

Putera saya juga mengalami hal ini tanpa kami sadari pada awalnya, namun sikap dia terhadap adik dan temannya menyadarkan kami sebagai orang tuanya bahwa kami harus segera mengingatkan dan menyadarkan dia bahwa orang berhasil bukan hanya karena otaknya encer.

Dia menjadi sangat tidak sabaran kalau mengajar adik atau teman2nya matematika atau fisika atau kimia. Bagi dia soal yang segampang itu kok gak ngerti-ngerti sih, diulang-ulang kok tetap bloon siihhhh….aduhhhh….kok semuanya bodoh sihhh. Arrgghhh….begitu kira2 yang dia rasakan.

Namun beruntung dia mau mendengar, dan kami berhasil membujuknya untuk pelan2 belajar menjadi tutor teman2nya untuk pelajaran matematika dan fisika. Dan kami terus berusaha mengingatkan dia untuk sabar dan sabar hingga suatu ketika dia berucap: “Iya ya pa, ternyata banyak yang gak ngerti ya. Tapi begitu saya jelaskan pelan2 mereka mulai bisa nangkap yg saya jelaskan. Dan kalau mereka bisa, kok rasanya saya seneng banget ya?”. Oh dear God, terima kasih telah menyadarkan anak saya.

Pinter Saja Tidaklah Cukup

Kami selalu mengingatkan dia bahwa pinter saja tidak cukup untuk menjadi orang yang berguna. Kalau hanya mau jadi professor sih bisa, tapi belum tentu professor itu berguna kalau tujuannya jahat. Dan kami selalu menekankan ilmu padi, yang semakin berisi semakin merunduk.

Pada saat dia akhirnya kuliah di US, kami juga meng’encourage’ dia untuk menjadi assistant Professor. Meskipun awalnya belum percaya diri, namun setelah mencoba akhirnya dia menyenangi pekerjaan itu dan terakhir pada saat dia graduate dari College, dia memperoleh gelar The Best Tutor.

Gelar ini memang tidak membuahkan hadiah apa, tidak ada uangnya, tidak seberapa dibandingkan perasaan yang dia alami ketika memperoleh penghargaan tertinggi dari “murid2”nya dengan ditraktir makan rame2. Dia mengatakan bahwa kepuasan yang dia rasakan tidak pernah dia dapatkan selama ini.

So, bukan saya mau menyombongkan diri sebagai ‘guru’ terbaik di daam mendidik anak, namun dari pengalaman saya memberikan training kepada ribuan fresh graduate, setelah saya uraikan logika berpikir saya mengenai anak pinter yang sombong, beberapa anak yang seperti putera saya itu ‘merasa’ telah dibukakan pikirannya. Mereka yang tadinya lebih suka solitaire, menyendiri, menyimpan ilmu sendiri, sekarang lebih toleran dan mau berbagi.

Putera saya sendiri masih jauh dari sempurna, kesombongan masih kadang2 tampak dari tingkah lakunya, dan saya anggap wajar. Namun kadar kesombongannya saya yakin jauh lebih rendah dibandingkan jika kami tidak berusaha keras menyadarkannya.

Saya pernah sekali bertanya kepada salah seorang peraih Gold Medal – International Physics Olympiad (IPhO) yang amat sangat pintar, yang kemudian diterima di salah satu Institut Teknologi paling beken di US. Saya ketika itu ingin bertanya apakah ‘worth it’ menyekolahkan anak ke Top Ten School di US yang biayanya bikin jantung copot itu dibandingkan dengan bersekolah di Singapore atau Australia? Saya hanya ingin tahu pendapatnya karena effort untuk masuk ke Top Ten School di US (mudah2an nanti saya sempat sharing mengenai ini) aujubillah susah dan  mahalnya.

Eh alih2 saya dapat masukan berharga dari seorang genius yang membuat saya takjub bisa bersekolah di Universitas bergengsi itu, saya malah di omel2in. Dia tidak menjawab pertanyaan saya, malah saya dikatakan orang tua yang tidak benar, yang maunya mengatur kehidupan anaknya, yang tidak punya hak menentukan apa yg terbaik buat anaknya dlsb :(. Duh hati saya hancur sekali ketika itu, kok anak ini sama sekali tidak punya sopan santun padahal dia tahu saya mungkin seumuran dengan orang tuanya.

Ketika kemudian saya mencari tahu lebih dalam mengenai dia, saya bahkan lebih kaget lagi. Pembimbing dia selama pelatihan untuk kejuaraan IPhO ketika itu, teramat sangat kecewa dengan sikap anak ini terhadap agama. Dia tidak pernah percaya bahwa Tuhan itu ada :(.

Lha ya pasti, wong dia selama hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan, semua masalah beres di mata dia, cuma dia tidak pernah tahu betapa dahsyat Tuhan kita. Saya hanya berdoa semoga dia diberikan jalan yang terbaik olehNYA.

So teman2 pembaca semua, bpk/ibu yang saya hormati, meskipun analisa saya sangat sederhana, tidak dilandasi metodologi yang seharusnya, tapi semoga intisari sharing saya ini bisa menjadi setitik masukan bagi bpk/ibu semua yang dikarunia anak dengan talenta kepandaian ini.

Saya sangat terbuka jika ada kritikan atau masukan yang membangun sehingga saya bisa mendidik putera-putera saya menjadi lebih baik dan bisa menjadi alat berkatNYA.

Syalomm.

13 thoughts on “Mentang-Mentang Pinter

  1. Saya senang mendengar ceramah / cerita anda. Andaikan saya bisa pintar sekali, kepintaran saya melebihi dosen2 saya, saya tidak akan pernah dihina dan dicaci maki oleh dosen2 dan teman2 saya. Karena tidak semua orang pintar pengertian sifatnya, kebanyakan mereka sombong dan egois, apalagi kalau sudah profesor. Sampai sekarang saya masih mengalami hal tersebut. Andaikan semua orang di dunia ini sangat pengertian, maka tidak ada lagi penderitaan di dunia.

    • Dear Christine, percayalah bahwa semua orang memiliki peran di dalam dunia ini. Hanya kadang kita tidak memiliki cukup kepercayaan akan hal itu. Jangan biarkan hinaan dan caci maki membuat kamu jatuh, tapi coba jadikan sebagai motivasi untuk lebih baik.
      Saya percaya rencanaNYA indah pada saatNYA. Tapi tidak mudah memahami hal ini, karena kita tidak tahu apa rencanaNYA dan tidak tahu juga kapan saatNYA.
      May God bless you, and your family too.

  2. Anak pinter masih ada orang tua yg ngingetin untuk hati2 dengan kepintarannya … kalau ngak bisa di handle dengan bijak maka malah jadi sombong dsb alias faktor non intelektual nya yg malah menjadi masalah. Kalau orang tua nya yg pintar / kaya…….siapa yg ngingetin?

  3. Iye ..pake jurus di jedotin biasanya….ngek… benjol.
    Dari pade nunggu nya ampe kelamaan… mestinya topik2 yg mener GG buat di blog ini bisa di ajarkan / sharing di sekolahan … not a rocket science idea to start early @ school…. nah siape tuh yg bisa nyampein ke menteri P&K buat joint blog GG. Mata pelajaran apa namanya…. non intellectual things that we all should know. Bisa dikemas dalam berapa jilid… untuk bisa dikunyah anak SD, SMP, SMA & Univ.

  4. iya , namanya budipekerti,ajaran disekolah jadul yg sekarang sudah almarhum ,paling tidak dirumah anak dididik untuk menghormati orangtua ,semua orangtua termasuk pembantu , sopir , satpam
    saya teringat ada orang kira2 umur 45 yg bertanya soalkomputer yg dia tdk ngerti , dan ada seorang yg kira2 umur 28 an nanya balik :lahir th 1625 kali ye ?sungguh jawaban yg sangat tidak sopan dan menyakitkan hati , biarpun pertanyaan sederhana , kita hrs jawab yg benar se bisa kita , bukan malah ngece.
    benar spt pak gozali yg bilang , orang yg pinter dalam 1 hal , belum tentu pinter dalam hal lain.kita harus saling bantu antar sesama, bukan malah menyakiti.mungkin yg ngece ini jago komputer , tapi bisakah dia ngitung berapa bunga yg akan dia nikmati seandainya dia punya uang 1 juta di bank dan tidak di utakatik selama 10 th misalnya ?atau bisakah dia bikin longsong/bungkus ketupat ?betul seperti bapak yg bilang , padi semakin berisi semakin menunduk.

    • Saya juga sering menyayangkan kenapa pelajaran yang dulu saya benci itu ternyata sangat penting. Dulu saya tdk tahu ngapain sih diajarkan pelajaran gak guna itu, tetapi sekarang saya percaya pelajaran itu merupakan dasar pembentukan character yang amat sangat penting pada usia muda.
      Contoh sederhana adalah jika ada teman anak2 saya bertamu, mereka cuek saja melihat saya/istri sedang duduk di ruang tamu, tidak mengangguk apalagi mengucapkan selamat pagi/sore/malam Om :). Dan beberapa panggilan interview yang tidak bisa mereka hadiri, tidak disertai pemberitahuan jika tidak bisa atau tidak jadi datang, apalagi permintaan maaf karena membuat kami menunggu mereka.
      Hmmm…apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?

  5. renungan buat saya juga om
    btw ortu saya dari dulu terutama papa sampai sekarang selalu menganggap saya anak yg bodoh karena tidak bisa meraih nilai bagus d bidang ipa, waktu saya meraih beasiswa pun dia juga masih sinis dengan bilang ah kan cuma bahasa, semua orang juga bisa, dan waktu saya apply beasiswa untuk s2 d bidang yg sama, dia bilang lagi berdoa aja yg kenceng karena belum tentu terkabul, dan saya meraihnya , tapi dia juga masih mencemooh saya sampai hari ini

    saya rasa menyombongkan kepandaian anak berlebihan juga ga baik tetapi merendahkannya sedemikian rupa juga tidak baik, karena kata2 ortu saya itu sekarang saya sering merasa minder ketika ditanya tentang apa yg saya teliti oleh mahasiswa indonesia lain yg studi d univ yg sama dengan saya karena mereka rata2 bidangnya ipa

    saya baru bisa sembuh sedikit rasa minder itu ketika pacar saya bilang kamu orang yg sangat cepat sekali menghafal dan mengamati lingkungan sekitar ya pantas kamu bisa dengan mudah memahami pola bahasa asing

    • Hi Sylvia,

      Komentar kamu ini membuat Om merenung dan merasa sangat bersimpati atas perasaan Sylvia.

      Om harap penjelasan Om dibawah ini bisa sedikit meringankan beban batin kamu.

      Ada satu penyakit yang pasti dihinggapi setiap ortu, nanti kamu juga pasti akan mengalaminya. Bedanya hanya pada kadar berat penyakit antara satu ortu dengan lainnya.

      Penyakit itu adalah penyakit menjadi ORTU, penyakit “sok tahu yang terbaik buat anak2nya”. Meskipun nanti anak2nya telah menjadi seorang kakek, tetap aja penyakit ini tetap ada, yaitu tetap merasa ORTU… Bener kan?

      Nah sebagai ORTU, kita2 ini “merasa” paling pinter, paling tahu yang terbaik bagi anak2nya. Hal2 yang diluar nalar, logika, perasaan kami para ORTU, adalah JELEK.

      Dan tindakan melawan nalar, logika atau perasaan para ORTU ini dianggap sebagai “pemberontakan alias pembangkangan” dan perlu diomeli/dimarahi/dicemooh dlsb.

      NAMUN, basis dari semua tindakan itu adalah CINTA, KASIH SAYANG, yang kadang silap karena ORTU ybs lupa bahwa dinamika hidup anak2nya sudah berubah, mindset anak2nya sudah tidak lagi sama dengan ortunya, kebudayaan dan tingkah laku anak2 sudah terlalu jauh diluar jangkauan ORTUnya.

      Hal ini yang menyebabkan kadang2 ORTU amat sangat menyebalkan, menyakitkan hati.

      Oleh karena itu bagi Sylvia yang mungkin menghadapi ORTU yang sedang dalam taraf “mbencekno” 🙂 (menyebalkan). Cobalah sesekali, just to ease your mind, berpikir dengan pola pandang ORTU kamu yang mungkin tidak paham cara berpikir kamu, tidak tahu bahwa ‘the most important thing in life adalah jika kita mencintai apa yg kita lakukan’, agar dengan demikian kamu bisa memahami komentar2 menyakitkan ORTU kamu. Cobalah untuk memahami cara berpikir mereka, just to ease your mind.

      One day, pada saat kamu sudah bisa menunjukkan prestasimu, mereka pasti akan mengakui, meskipun for some ORTU, kadang ‘gengsi’ menyebabkan mereka tidak akan menunjukkannya. Namun saya yakin, deep in their mind, mereka malu mengakui kesalahan mereka dan berbahagia dengan keberhasilan kamu. Jadi maksud Om, jikapun kamu berhasil dan ortu mu “seakan” diam saja, jangan sakit hati.

      Om sendiri juga sedang belajar menjadi ORTU yang “melek” matanya, namun kadang2 tetap saja bisa khilap dan menganggap Om paling pinter dan anak2 paling bodoh.

      So please, forgive your parents, do your best, focus on your happines and may God bless you.

      Salam,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s