Camino de Santiago: 2.8. Physical and mental preparation

2.8.        Physical and mental preparation

Kuat gak ya saya menjalani ziarah ini? Inilah pertanyaan yang mengelayuti kepala saya sejak saya mulai serius ingin menjalaninya. Tidak ada satupun jawaban yang memuaskan pertanyaan saya ini, bahkan semakin mendekati hari H, semakin saya tidak yakin akan mampu menjalaninya.

Nah pada bagian ini saya akan mencoba memberikan jawaban yang saya harapkan bisa paling tidak memberikan gambaran ke teman2 pembaca di dalam mempersiapkan diri menjalani ziarah ini.

Bagian persiapan fisik dan mental ini bagi saya adalah salah satu bagian yang paling menarik, karena dari pengalaman menjalani ziarah ini saya menjadi semakin menyadari bahwa ternyata kekuatan mental itu jauh lebih penting daripada kekuatan fisik.

Saya yakin banyak teman2 pembaca yang seperti saya juga, mempertanyakan apakah kekuatan fisik kita mampu mengatasi tantangan berjalan kaki sejauh itu dan setiap hari? Kalau 20 – 30 km sekali-sekali saja mungkin bisa dimaklumi, kalau tiap hari tentu jauh berbeda. Ini yang selalu menjadi pertanyaan saya sampai hari keberangkatan saya. Apa bisa ya?

Jawaban singkat saya, pasti BISA… terlepas kondisi teman2… asal memiliki keinginan yang memang kuat untuk menjalaninya. Kesiapan fisik adalah factor kedua, jika kita memilliki kesiapan mental yang kuat.

Selama saya menjalani ziarah ini, saya bertemu dengan berbagai macam manusia dari berbagai negara dan dengan berbagai kondisi peziarah yang secara fisik, menurut  saya, semestinya tidak bisa atau sanggup melakukan perjalanan ini.

Peziarah yang kami temui beragam, mulai dari anak2 seumuran 10 tahun, hingga kakek nenek seumuran 80 tahun lebih. Dari yang sehat walafiat, sampai ke orang yang menggunakan kursi roda. Dari yang kurus hingga gemuk. Dari yang jalannya secepat kilat bahkan berlari hingga setapak demi setapak. Dari yang bersandal jepit hingga bersepatu keren… campur aduk dahhh…

Bahkan pada suatu hari, ketika kami lagi terengah2 mendaki salah satu bukit, saya bertemu dengan seorang Ibu yang tampak lebih parah kondisinya dari kami. Untuk beberapa saat kami sempat mengobrol, dan saya terperanjat mendapati kenyataan bahwa beliau baru saja menjalani operasi di lima ruas tulang belakangnya.

Saya sampai melongo bagaimana mungkin orang dengan kondisi seperti itu NEKAD menjalani ziarah yang terbilang berat ini. Si Ibu ini berjalan dengan sangat lambat, akan tetapi secara keseluruhan tidak jauh tertinggal dibandingkan kami. Kami sempat bertemu beliau lagi di beberapa kota berikutnya.

Ada pula seorang Bapak2 yang secara fisik kami perkirakan berusia lebih dari 70 tahun, membawa ransel yang mungkin lebih dari 20 kilogram, tertatih-tatih menggendong ranselnya di depan kami. Luarrrr biasa…

Benar2 beragam manusia dan kondisi mereka… semuanya menjalani ziarah ini… Sebagian dari mereka bisa menyelesaikan ziarah ini, sebagian lagi saya tidak tahu bagaimana nasibnya. Namun semua paling tidak menjalaninya dengan kecepatan dan kemampuan masing. Oleh karena itu saya yakin teman2 pembaca juga akan bisa, karena saya dan istri saja bisa kok :).

Hanya saja ada catatan yang perlu pembaca ketahui, meskipun kita bisa dan sanggup menyelesaikannya, namun persiapan yang matang akan membedakan cara dan kondisi kita menjalaninya.

Kami, seperti yang sudah saya ceritakan di atas, bisa dikatakan tidak siap sama sekali. Saya masih lumayan dibandingkan istri saya, paling tidak saya pernah merasakan berjalan kaki setiap hari selama sebulan penuh dengan rata2 jarak tempuh sekitar 12 kilometer per hari, dan cukup rutin jalan pagi seminggu tiga kali, meskipun hanya berjarak 5 – 8 kilometer. Istri saya jauh lebih parah, bahkan bisa saya katakan NOL, benar2 tanpa persiapan yang semestinya. Sampai2 saya berulang kali menyarankan untuk tidak ikutan ziarah ini, namun si Doi tetap membandel, malah semakin dilarang semakin kepingin pergi.

Namun apa yang membuat saya terheran-heran adalah ternyata istri saya mampu menyelesaikannya… dengan setengah mati dan dengan kecepatan kura2 tentunya… bwakakakak… bahkan beberapa kali saya perhatikan istri saya jalan seperti orang tanpa roh, berjalan terseok-seok limbung kanan kiri seperti robot dengan pandangan kosong ke depan… wkwkwkwk… tapi selesai, finish till the end. Beberapa hari sebelum Santiago, hampir setiap hari istri saya mengkonsumsi pain killer untuk mengatasi rasa sakit di kakinya.

Ini yang membuat saya yakin bahwa semua orang BISA melakukannya, asal NIAT. Inilah kenapa saya mengatakan bahwa kesiapan / kekuatan mental lebih dari kekuatan fisik. Perjalanan kami ini benar2 membuktikan hal itu. If you THINK you CAN, you CAN

Saya juga pernah mengalami kejadian serupa ketika saya diajak teman hiking ke Gunung Kinabalu. Ketika itu saya sama sekali tidak siap secara fisik, selain bukan pendaki, persiapan saya ketika itu benar2 bisa dikatakan minim. Namun saya bisa sampai puncak hanya berbekal teriakan2 sepanjang jalan kalau saya pasti bisa… saya pasti bisa… wkwkwk…

Namunnnn… mohon jangan menjadikan pengalaman saya di atas ini sebagai patokan untuk kemudian tidak berlatih. Saya menceritakan pengalaman saya dan istri di atas hanyalah sebagai pendorong awal teman2 untuk berani mengambil satu langkah awal, yakni meniatkan ziarah ini. Tentu saya amat sangat menyarankan untuk berlatih agar bisa menikmati perjalanan ziarah ini.

Kami, terus terang saja, tidak bisa menikmati perjalanan ziarah kami ini dengan sepenuhnya. Mengapa saya katakan demikian? Karena kalau kita tidak terlalu kelelahan ketika tiba di desa / kota tujuan berikutnya, kita bisa meluangkan waktu untuk berkeliling desa / kota melihat suasananya kehidupan masyarakatnya seperti apa atau mengunjungi tempat2 menarik atau menikmati makanan local disana.

Kami tidak sanggup melakukannya, setiap kali tiba di desa/kota tujuan, kami harus buru2 belanja untuk kebutuhan besok pagi, dan setelah itu hanya mendekam di kamar untuk mempersiapkan perjalanan besok paginya. Mau keluar kamar / hotel sudah malas sekali, energy sudah benar2 habis, hanya cukup untuk digunakan beberes untuk besok paginya. Sedangkan teman2 perjalanan dari negara lain, begitu sampai di kota tujuan, mereka cuci pakaian mandi dlsb kemudian mereka berkeliling kota untuk menikmati suasana sekitarnya.

Itulah bedanya peziarah dengan persiapan dan tanpa persiapan… wkwkwk…

Yang satu keliling2, minum wine sembari bersenda gurau dengan teman seperjalanan lainnya, sedangkan yang satu lagi sibuk menempelkan koyo dan obat gosok di kaki… bwahahaha…

Nah jika teman2 pembaca benar2 sudah berniat menjalani ziarah ini, banyak website yang memberikan petunjuk bagaimana mempersiapkan perjalanan ziarah ini. Saya tidak akan membahas di tulisan saya ini, karena saya sendiri tidak menjalaninya, jadi lebih baik teman2 pembaca mencarinya sendiri ya .

Oya, satu hal yang perlu juga menjadi pegangan kita di dalam menjalani ziarah ini. Perjalanan ziarah ini bukanlah kompetisi siapa yang lebih cepat, siapa yang kuat berjalan lebih jauh. Tidak ada kompetisi. Jangan membandingkan diri kita dengan orang lain. Tidak ada yang menilai, tidak ada yang peduli. Oleh karenanya, sebaiknya membuat rencana perjalanan yang realistis, yang disesuaikan dengan kondisi kita masing2. Tidak harus sekali jalan selesai, tidak harus 30 hari selesai, dan tidak harus juga seluruhnya dijalani dengan kaki kalau terpaksa harus naik bis untuk menuju tujuan berikut ya tidak apa2.

Saya, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, sebenarnya sudah membuat plan yang cukup realistis (meksipun masih di atas kemampuan normal), yaitu menjalaninya setiap hari sejauh rata2 20 km saja. Akan tetapi, karena kami hanya memperoleh Visa Schengen hanya 45 hari, jadi dengan terpaksa kami menyelesaikannya dengan tergesa2.

Pada saat saya memperoleh berita bahwa kami hanya diberi Visa 45 hari, saya sempat jengkel dan panik, selain karena jauh di bawah harapan saya, juga karena saya tidak siap untuk menyelesaikan ziarah ini di bawah 40 hari.

Namun, setelah kami menyelesaikannya, saya mengatakan ke istri saya:”Mungkin Tuhan memang sengaja memberikan kita Visa hanya 45 hari, supaya kita bisa menceritakan ke semua orang betapa luar biasanya perjalanan ini. Kalau kita jalani santai2 saja, tidak akan seberkesan kalau seperti saat ini”… Kan katanya rencanaNYA indah pada waktuNYA… Bwahahahaha…. mencari pembenaran diri nih yeee… :).

Tapi memang, pada saat kita ditekan oleh derita yang luar biasa, baru kita bisa merasakan hikmah dan nikmat hidup yang diberikanNYA…

Perjalanan ziarah ini bukan perjalanan yang mudah bagi kami berdua, namun merupakan sebuah perjalanan ziarah yang sangat luar biasa, yang tidak tidak akan terlupakan bagi kami, yang akan membekas dalam di dalam hati kami.

Hingga disini maka, saya mengakhiri bagian pertama tulisan saya ini, semoga sharing bagian pertama mengenai pendahuluan perjalanan ziarah yang luar biasa ini bermanfaat bagi teman2 pembaca semua.

Saya akan mencoba untuk menuliskan bagian kedua, The Camino Call, dengan uraian yang sedikit lebih detail hari demi hari, tantangan2 yang kami hadapi, medan yang kami lalui, pengalaman berinteraksi dengan pilgrim lain dari berbagai negara, foto atau video dan tips yang masih kami ingat :).

Terima kasih bagi teman2 pembaca yang secara pribadi telah memberikan support bagi saya untuk menyelesaikan bagian pertama tulisan ini.

3 thoughts on “Camino de Santiago: 2.8. Physical and mental preparation

  1. Pingback: Camino de Santiago: 2.7. Essential Gear & Packing Tips | Guntur Gozali

Leave a comment