Camino de Santiago: 2.5.6. Receptionist

2.5.6.     Receptionist

Hal lain yang tidak umum saya alami adalah ketika check in di penginapan. Hal ini juga perlu teman2 ketahui supaya tidak bingung seperti yang saya alami :). Mungkin karena tenaga kerja mahal disana, maka resepsionisnya bisa merangkap apa saja, ibu rumah tangga, pelayan restaurant, penjaga mini market dll :).

Ini hal yang umum disana, tapi bukan hal umum bagi kita, jadi jangan berharap kita akan dilayani dengan welcome drink segala… hahaha… boro2 welcome drink, yang melayani bisa kasir atau pelayan resto dimeja yang bukan untuk menerima tamu :).

Biasanya ketika kita tiba di hotel, setelah melalui pintu masuk, kita langsung berhadapan / menuju meja resepsionis kan? Bahkan di kota kecil tempat kelahiran saya di Kotabaru Pulau Laut nun jauh terpencil di Tenggara Kalimantan sana, yang namanya Hotel ada tuh yang meja receptionist dan penerima tamunya.

Nah di beberapa hotel di Spanyol, tidak memiliki meja resepsionis khusus. Kita bisa saja masuk melalui restaurant atau melalui mini market, kemudian dilayani oleh pelayan restaurant atau pelayan minimarket, check in di meja bar atau cashier untuk diberikan kunci kamar :). Bingung kan… pada awalnya saya benar2 bingung, celingak celinguk seperti monyet kebingungan gitu. Lha judulnya Hotel tapi kok saya disuruh masuk ke resto? wkwkwkwk…

Kami juga pernah menginap di salah satu pension yang tidak jelas pintu masuknya. Pintu masuknya mirip seperti pintu rumah pada umumnya, namun tidak ada tanda2 kalau tempat itu adalah pension. Ketika kami lagi kebingungan celingak celinguk, kebetulan ada penduduk setempat yang lewat. Hal yang termasuk langka, maksud saya ketemu penduduk siang hari itu termasuk langka karena biasanya kota2 yang kami lewati jarang sekali bertemu orang local di jalanan. Umumnya sepiii sekali. Nah ini kok kebetulan ada yang lewat, dan dia menunjukkan bahwa pintu masuknya ada di depan.

Kamipun berjalan ke depan, tetapi kami tidak melihat ada pintu masuk ke penginapan yang kami tuju. Di depan Gedung itu hanya ada supermarket mini, tidak ada tanda2 hotel sama sekali. Karena bingung kami kembali lagi ke pintu awal sesuai alamat di Google Maps dan celingak celinguk lagi kebingungan, hingga setelah beberapa menit kebingungan akhirnya muncul seseorang yang ternyata pengurus / pemilik penginapan. Dia keluar dari Minimarket yang sudah kami celingukin sebelumnya … hahaha…  Ternyata Minimarket itu adalah jalan masuk ke penginapan kami… Amploppp deh…

2.5.7.     Check-in time

Satu lagi, jangan berasumsi semua penginapan bisa check in sesukanya dan memiliki receptionist yang standby 24 jam seperti layaknya hotel. Hampir semua Albergue memiliki jam check in tertentu misalnya paling lambat pukul 20.00, lebih dari itu siap2 saja tidur di emperan :). Pension, hostel dan hostal biasanya dilayani oleh pemiliknya atau seorang pengelola dengan jam check in tertentu.

Beberapa kali saya diterima bukan di alamat pension/hostel yang dituju, karena lokasi pension/hostelnya bisa berbeda dengan lokasi petugas penerima tamunya. Jadi janjian akan ketemuan dimana, biasanya sih dekat dengan penginapan kita, terus dia akan mengantar kita ke hostel dan meninggalkan kita. Besok pagi2 kita letakkan kunci kamar di tempat yang mereka tentukan.

Pada awal perjalanan, karena ketidak tahuan mengenai jam check-in ini, saya mengalami pengalaman cukup menegangkan. Saya pikir semua penginapan pasti memiliki resepsionis yang standby 24 jam.

Suatu hari kami tiba di kota yang dituju sudah hampir pukul 17.00 karena perjalanan hari itu lebih dari 30 kilometer sehingga membutuhkan waktu lebih dari 10 jam perjalanan. Ketika mendekati kota yang kami tuju, pada saat kaki saya sudah hampir tidak bisa diajak kompromi saking capeknya, saya mendapat telpun dari hostal tempat kami menginap. Dengan Bahasa Inggris yang tidak jelas, si pengurus hostal memberitahukan bahwa jam check-in paling telat pukul 17.00 lebih dari itu dia akan meninggalkan tempat. Artinya saya tidak bisa mengambil kunci kamar, atau dengan kata lain saya harus tidur di emperan :).

Whattt??? Saya terkaget2… lha kok bisa?…

Ternyata hal ini sudah tercantum di deskripsi hotel ketika saya melakukan reservasi di booking.com atau website lainnya. Saya sendiri yang salah, saya tidak membacanya karena saya pikir pasti ada receptionist yang standby 24 jam.

Akibatnya, dengan kaki yang sudah luar biasa lelah dan sakit, saya terpaksa harus lari dengan hati berdebar2. Saya berlari dengan menggendong ransel sambil terus memperhatikan jam tangan saya. Saya tiba di penginapan 3 menit sebelum pukul 17.00 dan disambut dengan wajah cengengesan si Ibu penerima tamu yang puas sudah ngerjain saya… :).Benar2 pengalaman yang sangat tidak mengenakkan.

Jadi perhatikan jam check-in setiap mereservasi penginapan, kalau jam check out saya rasa standard sekitar pukul 12.00 dan kita pasti sudah check out pagi2 sekali.

2.5.8.     Hotel’s facilities

Bagi yang terbiasa menginap di hotel berbintang perlu menurunkan standardnya ke level paling bawah sebelum menjalani Camino :), bahkan lebih bawah daripada hotel kelas Melati di negara kita tercinta ini.

Albergue memiliki fasilitas yang paling minim, di satu ruang besar yang bisa berisi 8 – 32 ranjang kita hanya disediakan tempat tidur berupa ranjang tingkat / bunk bed beserta sprei dan sarung bantal sekali pakai. Selain itu juga disediakan tempat yang dipakai ramai untuk mencuci dan menjemur baju, kamar mandi / toilet bersama tanpa sabun dan atau shampoo.

Kita harus toleran untuk berbagi, jangan menggunakan kamar mandi atau toilet seperti di rumah sendiri. Di Refuge Orisson, untuk mandi dibatasi maximum 5 menit dengan menggunakan coin. Atau ada juga yang keran airnya menggunakan tombol seperti keran di wastafel, jadi sekali pencet air keluar beberapa detik kemudian mati. Kita harus berkali-kali memencet tombolnya selama mandi :).

Untuk mencuci pakaian, biasanya disediakan area sendiri berupa bak cuci pakaian dan tempat jemuran. Ada juga yang menyediakan mesin cuci dan pengering, ada yang gratis ada yang berbayar menggunakan coin. Kalau tidak disediakan mesin pengering, maka setiba di penginapan kita harus mencuci dan menjemur pakaian terlebih dahulu supaya besok pagi sudah kering. Jika tidak kering, maka pakaian kita bawa dalam kondisi basah, dimasukkan dalam mesh bag yang berlubang2 itu, dicantolkan di ransel supaya kering sepanjang perjalanan :).

2.5.8.     Food and mealtime

Pada topik berikut ini kita akan berbicara mengenai makanan dan jam makan. Lohhh kok ngomongi mengenai topik gak penting ini? Iya, topik ini sepertinya topik remeh temeh, akan tetapi sangat penting bagi teman2 pembaca untuk diketahui agar nanti disana tidak kebingungan dengan makanan dan jam makan yang kurang umum bagi kita dari Indonesia.

Pertama-tama yang perlu diketahui, tidak semua penginapan mempersiapkan makanan, karena seperti yang saya sudah uraikan di atas, bahkan ada penginapan yang tidak ada receptionist yang standby 24 jam, apalagi bagian dapurnya.

Selain hotel, kita lebih baik berasumsi penginapan yang kita booking tidak menyediakan makan. Beberapa Albergue ada yang menyediakan makan malam dan pagi dengan biaya tambahan atau berupa donasi. Beberapa Albergue lainnya hanya menyediakan peralatan masak yang biasanya digunakan beramai2. Pension dan hostel ada yang menyediakan makan malam dan makan pagi sederhana, ada juga yang hanya menyediakan dapur dan perlengkapannya. Atau ada juga yang hanya menyediakan vending machine, akan tetapi tentu isinya hanya minuman dan snack.

Kami, setiap tiba di kota tujuan, yang kami cari pertama adalah supermarket untuk membeli air mineral, roti / kue / croissant, pisang, apple atau telur kalau kebetulan penginapannya menyediakan dapur. Meskipun tap water / air keran bisa diminum, tapi kami disarankan untuk tetap membeli air mineral botolan.

Hal lain yang menjadi masalah dengan urusan makan memakan adalah jenis makanan dan jam makannya.

Bagi yang terbiasa dengan pola makan traditional, yang harus tiga kali makan sehari yaitu di pagi, siang dan malam dan dengan jam makan teratur 7:00, 12:00 dan 19:00, plus snacking di antara jam2 makan itu… maka urusan makan memakan ini bisa menjadi kendala yang sangat serius pada saat menjalani ziarah Camino.

Kalau teman2 pembaca masih memiliki pola makan seperti itu, saya menyarankan lebih baik menunda atau jangan pergi deh… bakal susyahhh… apalagi masih punya pola pikir harus makan nasi, kalau belum makan nasi serasa belum makan… welllehhh tambah parah lagi… hehehehe…

Kami yang sudah terbiasa dengan OMAD (One Meal A Day, sehari makan sekali) saja, kadang2 masih merasakan urusan makan ini merepotkan, apalagi yang memiliki pola makan lama. Saya rasa akan sangat menyusahkan dan mungkin mengakibatkan kita gagal menjalani ziarah ini.

Kami merasa sangat beruntung sekali sudah terbiasa melakukan IF (Intermittent Fasting), dan beberapa tahun terakhir kami menjalankan OMAD (One Meal A Day), jadi masalah makan tidak terlalu menjadi beban bagi kami. Note: bagi teman2 yang belum tahu apa itu IF dan OMAD silakan baca tulisan saya mengenai hal ini di link berikut: The Miracle of Fasting.

Makan pagi: seperti pada umumnya makan pagi di negara barat, menunya rata2 teramat sangat sederhana. Namun meskipun sudah mengetahui hal ini, ketika saya disuguhi “breakfast” di “Hotel” pertama saya menginap, saya kaget juga. Saya beri tanda petik pada kata hotel karena nama penginapannya Hotel tapi ternyata rumah pribadi yang disewakan.

Pada saat breakfast, menunya hanya berupa dua potong roti tipis, beberapa potong keju  dan ham mentah masih merah 2 lembar. That’s all… Wakakakak… Ketika saya melihat sajian di depan saya, saya meringis ke istri saya karena saya kebetulan tidak suka keju dan juga tidak biasa makan ham mentah seperti itu. Akan tetapi dengan wajah tersenyum lebar “terpaksa” saya makan juga… karena pemiliknya sendiri yang menyajikan dan beliau berdiri disisi meja… bwakakakak…

Hari2 berikutnya, untuk breakfast, kami hanya makan pisang dan atau telur rebus dan atau roti / croissant dan atau Apple. Seringkali hanya pisang saja atau telur rebus saja, kadang2 ya tidak makan apa2. Makanya kami sangat bersyukur telah terbiasa IF dan OMAD sehingga tidak menjadi masalah kalaupun perut belum diisi. Kami lebih memilih skip breakfast meskipun tempat kami menginap menyediakan breakfast, karena jam makan di Spanyol ini agak berbeda dengan kebiasaan kita.

Menu favourite tiap pagi 🙂

Atau ini:

Menu breakfast plus plus 🙂

Kalau di hotel2 di Indonesia, dan sepertinya juga di negara2 Asia dan bahkan Amerika, mereka menyediakan breakfast mulai dari pukul 6:00 – 6.30 pagi, di Spain jauh berbeda. Paling pagi, dan itupun jarang terjadi, adalah pukul 7:00, lebih sering 7.30 pagi. Hal ini menyulitkan kami yang harus berangkat sepagi mungkin.

Jika kita baru makan pukul 7:30, semisal selesainya pukul 8:30 dan baru jalan sekitar pukul 9:00… wahhhh bakal gosong kepanasan di tengah jalan… Oleh karena itu kami lebih memilih skip breakfast, dan memulai perjalanan kami sekitar pukul 6:00 hingga 7.30 paling telat. Kami “breakfast” seadanya itu tadi.

Kami baru akan breakfast yang lebih proper, JIKA menemukan café di kota/desa yang kami lalui. Berikut ini menu breakfast kami jika di perjalanan ketemu Cafe:

Breakfast plus plus plus 🙂

Pada 3 – 4 minggu pertama agak sengsara, jarak antar kota / desa sangat jauh, bisa 1 – 3 jam tidak ketemu kota / desa. Kalaupun ada biasanya desa kecil sekali, sehingga kadang2 setelah melalui beberapa desa baru ketemu café. Setelah memasuki minggu 5 mulai lebih sering ketemu desa. Itupun biasanya kami hanya sarapan teh atau kopi dan sepotong cake, istri saya jatuh cinta dengan makanan yang tortilla, hampir tiap hari makan ini karena hanya ini yang paling umum mereka sediakan :).

Coba perhatikan di menu di bawah ini, hampir selalu ada tortilla …

Seperti di atas itulah menu breakfast kami tiap hari, kadang mewah ada ham dan telurnya, kadang cuma donat, kadang hanya pisang… Sekali lagi saya harus bersyukur sudah terbiasa fasting jadi brekfast seperti di atas itu sudah kami anggap mewah. Namun kalau terbiasa breakfast dengan menu nasi goreng, bakmi dlsb… ya agak susah sih :). Apalagi yang sudah terbiasa dengan menu breakfast di hotel berbintang di Indonesia.

Kami, pada hari terakhir di Santiago, sengaja mencari hotel yang menurut kami paling baik dan dekat dengan Cathedral Santiago. Setelah memilih dan memilah akhirnya kami memperoleh kamar di San Francisco Hotel Monumento, hotel bintang 4 dengan tarif per malam 350 Euro. Kami mereservasi untuk tiga malam, bayar di depan.

Selama tiga hari berturut-turut menu breakfast yang disajikan sama persis, seperti ini:

Minimalisssss… bwakakakak… tiga hari saya hanya tega makan sepotong roti dan buah2an… Coba bandingkan dengan menu breakfast di hotel di Indonesia, apalagi bintang 4 atau 5… jauh sekali bedanya… 🙂

Itu beberapa menu makanan di Hotel Berbintang 4 di Surabaya, dan belum semua saya foto dan… biaya menginapnya hanya 1/3 Hotel di Santiago… dan dengan luasan kamar yang 2x lebih luas dan… dengan amenities dan toiletries yang sangat lengkap  

Jadi kalau berminat menjalani ziarah ini, saya sarankan untuk membiasakan diri menjalani fasting terlebih dahulu yaaaa … wkwkwk… promosi nih yeee… :).

Makan siang: Selain jam makan pagi yang kurang pas bagi kita, makan siang dan malampun jam nya kurang cocok juga. Resto2 rata2 menyajikan makan siang hanya hingga pukul 14:00 – 16:00 kemudian mereka tutup untuk beristirahat siang (siesta) , atau kadang kita temui café / restonya yang masih buka akan tetapi dapurnya tidak beroperasi. Mereka akan mulai menghidangkan makam malam lagi mulai dari pukul 19:30 atau seringkali 20:30 hingga tengah malam. Nah lhoooo ini kan jauh berbeda dengan kebiasaan kita…

Kami pernah mengalami tiba di kota kecil pada pukul 16:15, semua resto / café tutup atau tidak menyajikan makan siang. Saat itu kaki sudah serasa mau patah, cuapekkk banget, namun terpaksa harus keliling memasuki satu persatu resto hanya menemukan jawaban yang sama, tutup.

Teman2 tentu mengatakan, lah kok bodoh sekali, kan bisa lihat Google Maps jam operasinya. Betul ada, tapi tidak update atau kalaupun update hanya jam operasi café / barnya saja, open sih tapi dapurnya tutup. Jadi kita hanya bisa minum di barnya, tapi tidak tersedia menu makan.

Sedangkan menunggu untuk makan malam, jam makannya terlalu malam bagi kami. Kalau kita makan malam dari pukul 20:30, selesai pukul 21:30 atau pukul 22:00, sudah terlalu malam untuk bersiap-siap untuk keesokan harinya.

Selain itudi beberapa Albergue dan hostel ada jam malam. Biasanya pukul 22:00 pintu sudah pasti ditutup, kemudian lampu2 juga dimatikan, quite time istilahnya agar pilgrim lainnya bisa beristirahat dengan baik untuk menyongsong hari berikutnya.

Sekali lagi, beruntung sekali kami terbiasa OMAD, jadi tidak masalah kalau tidak makan malam. Jika tidak, wahhh bisa gak bisa tidurrr kepikiran kok belum makan malam ya..

Satu hal lagi yang membuat saya tidak nyaman dengan urusan makanan ini adalah rasanya. Orang Spain, atau mungkin bangsa Eropa secara umum, tidak mempersiapkan makanan seperti kita orang Asia, atau Indonesia. Saya rasa kalau ada Ibu2 dari Eropa melihat kerepotan Ibu2 di Indonesia mempersiapkan makan pagi / siang / malam dengan berbagai macam bumbu masakan yang luar biasa ragamnya, mereka bisa2 pingsan :).

Nah, di Spain, hampir semua café / resto sepanjang jalur Camino, kecuali di kota besar, menyajikan makanan yang hampir sama. Biasanya terdiri atas French fries dan sepotong daging sapi / kambing / babi / ayam atau ikan. Itu doang… dan cara memasaknya juga sangat sederhana, gak pake bumbu2an segala. Hanya digoreng atau bakar, kemudian ditaburi garam… sudah… Sehingga rasanya mostly cenderung asinnn sekaleee… sampai saya pernah merasa lidah saya baal gara2 kebanyakan garam.

Itulah contoh menu sehari2 yang kami peroleh, sangat sederhana ya… rasanya cuma asin doang… Kalau sekali dua makan seperti itu rasanya nikmat sekali, tetapi setiap hari menu seperti itu… berat juga. Kadang kalau beruntung, begitu disajikan ada yang pakai bumbu seperti di bawah ini, kami rasanya senenggg banget… wkwkwk… :

Yang paling mantap, pernah sekali ketiksa sampai di Pamplona, kami secara random memasuki satu resto Asia. Kami sampai sudah sangat sore, sekitar pukul 16:00, jam mereka tutup. Begitu memasuki resto, pegawainya sudah langsung menunjukkan wajah hendak mengusir kami, dan menunjukkan jarinya ke jam operasional resto yg terpampang di dinging.

Saya dengan sedikit memelas meminta mereka untuk memperbolehkan kami masuk karena kaki kami sudah hampir tidak mampu lagi diajak jalan. Saya menunjuk2 kaki saya dan memperagakan gerakan orang kelelahan dan kelaparan. Akhirnya akting saya lulus,  si penerima tamunya menanyakan ke dapur, dan kami diperbolehkan masuk dengan syarat tidak bisa lama2 :). Saya bilang saya akan makan cepat tidak lebih dari 30 menit, dan akhirnya kami menikmati makanan Asia paling uenak sepanjang perjalanan Camino ini:

Menunya Nasgor, Scallop dan Salad… wakakakakak…

Kebayang kan betapa rindunya saya sama makanan dari Negara tercinta kita ini… Nasgor, Bakmi, Rawon, Nasi Campur, Soto… oooohhh setiap kali makan siang membayangkan makanan favourite saya ini supaya nikmat… wkwkwk…

Selain asin, sepertinya orang2 Spanyol suka yang manis2 untuk minuman dan kue2, sehingga jika kita pesan Green Tea atau Macha sekalipun, juga dikasih gula… wkwkwk… Rasanya saya belum pernah pesan Green Tea yang pakai gula dimanapun… hanya di Spain ini sepertinya. Dan itu pesannya bukan di cafe2 pinggir jalan yang gak jelas gitu lho, tapi di Japanese Restaurant yang keren dan berkelas lho, yang harus pakai reservasi segala.

Terakhir, sayuran sangat langka di Spanyol. Tidak seperti cafe2 di Jakarta yang rata2 selalu menyediakan salad, disana susah sekali memperoleh salad. Saya pikir mungkin karena mereka tidak mau repot kali ya.

Rata2 yang melayani cafe2 ini adalah pemilik resto dengan pasangannya, sehingga mereka sangat kerepotan melayani tamu. Sehingga, mungkin mereka malas mempersiapkan sayur mayur yang merepotkan itu. Dan atau karena alamnya agak gersang sehingga sulit memperoleh sayur? Saya belum sempat menanyakannya.

Inilah makanan paling enak di Spain menurut saya :)…

Oya pernah sekali kami memutuskan untuk makan malam di salah satu hotel karena mereka menyajikan menu makan malam tidak terlalu larut malam seperti hotel dan resto2 sebelumnya. Mereka menyajikannya pukul 18.30 dan kamipun memutuskan untuk mencobanya.

Pelayannya tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali dan menunya ditulis tangan dalam bahasa Spanyol sehingga kami hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan menebak2 maksudnya. Namun kami sepertinya sempat mendengar kata2.. ham, cheese dan sausage… sepertinya kok bakalan uenakkk…

Namun ternyata yg disajikan seperti berikut:

Saya terbelalak melihat makan malam yang disajikan, ternyata beragam keju dan daging tipis (ham) mentah dengan cara penyajian sangat indah di mata, namun bukan di mulut saya… hahahaha… Malam itu saya akhirnya kenyang juga tapi diisi air… wkwkwkwk…

Emang susah juga sih punya lidah kampung yang tidak terbiasa dengan makanan sejenis itu, mungkin bagi sebagian orang menu seperti di atas ini sangat istimewa namun sayangnya saya hanya bisa menikmati secuil saja, selebihnya terpaksa tidak saya sentuh.

Jadi itulah pengalaman kami dengan makanan di Spanyol, semoga teman2 pembaca sudah bisa membayangkan bakal seperti apa nanti di sana. Oleh karena makanan yang kurang sesuai selera, maka kami selalu mencari Asian Food di setiap tempat yang kami tuju, akan tetapi hanya di kota besar saja bisa kami temukan makanan yang sesuai selera, most of the time makanan seperti yang saya jelaskan itu yang akan kita temui.

Next…

4 thoughts on “Camino de Santiago: 2.5.6. Receptionist

  1. Ngakak lho pak wkt baca ttg yg masi ngerasa lom nendang klo ga ktmu nasi mending tunda dulu wkwkwk. Seasoning daging di Eropa sana emang sederhana ya pak. Bener bs pingsan itu klo tau kita masak butuh beberapa jam wkwkwk..wkt dulu cobain makanan Eropa pertama kali tuh telor rebus-dingin. Ga bs nelen, malah ampir kluar lagi wkwkwk. Trus apa2 gada rasa, butuh effort banget buat ngabisin.

    Great story pak. Suka dgn gaya bahasanya. Ringan, jd cepet bacanya. Kayak lagi dengerin bapak cerita langsung 😆

    • Iya kan ya, banyak temen2 saya yang masih harus makan nasi, meskipun sudah ngabisin sepiring daging, telor, sayur dll, tapi katanya belum krasa makan kalau belum ada nasinya… xixixi… jadi inget2… saya dulu.. wkwkwk…

      Setelahdari sana, saya semakin kagum dengan Ibu2 di Indo, yang kalau masak bisa berjam2 nyiapinnya… saluttt dehhh… 🙂

      Btw, thanks atas komentarnya, semoga masih tetap semangat membaca cerita saya :)…

      Salam,

  2. Pengalaman yg sangat luar biasa, salut dg tekad kalian, pantang menyerah..
    Kebayang bgmn rasanya disepanjang perjalanan, dan bertahan sp 45 hari????

    Thank you utk share pengalaman yg tdk pantang menyerah dg berbagai kesulitan.

    Frankly speaking..I would never try..

    • Terima kasih atas komentarnya…

      Sejujurnya saya juga tidak tahu kenapa saya jalani ziarah ini, seperti yang saya ceritakan, pada awalnya saya juga meng-gila2kan ziarah ini, tapi kadang Tuhan punya rencana yang tidak pernah kita duga.

      Saya sendiri masih amazed bagaimana kami bisa melalui 37 hari perjalanan kami, tanpa sakit dan celaka yang berarti. Kami melangkah sebanyak 1.4 juta langkah dalam kondisi kurang prima dengan medan yg cukup berbahaya, namun relative berjalan sangat baik.

      Semoga one day… you will try… hahaha…

      Salam,

Leave a comment