FTJE UKSW, fakultas teknik terbaik…duluu…

Setelah mengelilingi hampir semua bagian kampus UKSW, tinggal satu gedung yang memang sengaja saya sisakan karena saya bukan hanya ini melewatinya, tetapi juga ingin mengintip dalamnya.

Gedung C terletak di ujung kampus, ditempati oleh 4 Fakultas: Pertanian, Biologi, Teknik serta Sains dan Matematika. Di gedung ini pulalah saya selama lima tahun lebih belajar mati2an untuk bisa meraih gelar sarjana teknis elektro.

Setelah sekian puluh tahun, gedung ini tampak sama merananya seperti 30 tahun yang lalu. Bedanya hanya cat yang lebih baru dan taman yang lebih terpelihara. Ketika mengintip ruang kuliah, laboratorium dan teristimewa TOILET nya, saya rasanya ingin menangis, kok gak berubah ya. Saya sempat tergoda untuk memotret TOILET yang jorok itu namun urung saya lakukan, trenyuh saya.

Dulu saya lebih senang pulang ke kost2an daripada menggunakan TOILET jorok ini, meskipun pernah sekali dua karena sudah tidak tertahankan lagi dengan sangat tersiksa saya gunakan juga. Kini setelah sekian lama, lha kok masih sama saja…weleh2.

Fakultas Teknik Elektro dulu adalah merupakan salah satu Fakultas Teknik yang sangat disegani di seantero Indonesia. Ketika saya memulai kuliah disana, status Fakultas ini terdaftarpun tidak. Namun kami semua bangga, meskipun tidak terdaftar namun terkenal.

Disanalah saya mengenal yang namanya sistim nisbi, alias cara penilaian yang menganut Normal Curve secara murni. Kami tidak mengenai nilai mutlak semisal hasil test rata2 di atas 60 pasti lulus seperti pada saat kita SD – SMA. Hasil akhir kita ditentukan oleh pergerakan nilai rata2.

Persaingan di FTJE, demikian kami biasa menyebut fakultas kami, adalah merupakan fierce competition, persaingan yang brutal. Bahkan sedari mulai seleksi masuk sudah terasa berat.

Saya ingat pada saat awal kami dilantik sebagai mahasiswa baru, pak Dekan sudah memberitahu kami akan ketatnya sistim penilaian yang akan digunakan di FTJE. Dan hal ini terbukti benar, dari 85 mahasiswa baru (segelintir mahasiswi, kalau tidak salah hanya 8), setelah 4 semester, tinggal separuhnya, separuhnya lagi gugur di medan perang wkwkwkw….

Sistim penilaian yang dianut FTJE merupakan nisbi murni, alias menggunakan Normal Curve yang penentuan A, B, C, D dan E nya berdasarkan atas nilai rata2 kelas.

Sehingga, jika saya memperoleh nilai 90, saya tidak perlu tertawa atau menangis, karena bisa saja saya dapat E atau sebaliknya A. Demikian pula halnya, jika saya memperoleh nilai test 30, belum tentu juga saya dapat E, namun bisa saja malah dapat A. Semua tergantung rata2 kelas.

Jika rata2 kelasnya 90, dan saya memperoleh nilai 90, maka grading saya adalah C. Dibawah atau di atas itu tergantung deviasi nilainya, jika persaingan ketat, bisa2 selisih satu atau dua point, menentukan perpindahan grading ke B atau D.

Sehingga setiap kali kami memperoleh nilai hasil test, kami tetap tidak bisa tidur nyenyak hingga nilai2 rata2 dan standard deviasi nilai diumumkan. Hal ini menyebabkan kami sikut2an dan muncul olok2: Jika teman senang ikut senang, jika teman susah tambah senang :).

Meskipun papan pengumuman di bawah ini jelek gak karu2an, tapi disinilah nasib kami dulu ditentukan 🙂

Penggunaan sistim nilai seperti ini mengakibatkan kami tidak mengenal kata cukup di dalam belajar, semua relative. Kalau teman belajar pakai satu buku, saya harus pakai dua buku, kalau teman belajar 1 jam saya harus 2 jam. Kecuali kita dikaruniai otak emas, yang tanpa belajarpun pasti bisa.

Sistim ini diperparah lagi dengan tidak disediakannya buku text book. Pada hari pertama perkuliahan dimulai, dosen hanya mengatakan bahwa buku utama yang dia gunakan adalah ini, ini dan ini, biasanya 3 – 5 buku. Kita tidak tahu mana yang akan dia gunakan sebagai buku pegangan pokok.

Sehingga oleh karenanya, setelah hari pertama perkuliahan, kami biasanya rebutan ke perpustakaan untuk segera meminjam buku itu. Atau kalau ada kenalan dengan senior segera memfoto copy catatan atau bahan test yang lalu.

Kami juga pada saat itu sangat getol berbelanja buku ke Amerika, terutama terbitan McGraw Hill. Atau bergerilya ke Bandung dan Surabaya, ke toko2 buku yang menjual buku bekas. Oleh karenanya buku2 pegangan kami tebal2 dan bagus2 :).

Sistim yang kejam ini membuat mahasiswa saling bunuh, dan berkelompok2. Membuat kami menjadi egois namun juga sangat percaya diri, atau lebih tepatnya sombong. Tidak ada yang namanya absensi, karena tidak ada yang berani bolos. Tidak ada juga larangan menggunakan sandal japit atau kaos oblong, asal pinter aja. Kalau sudah goblok masih pakai sandal japit dan kaos oblong, ya tahu sendiri lah :).

Pada awal perkuliahan, saya pernah shock melihat tingkah laku senior2 saya. Mereka duduk di deretan paling belakang, menggunakan kaos oblong, bersandal japit, rambung gondrong, merokok dan meletakkan kakinya di atas meja. Sembari bas bus bas bus merokok, mereka mendengarkan dosen memberikan kuliahnya. Kadang sulit membedakan mahasiswa FTJE dengan gembel di pasar wakakakak…

Yang namanya rata2 kelas adalah C, jika ada yang B berarti memang pintar, kalau A ya artinya super pinter. Tidak seperti jaman sekarang, saya pernah merata-rata 120 mahasiswa yang ingin saya rekrut dari salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, nilai rata2 index prestasi dari ke 120 anak itu adalah 3.46 dari max 4. Luar biasa sekali kan???

Bagaimana mungkin nilai rata2 3.46 padahal yang namanya rata2 ya C alias 2.0. Lha kalau rata2nya 3.46, maka tidak ada satupun mahasiswa yang nilainya dibawah 3, bahkan banyak di antara mereka 4, mungkin ada yang 5 kali hahahahaha…5 out of 4 kan hebat :).

Selain persaingan di dalam nilai, urusan skripsi juga sama susahnya. Dosen pembimbing kami tidak mau kami membuat skripsi asal2an, semuanya mau yang serba baru dan canggih. Jika skripsi yang diajukan biasa2 saja, pasti ditolak, dan jika skripsi yang diusulkan sudah ada yang membahas sebagian daripada skripsi kita, pasti juga ditolak, dianggap sudah kuno. Mungkin ini salah satu bentuk pelampiasan balas dendam atas perlakuan dosen senior sebelumnya kali wkwkwk…

Hal ini membuat kami harus banyak membuang waktu melakukan research di perpustakaan, membongkar skripsi2 lama dan mencari ide2 baru. Hanya untuk menemukan judul skripsi saja bisa 1 – 2 semester, belum lagi merealisasikannya.

Skripsi yang isinya membahas suatu produk atau teknologi, sangat tidak dihargai. Skripsi baru keren kalau kita mengajukan pembuatan alat atau teknologi baru. Sehingga banyak mahasiswa abadi di fakultas kami :). Tidak pernah saya mendengar ada yang lulus di bawah 4 tahun, bahkan mungkin belum ada yang lulus dibawah 5 tahun, kecuali pendekar super sakti.

Namun rasa bangga yang saya rasakan selama ini, tiba2 mblebessss hilang begitu saja seiring saya memasuki kampus yang dulu sangat saya banggakan itu. Saya benar2 tidak merasakan aura kejayaan, aura kemegahan, aura kesombongan yang saya rasakan dulu.

Gedungnya tetap terabaikan, seperti nasib FTJE yang selalu dianak tirikan oleh pimpinan Universitas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum akan ketidak senangan pimpinan ke FTJE sehingga pernah terjadi keributan yang cukup menghebohkan pada sekitar tahun 90 an dulu.

Memasuki gedung C, yang pertama saya tengok adalah ruang administrasi dan dosennya. Saya sempat bertemu dengan dua mbak petugas administrasi yang sedang sibuk bekerja, dan saya menanyakan apakah ada dosen yang bisa saya temui. Namun rupanya saya datang kepagian, sehingga saya hanya sempat menitipkan kartunama dan minta ijin untuk memotret.

Setelah itu saya mulai berkeliling gedung C dan menemukan beberapa lokasi yang memiliki kenangan khusus bagi kami mahasiswa FTJE, salah satunya adalah kolam di bawah ini. Dulu kolam ini joroknya minta ampun, sekarang sudah jauh kelihatan bersih dan terawat. Kami biasanya memlonco teman2 dengan menceburkannya ke kolam jorok ini 🙂

Kolam yang sama, 7 tahun yang lalu:Lorong2 di gedung C:
Lorong yang sama 7 tahun lalu:

Setelah itu saya berkeliling gedung C, saya mencoba membuka beberapa ruang tetapi semua terkunci. Satu2nya ruang yang terbuka adalah Lab Elektronik. Sayapun dengan gagah berani masuk mengintip isinya.

Di dalam ada beberapa anak SMA / STM yang rupanya sedang kerja praktek atau mengerjakan tugas, tidak tampak mahasiswa sama sekali. Saya sempat terpana melihat beberapa peralatan yang masih sama seperti tahun 1983 yang lalu, dua puluh Sembilan tahun yang lalu.

Saya memotret peralatan jaman dinosaurus itu sebagai kenang2an, kenang2an disiksa oleh perlatan itu selama bertahun-tahun :).

Beruntung pada saat saya hendak meninggalkan ruangan, saya masih sempat bertemu dengan kepala laboratorium Mas Suharto yang wajahnya juga tampak tidak berubah. Haizz… apa semua orang yang tinggal di Salatiga tidak terpengaruh oleh waktu ya?? Makan apa sehhh…apa makan resistor, transistor & capacitor bisa bikin awet muda kali ya wkwkwkwk…

Saya sempat berbincang-bincang dengan beliau, meminta ijin memotret peralatan fosilnya, dan kemudian berpamitan.

Ketika hampir keluar dari gedung C, saya sempat terpana melihat sticker yang tertempel di ruang paling ujung sebelum pintu keluar. Ternyata itu adalah ruang hasil kerjasama FTJE dengan XL yang mungkin digunakan sebagai lab untuk melakukan instalasi dan praktikum  SDH (Synchronous Digital Hierarchy – Multiplexing). Hmmm…ini baru hebat :).

Tepat ketika saya hendak meninggalkan gedugn C, eh ada yang memangil-manggil nama saya, saya tolah toleh mencari-cari, ternyata yang memanggil saya adalah Pak Budihardja, yang rupanya menerima titipa kartu nama yang sy berikan ke mbak di bagian administrasi, yang sekarang menjadi dosen dan dulu pernah menjadi teman baik saya.

Kami sempat mengobrol sebentar sembari menemani beliau menuju ruang kelas dia mengajar di gedung E, itu tuh gedung yang penuh dengan bidadarinya wkwkwkwk… Saya juga sempat mendengarkan beliau mengajar sebentar.

Sembari mendengarkan beliau mengajar, pikiran saya melayang-layang membayangkan betapa luar biasanya teman saya dan juga dosen2 yang masih bertahan. Dengan segala keterbatasan yang mereka hadapi, dengan fasilitas dan peralatan yang menurut saya sangat minim, tidak sedikitpun tampak kegalauan pada cara mengajar beliau. Hal yang baru bisa dijalani jika kita memiliki cukup idealisme. Saluuuutttt untuk dosen2 FTJE yang luar biasa.

Setelah beberapa saat mendengarkan beliau mengajar, saya pelan-pelan beranjak meninggalkan kelas dan keluar menuju mobil yang saya parkir di depan kampus dengan langkah gontai.

Ketika mendekati area parkir, saya melihat tulisan DIJUAL SOUVENIR di Plaza Satya Wacana (ada plaza di dalam kampus lho :)) dan sayapun iseng2 masuk melihat-lihat, namun entah kenapa hati saya sangat galau. Saya memegang beberapa barang souvenir itu tanpa gairah, tidak ada kebanggaan yang saya rasakan lagi. I don’t know why.

Kenapa bisa begini? Kenapa FTJE jauh sekali tertinggal dibandingkan dengan kampus2 teknik lainnya? Kenapa kok saya merasa sepertinya kampus yang saya cintai dulu, sekarang seperti Tanah Abang? Kenapa kok saya merasa kampus saya sekarang lebih berbau komersial dibandingkan idealisme pendidikan ya?

Ahhhh…itu hanya perasaan sentimentilmu saja pak Guntur….

Maybe…but that what I felt.

Belum habis kemasgulan saya melihat nasib gedung C yang tidak ada kemajuan apa2, sesampai di parkiran, mata saya terbelalak melihat gedung megah menjulang tinggi dengan judul FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis). Alamaaakkkk…mewah amirrr….Memang sejak dulu Fakultas Ekonomi merupakan anak emas pimpinan Universitas. Sembari meninggalkan UKSW, saya terpekur kenapa kok tidak sekalian namanya dirubah menjadi UESW – Universitas Ekonomi Satya Wacana saja, pasti sipppp dehhhh…kalau begitu :).

Fiuhhhhh…..galauu…galauuu

64 thoughts on “FTJE UKSW, fakultas teknik terbaik…duluu…

  1. fakultas banyak diminati = banyak yg masuk = pendapatan gede = lebih diperhatikan supaya yg masuk tambah banyak = pendapatan makin gede… bahkan b*nus atau un*ar jg kaya gitu rasanya pak.. ntah yg masuk jurusan itu atas keinginan sendiri, keinginan ortu, keinginan pacar atau sekedar ngikut2..

  2. Wah.. membaca tulisan bapak saya jadi merasa gimana… gitu… hahaha
    Apakah benar FTJE yang sekarang jadi FTEK ini sedemikian terdegradasinya pak?
    Saya sejak awal sudah mantab untuk masuk ke elektro karena banyak mendengar kejayaannya.. tapi setelah membaca tulisan pak Guntur dan alumni2 lain tentang romantisme kejayaan jaman dulu jadi galau.. hahaha.
    Semoga saja masih ada kejayaan bagi kami angkatan baru…

    FTJE jaya sentosa, 612012010

    • Hi Evan, apakah kamu angkatan 2012?

      Sejauh apakah FTEK terdegradasi, mungkin kamu bisa menceritakan apa yang kamu peroleh sekarang dibanding dengan teman2 yang memilih jurusan yang sama di Uni lain.

      Saya berkeliling dari Uni ke Uni, untuk melakukan perekrutan bagi perusahaan saya dan client saya. Nuansa yang saya rasakan demikian ada. Sorry saya tdk bermaksud membuat kamu galau, but I have to tell the truth.

      Tapi tentu kalian harus optimis, mungkin kalian yang nanti mengubahkan FTEK menjadi spt dulu lagi.

      FTEK tetap Jaya kan 🙂

  3. “Haizz… apa semua orang yang tinggal di Salatiga tidak terpengaruh oleh waktu ya?? Makan apa sehhh…apa makan resistor, transistor & capacitor bisa bikin awet muda kali ya wkwkwkwk…”

    Mungkin “Memristor” pak .. still remember?

  4. Salut buat Pak Guntur 😉
    Walaupun sudah sukses & bepergian kemana-mana, tetep sempet mampir di kampus ^_^
    Jadi galau juga kalau baca artikel bapak 😀
    Saya juga mau tanya Pak, dari pandangan bapak, dulu Pak Budhiharja seperti apa ya?

    • Hi Adhit, saya suspect kamu juga mhsiswa FTEK, betul kah?

      Saya merasa belum sukses Adhit, nanti kalau apa yang saya tulis membuat kamu sukses, baru saya merasa sukses :).

      Siapapun juga, sesibuk apapun, jika ada kesempatan, pasti akan kembali menengok kampus yang membesarkannya.

      Maaf tuilsan saya membuat kalian galau. Semoga tulisan saya malah membakar semangat kalian disana, untuk membuktikan bahwa saya salah. Gitu dong :).

      Saya kenal pak Budi, dahulu sebelum beliau menjadi dosen, beliau adalah orang yang teramat santun, halus tutur katanya, tidak berapi-api seperti saya :), dan tidak neko-neko. Itu yang saya ingat dulu, setelah hampir 30 tahun, mestinya kamu yang bisa menceritakan bagaimana pak Budhi sekarang 🙂

      Salam

  5. Menarik melihat Gedung C ini, yg secara struktur masih spt yg dulu, hanya warna saja yg berbeda, dulu warna semen, ugly grey.
    Yg kedua, itu WC masih juga sama spt yg dulu, cuma saya sdh gak lihat diantara WC tsb dulu ada terminal untuk urusan telpon kampus, dulu tugas saya selalu membuka Box tsb, untuk keperluan para Boss tertentu, untuk melakukan perubahan out-going PTT line spy org tsb bisa dgn muda melakukan International Call dllsb…tugas tsb termasuk tugas rahasia, krn hanya org tertentu saja yg tahu….dan saya tetap memilih menyimpan rahasia tsb, krn manusia yg terlibat didalamnya masih hidup semua…..with due respect to them as a human being….

    • Pak/bu Masa Lampau :),
      Interesting mengetahui ada terminal telpun di WC itu, jaman saya saja sudah tidak ada, berarti tahun berapa tuh adanya box telp itu?
      Apa gak kangen nengokin kampus kita yang sekarang sudah tidak grey lagi, tapi orange mirip jeruk 🙂
      GBU

  6. Menarik juga apa yang sampeyan ceritakan Terakhir saya menengok ke FTE (jaman kita dulu disebutnya cuman FTE) adalah tahun 1999, jadi sudah 13 th yang lalu. Waktu itu memang belum semegah sekarang (gedungnya lho….dan bukan gedung FTE), cuman rasanya waktu itupun pamor UKSW sudah mulai merosot. Salah satu penyebabnya mungkin keributan yang pernah terjadi di UKSW entah pada tahun berapa itu (saya sudah lupa lagi) dan berbuntut dengan demo dan pemogokan dosen….. Rasanya sejak itu UKSW tidak pernah bisa mengembalikan kemegahannya dimasa lampau. Terlalu banyak orang baik yang hengkang dari UKSW dan mencari tenaga baru yang mau dikungkung di Salatiga tidaklah mudah.
    Pada jaman saya disana (periode tahun 1975 – 1979), kita mempunyai banyak dosen asing yang membuat kita semua kadang kalangkabut untuk mengerti materi pelajarannya. Beberapa dosen ini hanya berada di Salatiga untuk waktu yang singkat sehingga mereka biasanya tidak sempat belajar bahasa Indonesia seperti pak Theo. Periode waktu itu mungkin merupakan periode terbaik buat FTE, banyak perusahaan besar yang datang ke FTE khususnya untuk melakukan “direct recruiting” atau promosi, ini karena jasa para senior kita sebelumnya yang berhasil mencetak prestasi sangat baik diperusahaan tempat mereka membina karir. Mestinya reputasi itu masih bertahan hingga sekarang….. kalau lulusan yang dihasilkan memang mempunyai kapasitas yang baik. Tapi kalau dari apa yang saya baca dari tulisan Guntur diatas ini, kemungkinan itu mungkin agak sulit. Peralatan tua yang kelihatannya tidak pernah diremajakan bukanlah suatu titik awal yang bagus…. Sepintar apapun dosennya; kalau tidak ditunjang dengan perlengkapan yang mutakhir tentunya agak sulit untuk menghasil sarjana yang bisa bersaing dengan perguruan tinggi lainnya.
    Hanya saja, terus terang saya juga tidak bisa memberikan solusi yang terbaik untuk almamater kita ini. Saya sejujurnya sudah terlalu lama tidak berhubungan dengan UKSW untuk dapat memberikan usulan yang valid.

    Salam,
    DW, FTE’75

    • Hallo koh Djun, piye kabare.

      Waduh saya tersanjung sekali dikomentari oleh senior saya ini :). Dulu sempet ketemuan waktu di Toronto ya :). Bagaiman kabar cik Lely dan anak2? Semoga sehat2. Salam dari saya dan keluarga.

      Kejadian keributan ini setelah saya hengkang dari UKSW, sepertinya sekitar tahun 90 an, dimana banyak dosen top yang meninggalkan UKSW yang kehilangan idealismenya.

      Saya dan juga alumni tidak bisa berbuat apa2, jika pimpinan Uni tidak lagi memberikan perhatian yang secukupnya. Semoga suatu ketika ada angin baru bagi FTJE, yang lulusan2nya masih sangat diminati di berbagai perusahaan.

      Kapan mampir Jakarta, tinggal di rumah saya aja koh Djun? Sekalian jalan2 nengok Salatiga, masa gak kangen sih? 🙂

      GBU

      • Halo Guntur, Sudah lama nggak kontak ya. Tulisan dan informasi kamu di blog itu memang bagus dan lengkap. Selama ini kita memang jarang dengar cerita mengenai FTE dan apa yang kamu posting itu merupakan yang pertama yg saya temukan.

        Kami sekeluarga baik aja. Nggak terasa sudah hampir 13 th kita pindah ke Canada lho……Gimana dengan rencana jaman dulu mau pindah ke Canada ? Sudah dibuang semua kelihatannya ya. Saya masih balik ke Indo buat ngurusi business yang masih bisa dijalankan sampai sekarang. Sampai sekarang rumah di Puri Indah juga masih ada, jadi kalau ke Jakarta ya tinggal disana. Yang nempati rumah itu adik-ku. Nomor HP kamu berapa ya ? Coba nanti kalau pas di Jkt bisa tak kontak dan kita bisa ketemuan kalau kamu ada waktu buat ngobrol. Anak sekarang sudah kuliah semua mestinya ya.

        Best wishes, Djunaedi

        2012/9/23 Guntur Gozali

        > ** > Guntur Gozali commented: “Hallo koh Djun, piye kabare. Waduh saya > tersanjung sekali dikomentari oleh senior saya ini :). Dulu sempet ketemuan > waktu di Toronto ya :). Bagaiman kabar cik Lely dan anak2? Semoga sehat2. > Salam dari saya dan keluarga. Kejadian keributan ini setelah s” >

        • Tq atas komentarnya koh Djun, cuma iseng2 aja berbagi informasi. Tadinya gak rencana mau nulis mengenai hal ini, tapi mungkin banyak yang rindu kampung halaman dulu 🙂

          Rencana kesana sudah pupus diterbangkan angin wkwkwk…kaki dan tangan sudah terikat disini nih susah mau minggat :). Jadi ya biar tetap jadi wong ndeso wae wkwkwkwk…

          Anak2 dua di US, satu di Jakarta. Ivan sudah tahun ketiga di UC Berkeley ambil Electrical Engineering n Computer Science, Calvin di Diablo Valley College, Pleasant Hill, baru semester pertama, sedangn paling kecil si Steven di Jakarta masih Sec 3.

          Mengenai hp, boleh minta email koh Djun, nanti saya emailnya. Ini email address saya: ggozali@hotmail.com. Yuk kita ngopi kalau pas di Jakarta :).

          Salam buat semua ya.

  7. Membaca ttg FTJE membuat sy teringat obrolan (libur lebaran kmrn) dengan salah seorang dosen muda (alumni FTJE jg) yang terhitung baru bergabung menjadi pengajar disana.
    Byk keprihatinan ttg kurangnya fasilitas disana dan pilih kasih pihak univ thd FTJE.
    Termasuk dosen2 muda yang desersi saat mendapatkan beasiswa di LN (mgkn krn iming2 karir dan materi yg lebih baik) pdhl FTJE sendiri msh kekurangan tenaga pengajar.
    Sebenarnya saat sy masuk dsana (2001), kondisi FTJE sudah spt yg p Guntur gambarkan. Namun kalo menilai hasil pendidikan dgn melihat karir para alumni yg sy kenal (98,99,2001), bs dikatakan kualitas nya dpt disejajarkan dgn alumni ITB or UGM yg memiliki nama besar.
    Bahkan sekitar thn 2007 sy pernah ngobrol dengan salah satu recruiter Halliburton,dia mengakui untuk jateng, FTJE-UKSW adalah satu2nya univ swasta yg diundang secara khusus untuk proses recruitment yg biasanya diadakan di UPN veteran jogja. Mereka menganggap alumni FTJE memiliki kualitas yg baik sbg instrumentation engineer (sy tidak tau apakah hal ini msh berlangsung smpe skrg).

    Kesimpulannya, dengan fasilitas yg minim dan di anak tirikan oleh univ, FTJE msh mampu mencetak org2 yg mampu bersaing dengan lulusan2 teknik lainnya.

    Mudah2an FTJE suatu saat bs bangkit lg menjadi yg terbaik.
    Viva FTJE 🙂

    Note: Tulisan ini hanyalah pendapat dr seorang alumni muda FTJE yg msh minim pengalaman. Bagi jebolan2 FTJE yg pnya pandangan yg berbeda monggo di share 🙂

    • Sharing seperti ini penting, sebenarnya saya berharap banyak sharing dari alumni2 yang lain, siapa tahu sampai ke pimpinan Uni yang memang dari dulu sudah dicap tidak berlaku fair terhadap FTJE.
      Saya setuju dengan demikian minimnya fasilitasn dan perhatian, jebolan FTJE masih tetap diperhitungkan, bagaimana jadinya jika diberikan perhatian dan fasilitas yang mumpuni.

      Tq for your sharing Edo

      • Saya juga alumni FTJE angkt 2003 – 612003110..senada dengan pandangan Vilfredo bahwa lulusan FTJE juga tidak kalah dari lulusan2 univ lain, saya terbiasa bersaing dengan lulusan ITB,ITS,UGM, UI di tempat saya kerja akan tetapi saya tetap bisa meraih yg terbaik diantara lulusan univ terbaik diatas.
        Buat saya, betul apa yg dikatakan Pak Guntur bahwa semangat dan idealisme dari dosen2 FTJE (sperti Pak Budi,Pak Dalu,Pak Mathias,Pak Liek W,dll) yg sangat menginspirasi saya dalam bekerja.
        Khusus untuk Pak Budi, beliau adalah dosen pembimbing saya dan pengalaman saya sangat berkesan sekali karena saya pernah meraih nilai ‘full point’ pd saat dosen pengajarnya beliau.
        Salam kenal kepada Pak Guntur, I can be reached on futsal_bad@yahoo.co.id.

        Sampai tua2 FTE Jaya…

        Okky

  8. Sebelum komentar, sy mau pastikan dulu, apakah Pak Guntur angkatan ’83 ?
    Koq foto-fotonya tak muncul pada monitor saya ya?

  9. Bukan begitu pak, cuma mau pastikan apakah kita ada di “masa” yang sama saat di FTJE karena pendapat saya justru akan banyak yang berbeda 180° dengan yang bapak tulis.
    Salam kenal pak, walau hanya beda 1 angkatan (saya ’84) rasanya kita belum pernah saling kenal, dan nama Gozali yang saya kenal hanya Djanoko Gozali (angkatan ’85) & Chandra Gozali (yang nulis Auvi) wkwkwkw….

    • Saya bisa maklum, dulu dan sekarang, saya bukan siapa2 :). Janganlah dibandingkan dengan Djanoko dan Chandra Gozali yang public figure :).
      Tapi sekarang saya menagih komentarnya nih 🙂

      • Bukan gitu pak, dengan persaingan yang keras saat itu, maka yang jadi perhatian utama dan terkenal saat itu hanyalah yang nilainya A & E.
        Mungkin bapak selalu masuk zona aman dan gak pernah ngulang mata kuliah jadinya kurang dikenal angkatan yang lebih baru.

  10. Dan hal ini terbukti benar, dari 85 mahasiswa baru (segelintir mahasiswi, kalau tidak salah hanya 8), setelah 4 semester, tinggal separuhnya, separuhnya lagi gugur di medan perang wkwkwkw….
    –> Benarkah data ini sahih?
    Angkatan saya (±60 mahasiswa/i), ky-nya hanya sedikit deh yang gugur di medan perang.

    Sistim penilaian yang dianut FTJE merupakan nisbi murni, alias menggunakan Normal Curve yang penentuan A, B, C, D dan E nya berdasarkan atas nilai rata2 kelas.
    –> Menurut saya, sistem nilai seperti ini banyak kelemahannya, karena bisa bikin sebagian mahasiswanya malah jadi tambah malas setelah tahu aturan mainnya.
    Boleh dikata hanya dalam 1 semester saja langsung ketahuan siapa yang sakti dan sebaliknya.
    Dengan mengambil mata kuliah berbarengan dengan para mahasiswa papan bawah (para martir yang berpotensi mendapat nilai E), hati sudah merasa aman wkwkwkw….
    Andaikan tak pakai nilai nisbi, dengan nilai rata-rata yang saya peroleh saat itu malah tak yakin bisa lulus karena selain mata kuliah umum (ajang mencari A), rasanya hanya mata kuliah dari pak Thomas saja yang relatif mudah.

    Sistim yang kejam ini membuat mahasiswa saling bunuh, dan berkelompok2. Membuat kami menjadi egois namun juga sangat percaya diri, atau lebih tepatnya sombong.
    –> Yang ini saya setuju.
    Saya sendiri merasa sering dirugikan karena sendirian melawan kelompok yang saling kerjasama disaat mengerjakan soal tes.

    Sembari bas bus bas bus merokok, mereka mendengarkan dosen memberikan kuliahnya
    –> Waktu kuliah Elka Linier di gedung E dulu, masih sangat jelas dalam ingatan saya, Nefo’83 (duduk di belakang saya) yang mendengarkan kuliah sambil merokok buru-buru matiin rokoknya saat disuruh keluar ruangan kuliah oleh pak Digno.

    • Data itu valid sekali, super valid :).
      Ketika itu rasanya tidak ada kesempatan untuk memilih kelas yang ringan atau berat, kecuali kelas umum. Semua kelas kudu dianggap berat, kecuali mau cari mati :).
      Oooo pak Digno memang kurang gaul wkwkwk…dosen2 lain mana peduli :). Omong2 pak Digno msh adakah?

        • Ooo masih ya? Wah luar biasa ya pak Digno, sudah umur berapa ya beliau?
          Salam dari Angkatan 83 ya, jangan bilang dari saya karena beliau pasti tidak akan ingat :).
          Salam juga buat angkatan kamu ya Rachel, semangat ya! Semoga kalian bisa mengembalikan kejayaan FTJE 🙂

          • hehehe iyaa hebat kok pak digno, masih semangat juga ngajarnya:D
            wah kalo umurnya aku jg kurang tau…mungkin sepantaran pak harsono, sekitar 60an gitu…hehehhe:D
            siaaaappp:D

            • Hi Rachel, sorry baru response sekarang. Seingat saya komentar kamu sudah saya reply, tetapi ternyata tidak terpost :).
              Saya rasa usia pak Digno dan pak Harsono sudah 70 lebih, sudah senior, jadi tolong jangan banyak dikerjain ya wkwkwk…ntar kualat lho 🙂

  11. Turut berduka cita…

    Mata kuliah yang hanya muncul tiap 2 semester sekali emang tak bisa dihindari… tapi kadang-kadang tiba-tiba dibuka semester berikutnya karena banyak peminat (banyak yang tak lulus).
    Kalo sudah begini nilai D bisa diulang dengan target minimal jadi B.
    Seingat saya dari 3x mengulang, hanya 1 yang dapat B, sisanya A.
    Bahkan saat UNC dulu, nilai B juga saya ulang karena tanpa resiko (diambil nilai tertinggi), walau akhirnya tak bisa hadir karena berbarengan dengan panggilan tes perusahaan.

    Untuk Pak Digno belum dapat khabar. Beliau & TTH adalah dosen pembibing skripsi saya.

    • Wah saya jadi menyesal tidak sempat mengulang dulu :). Harusnya yang jelek2 diulang ya, biar IP nya kinclong :). Sayang sudah terlambat, kalau saja sempet memperkinclong IP, mungkin nasib saya bisa lebih baik :).

      • Belum tentu yang IPnya kinclong nasibnya mengikuti.
        Kalo saya ngulangnya kepaksa, soalnya nilai rata-ratanya dah mepet, dan ada yang E lagi.
        Selain itu juga liat2 mata kuliah apa, kalo GEM misalnya, dapat nilai D sudah bersyukur, suruh ngulang mah amit-amit, bisa-bisa malah jadi E wkwkwk…

        • Iya saya setuju, IP kinclong tidak memberikan jaminan bakal sukses, malah banyak yang IP nya amburadul yang sukses ya :). Karena justru yang IP nya amburadul ini yang pandai bergaul, pinter cari proyek, pinta slusap slusup sana sini ya wkwkwk….
          GEM = Gelombang Elektro Magnetik ??? Pelajaran dewa yang sampe sekarang tidak saya mengerti apa isinya wkwkwk…Dulu saya diajari pak Liek Wilardjo, duhhh…beliau belum omong saya sudah mabok wakakakak..

          • Bukannya testnya open book dan boleh bawa buku sekarung? wkwkwkw…
            Mana ada di dunia ini koleksi nilai cuma 13 dari 100 bisa lulus?
            Sudah sadarkah kalo pake sistem nisbi murni sangat menguntungkan? ;-p

            • Kalau GEM, mau bawa buku se Gramedia juga percuma, hasilnya sama saja. Saya rasa sebagian besar teman2 saya dulu juga mengalami hal yang sama, selesai test selalu dengan sumpah serapah. Sy jadi bertanya-tanya jangan2 dosennya yang goblok ya wkwkwkwk…

              Saya menganggap sistem nisbi ini baik, saya lihat dari segi positivenya, karena hidup kita juga pada kenyataannya juga nisbi. Kita harus berjuang sebaik mungkin, strive for excellent kata Om William pendiri Astra, tidak pernah puas, sampai nanti Tuhan mengatakan lain.

              Sistim ini sebenarnya saya terapkan secara penuh di training internal saya. Memang ada eksesnya, tetapi menurut saya masih dalam taraf normal, karena saya juga mengajarkan Basic Mentality untuk selalu sharing and care for each other.

              Namun saya beberapa kali mengalami kejadian dimana anak yang IP nya 3.9 sekian, kalah dibandingkan dengan anak yang IP nya dibawahnya. Bukan karena masalah intelectual, semata hanya karena yang satu tidak suka IT, yang satunya gila IT.

              Anak yang pandai, akan bisa menyelesaikan persoalan apapun yang kita kasihkan ke mereka, makanya meskipun misalnya mereka terpaksa memilih jurusan IT, mereka tetap berhasil secara akademis. NAMUN, pada saat pekerjaan harus diselesaikan pada tekanan yang berat, HANYA yang pinter DAN “like” yang akan sukses.

              Mungkin itu dasar pemikiran saya yang bodoh ini. Mohon pencerahan kalau saya salah 🙂

            • Mau pake sistem penilaian nisbi murni ato patokan (baiknya kolaborasi antara patokan dan nisbi musni .. biar puyeng sekalian mahasiswanya) tapi kalo IP-nya ancur di Indonesia secara persyaratan administrasi HRD kadang sudah dilempar dulu lamarannya ke tong sampah sebelum bisa interview maupun tes yang lain …..
              Kapan perusahaan di Indonesia bisa berubah metode perekrutannya .(syarat administrasinya di nomor 2-kan) … pernah aku kasih tes anak lulusan PT swasta dari jakarta .. IP 3,xxx … saat diinterview meyakinkan .. tapi pas dikasih tes praktek sederhana sesuai bakat minatnya ancur parah dan selalu banyak alasan …. hehehe …
              Semoga lulusan FTJTE meskipun IP ancur tapi tetep bisa bersaing didunia kerja dan disegani saat masuk di perusahaan … jangan sampai fakultas obral nilai ….

              Salam .. Iwan – 6195043 …. wah nik yang sekarang dah 9 digit ya …

            • Hallo Iwan,

              Memang secara umum, perusahaan2 menyamaratakan persyaratan penerimaan pegawai mereka dengan IP di atas patokan tertentu.

              Namun perusahaan kami yang telah melayani beberapa perusahaan besar di dalam melakukan perekrutan, berani mengambil resiko dengan membedakan patokan IP untuk Uni2 tertentu. Tentu karena kami sudah puluhan tahun merekrut sehingga client kami percaya atas masukan kami.

              Kami pernah melakukan testing di salah satu Uni, terhadap 120 lulusan, dengan IP rata2 3.43. Kan luar biasa murah IP disana, lha kalau rata2 3.43 berarti patokan C harusnya ya 3.43 di bawah itu D, di atasnya B.

              Hanya saya tidak semua recruiter berani mengambil resiko dan menyarankan ke clientnya untuk mengambil mahasiswa bagus meskipun IP nya di bawah patokan yang mereka tetapkan.

              Itulah kenyataan hidupnya, memang menyedihkan.

              Salam,

  12. Boleh dikata kebanyakan yang lulus GEM hanyalah karena kebaikan hati beliau, dan nilai yang didapat cuma ongkos nulis doank wkwkwk…
    Saya rasa pak Liek sudah melupakan satu hal yang menjadi tujuan dari belajar-mengajar itu sendiri.
    Kalau hanya untuk pamer “kesaktian” buat apa?
    Tulisan beliau di Kompas juga bikin saya manyun. Masih ingat kakas…?
    Selama mayoritas murid tak bisa memahami ilmu yang diajarkan oleh gurunya, boleh dikata proses belajar-mengajar gagal.
    Harusnya pengajar cepat sadar dan mencari cara lain atau mengubah metodenya, agar murid-muridnya menjadi tertarik & mau belajar untuk mengoptimalkan kemampuannya.

    Setuju bro, sepandai apapun orang kalau tak punya passion, jika menghadapi problem berat akan lebih mudah putus asa. Bahkan sering kali dikalahkan oleh orang biasa yang tekun belajar dan punya kemauan & usaha yang keras.

    • Saya setuju, kalau secara ratat2 murid2nya yang tidak bisa menangkap apa yang diajarkan, nilai2nya jelek2, sebenarnya yang bloon ya guru/dosennya. Mestinya sejak dulu bercermin diri, dan memperbaiki cara mengajar :).

      • masih teringat ketika sedang TAS GEM. Pak Liek sudah pulang dan ujian hanya ditungguin oleh sopirnya. Karena ada yang tidak begitu jelas dengan pertanyaannya ada salah satu mahasiswa mengangkat tangan dan mendekatlah sopir pak liek tersebut. Mahasiswa ini bertanya kepada sopir pak Liek. Dan dengan lancar sopir pak Liek tersebut bisa menjawab pertanyaan mahasiswa ini.
        Kalau sopirnya Pak Liek itu hebat, bagaimana dengan pak Liek sendiri??
        Itu sopir lho…. Pak Liek-nya sendiri bagaimana???

  13. i used to study at FTJE around 1990. Left there due to the strike & demo. Transferred to another uni overseas. When I was in FTJE i felt the same way as most student there….pride (proud of one self i should say), always thought we’re the best, thought we’re the one with the highest standard/curriculum with a killer marking system.

    Once i studied somewhere else, it turned out that we valued our-self too high (inflated ego). It quickly became evident that Electronics/electrical engineering everywhere is always a difficult field to study =) GEM & DSP are among the notoriously hated subjects.

  14. dulu ada dosen pak theo bushkom rumahnya di Jl. diponegoro. Kalo boleh tahu, kl ada info, minta donk email atau telpon anak-anaknya. Dulu kami tetangga, teman 1 sekolah. thanks bro. GBU

  15. Hi…6197045 ijin meninggalkan jejak ya

    Foto2 di atas nyaris sama dengan yang saya ambil 2008 yg lalu, hanya koleksi saya lebih lengkap ya…saya berhasil motret lab ‘kandang pitik’ skripsi di belakang, aduuuh berantakan abis, bau nya khas pasar daripada lab para pecandu GEM (hihi..) berkreasi.

    Alat di dalam juga masih yang itu2 juga, dan prediksi saya kisah ga dapet alat apapun waktu skripsi saya dulu bakal terulang di era ini… 😦
    Dulu saya memilih bersikap bodo amat ga dapet alat, yg penting segera keluar dari neraka nisbi yang bikin IP ku 2 koma selamat pagi…haha
    Minjem dari temen satu ke yg lain jadi solusi ampuh, meski mungkin yang dipenjemin alat mungkin anyel juga karo polahku yg rada kurang tau malu, semua dilakukan demi segera keluar dari C107.

    Banyak kenangan di sana… Ngelus dada juga kok alat jaman Mpu Tantular begitu masih aja diwariskan dr generasi ke generasi, Minat mahasiswa yg daftar turun terus…mungkin karena para org tua baca blog ini…hahaha
    Yang masih kuliah disana, saran saya sering2lah nongkrong di kafe rindang, udara dan auranya jauh lebih sehat dan hightek drpd lab skripsi…hihi.. 🙂
    Berteman akan berguna kelak saat sudah nyemplung di dunia kerja, drpada marah2 soal kondisi gedung, lab, mitos anak tiri, dosen muda pada keluar,dsb,dsb…
    FTJE mau tetap ndeso begitu ya biarin, yg paling penting grap your future in your own way…salam sukses selalu dari saya.

  16. Wew ptulisan yang menarik om Guntur 😀
    Melihat tulisan ini semakin memotivasi saya sebagai mahasiswa FTEK untuk berbuat lebih agar FTEK tetap maju. 🙂
    Salam dari junior FTEK angkatan 2009 622009005 😀

  17. Maaf pak, sy salah tempat sebelumnya dengan mengirimkan reply sy di halaman “About Me”.

    Terima kasih sebelumnya buat tulisannya Pak Guntur. Menurut saya salah satu kriteria keberhasilan fakultas dalam hal mendidik adalah berapa persen lulusannya bisa diterima bekerja di perusahaan-perusahaan besar dan bonafide. Untuk yg satu ini memang 10 tahun terakhir sy amati persentase lulusan yg bekerja di perusahaan bonafide cukup kecil. Akan tetapi ada faktor eksternal yang cukup berpengaruh, yaitu keengganan perusahaan2 bonafide untuk merekrut lulusan univ. selain univ. negeri ternama atau univ. swasta kondang semacam Trisakti. Apalagi jika belum pernah ada lulusan elektro UKSW yg bekerja di situ.

    Sebenarnya sebagian ( tentu tidak semua ) dari lulusan kita sangat tangguh dalam bersaing di dunia kerja, asal saja diberi kesempatan oleh perusahaan bonafide ( di-hire ). Salah satu perusahaan bonafide yg secara rutin masih memberi kesempatan kepada lulusan elektro UKSW adalah perusahaan di mana sy mencari nafkah sekarang, sebut saja HAL. Dalam 7 tahun terakhir, setidaknya ada 7 engineer lulusan elektro UKSW yg direkrut. Dari 7 engineer, 4 orang berhasil menempati ranking #1 saat training ( yg di sini disebut school ) dari perusahaan. Dua orang ranking #2, dan 1 lagi kurang beruntung masuk 3 besar, di periode masing2. Padahal, school tsb tidak hanya diikuti engineer2 dari Indonesia yg adalah lulusan UKSW+UI, ITB, UI, dan ITS, tapi juga dari banyak negara, sebut saja USA, Canada, India, dsb. Bahkan salah satu lulusan kita, angkatan masuk UKSW tahun 2003, adalah salah satu engineer yg sangat disegani di sini, krn banyak menyumbang ide dalam hal sistem database di perusahaan, dan sudah berkali2 mendapat penghargaan krn ide idenya.

    Yang menjadi masalah adalah bagaimana supaya supaya perusahaan bonafide lain bersedia memakai jasa lulusan elektro UKSW. Sy pernah berbincang dengan HR saya, yg pernah bekerja di perusahaan sejenis yg lain. Beliau mengatakan bahwa perusahaan tempat dahulu bekerja biasa melakukan riset tentang pemeringkatan universitas di Indonesia serta prestasi2 jurusan yg diinginkan. Kalau sudah begini, tentu saja kita harus tahu diri. Dari berbagai pemeringkatan dari berbagai lembaga, nama UKSW tidak pernah menghiasi daftar 10 besar nasional. Soal prestasi, terkesan biasa biasa saja, karena yg banyak ditonjolkan bukan prestasi akademik, tapi prestasi ekstra kurikuler seperti seni dan olahraga yang tentu saja relevan dengan kebutuhan perusahaan. Kalau tujuannya untuk bisa menembus perusahaan2 bonafide, tentu saja tolok ukur kita adalah 4 besar PTN Indonesia ( UI, ITB, UGM, ITS ), dan bukanlah level Jawa Tengah seperti UNDIP, UNS, UNIKA, dsb, krn lulusan univ ini juga susah payah menembus dominasi lulusan the big four tadi.

    Dalam hati, saya masih optimis nama elektro UKSW bisa kembali diperhitungkan, dengan mengingat sejarah panjang dan prestasi emas di masa lalu. Apalagi, lulusan2 elektro UKSW sejak pertama berdiri hingga sekarang banyak yang sukses di bidang yg digeluti masing-masing. Sudah banyak yg bergelar PhD dan berkarir sebagai pengajar di universitas kaliber dunia, tak sedikit pula yg memegang posisi strategis di perusahaan fortune 500, belum lagi yg telah berhasil menjadi pengusaha-pengusaha sukses, seperti bapak. Saya memimpikan gerakan massal ALUMNI GIVE BACK, di mana seluruh atau setidaknya sebagian besar alumni bersatu, urun rembug dengan fakultas mencari terobosan-terobosan jangka pendek dan panjang untuk mengangkat kembali nama elektro UKSW, bahkan lebih tinggi dari legenda masa lalu.

    Dari internal sendiri, sy memiliki sedikit kegundahan tentang sistem pembelajaran di UKSW.
    Yang pertama, mahasiswa tidak dilatih untuk bisa mengemukakan ide secara verbal dengan percaya diri. Dari pengamatan saya, lulusan kita kurang memiliki kemampuan bertutur yang baik dalam mengemukakan ide, karena memang tidak dilatih untuk itu. Kebanyakan hanya berkutat dengan TR, praktikum, yang adalah benda mati, tanpa peduli untuk mengembangkan kemampuan verbal. Yang penting TR/praktikum jadi, sudah cukup, tidak perlu banyak bicara. Memang betul, yang penting adalah kerja, dan tidak banyak bicara. Namun, di beberapa perusahaan bonafide, walau untuk posisi engineer sekalipun, sangatlah penting yang namanya kemampuan verbal itu. Ini adalah salah satu pengganjal juga kenapa lulusan kita kandas di tahap seleksi beberapa perusahaan bonafide yg memang menetapkan kriteria kemampuan verbal sebagai pertimbangannya.
    Kedua, adalah fakta bahwa akhir-akhir ini peminat elektro UKSW menciut, yang akibatnya adalah proses seleksi yang tidak terlalu ketat, demi mendapatkan jumlah mahasiswa baru yang cukup. Jika dibanding 4 besar PTN Indonesia, kita akan tahu kalau kualitas input kita sangat jauh dibanding mereka. Akan tetapi ini bukanlah akhir dunia, kita masih bisa mengejar mereka dengan cara memperbaiki sistem pembelajaran, sehingga dalam masa 4 atau 5 tahun perkuliahan, lulusan kita yg saat masuk kuliah biasa-biasa saja, setelah lulus bisa bersaing. Tidak ada salahnya diterapkan sistem pembelajaran yg lebih bersifat menuntun tapi tegas, tidak dilepas begitu saja. Untuk menuju ke sini, tentu saja dosen dan asistennya harus memiliki hati melayani, bukan hati untuk menunjukkan diri bahwa mereka lebih cerdas. Tujuan akhirnya sederhana, mahasiswa yg dinyatakan lulus mata kuliah yg diambilnya paham benar tentang materinya. Seandainya mahasiswa yang tidak paham materi itu drop out atau memutuskan mengundurkan diri dari elektro UKSW karena merasa tidak mampu, itu bagus. Tapi kalau mereka tetap melanjutkan studinya dengan segala ketidakpahamannya dan kemudian lulus, ini yg bisa merugikan nama elektro UKSW sendiri. Bukan tidak mungkin, jika perusahaan yg kebetulan menyeleksi lulusan ini untuk menjadi calon karyawannya dan menemukan bahwa lulusan kita ini tidak tahu apa apa, mereka akan mengecap lulusan elektro UKSW berkualitas rendah. Rusaklah susu sebelanga karena nila setitik.
    Dari saya mungkin itu saja yg bisa sy bagi Pak. Maaf kepanjangan, semoga tidak membosankan. Btw salut buat putra Pak Guntur yg bisa kuliah di UC Berkeley, top 3 dunia di bidang electrical dan computer engineering. Semoga anak sy kelak juga bisa ke sana . God Bless Us..
    B01 – 612001163.

    • Hallo mas Wira, sorry for this late reply, karena kesibukan akhir tahun.
      Terima kasih atas komentarnya yang sangat detail.
      Sebenarnya kami secara rutin melakukan recruitment ke kampus2, bahkan setiap 4 bulan kami berkeliling merekrut fresh graduate. Kami sudah bekerja sama dengan hampir 30 Uni swasta di Indonesia, salah satunya FTJE UKSW. Namun dari tahun ke tahun semakin sedikit kandidat yang kami peroleh, dan akhirnya beberapa waktu terakhir sudah tidak dikunjungi lagi oleh team rekrutment kami.
      Jadi ada dua: pertama kandidat yang sangat minim, kedua tidak lolos seleksi.
      Sedangkan mengenai kepedulian alumni, sebenarnya setelah munculnya tulisan saya ini, ada gerakan dari alumni2 senior untuk menggalang gerakan membantu FTJE, tetapi sepertinya tidak berjalan dengan baik, bukan karena faktor alumni tetapi tanggapan dari Fakultas sendiri. It take two to tango, kata orang.
      Saya sendiri sangat berharap munculnya lulusan2 FTJE di perusahaan saya, karena sejauh ini, yang berhasil menembus Jakarta, rata2 gigih2. Dan memang betul kurang bisa menjual diri :), tidak pandai presentasi, mengemukakan initiatif dll.
      Semoga tulisan saya membuat Fakultas dan juga adik2 FTEK terbakar semangatnya untuk menjadi lebih baik lagi.
      Amin.

  18. Menyimak pernyataan diatas, memang FTJE uksw kurang banyak mengalami perubahan terutama di peralatan lab. namun menurut saya itu cukup untuk membangun dasar yg kuat dalam bidang elektro,sbgai contoh MKul.sinyal sistem,dari situ kta dpt menganalisis banyak hal tntang sistem apapun dan perlengkapan yg ada mnurut sya cukup. Contoh lain lab. antena cukup peralatannya hanya jarang mahasiswa yg mempraktekan teori yg didapat,sehingga alatnya tdk ada pengembangan/hasil,sehingga terkesan itu2 saja.
    Menyimak pernyataan mas wira mengenai pengajaran dri dosen ttg kemampuan verbal,sebenarnya SUDAH ada dan masih ada,cuman byk mhswa yg takut unt mengambil dosen tsb.
    Menurut sya unt menarik perusahaan bonafit unt hire lu2san FTJE UKSW berawal dri pemimpin yg yakin bahwa lulusannya sangat mumpuni dan juga menstandardisasi lingkungan FTE & didukung oleh msyarakat Elektro Uksw (sbnarnya hmpir, cuma tdk didukung oleh msyrkt Fte). Mmg ada resiko yg g kuat ‘DO’ & sedikit mhsiswanya dari proses standardisasi,tpi itulah perubahan.

  19. Halo pak Guntur Gozali,
    perkenalkan, saya Eduard Royce FTEK 2009
    geli juga rasanya membaca postingan bapak bahwa ternyata peralatan praktikum yang kami gunakan selama ini SAMA seperti 29th yg lalu.
    Dari sudut pandang saya pribadi, memang secara finansial dan teknologi FTEK kalah dengan fakultas teknik lain, tp mental mahasiswanya sangat berbeda dengan lulusan2 yang dibekali teknologi canggih.

    Mahasiswa FTEK UKSW itu pekerja keras, mau belajar hal baru, dan ga menyerah pada keadaan (ibaratnya kalo udah mau didorong ke jurang sama orang lain, tampar dulu orang yang dorong, baru deh kita rela jatoh ke jurang hehe), dan hal ini bisa dilihat pada prestasi2 dan kegiatan yang berusaha dilakukan oleh mahasiswanya (tim robot yang bisa meraih juara 2 nasional dengan segala keterbatasan dana, lomba programming dari C Computer Club yang berskala nasional, bahkan 2 mahasiswa FTEK jadi juara 1 dan 2 saat ikut lomba programming dari Fakultas Teknologi Informasi).

    jadi, yah, kalo dibandingkan secara materi memang kalah, tp kualitas mahasiswa/lulusan/alumni tetap yang menentukan kualitas fakultas nantinya :D. Jadi jangan sedih yah pak walau fakultas kita masih sama, yang penting FTJE TETAP JAYA dan tidak lekang oleh waktu 😀

    ohya, pak, saya sekalian minta ijin ambil beberapa foto gedung C dari blog ini yah.
    foto-foto bapak akan saya tampilkan dalam slide presentasi pengenalan UKSW dan FTEK di Taiwan untuk kegiatan International Industrial Academic Leadership Experience pada tanggal 8 Juli 2013 besok.

    Terima kasih sebelumnya pak Guntur Gozali, sukses selalu, GBU.

    • Hi Eduard,

      Saya senang sekali membaca komentar kamu yang penuh dengan optimisme.

      Memang dari dulu, selain pengajarnya yang oye, kualitas mahasiswanya juga nomor satu. Itu yang membuat FTJE (dulu namanya demikian) terkenal seantero Nusantara, meskipun statusnya belum juga “terdaftar” :).

      Semoga semangat ini tetap terpelihara meskipun sekarang kondisinya dibandingkan dengan FT lain jauh tertinggal. Namun semangat saja tentu tidak cukup mengatasi kompetisi yang semakin keras di dunia luar kampus, perlu juga dukungan Universitas dan lembaga2 luar negeri yg dulu banyak membantu. Semoga terjadi perubahan yang cukup besar di FTEK tercinta.

      Untuk ijinnya, silakan digunakan sesuai kebutuhan Eduard.

      Salam,

  20. Halo Pak Guntur,

    Terima kasih atas foto-foto dan gambaran FTJE tahun 80an. Selisih 23 angkatan antara kita rupanya memberikan perbedaan yang cukup besar antara dulu dan semasa saya kuliah. Saya sendiri sempat mengalami masa-masa dimana gedung FTJE dicat ulang dengan warna orange di sisi luar dan hijau, dll di sisi dalam, masa-masa dimana FTJE/FTJTE berganti menjadi FTEK mengingat setelah sekian lama jurusan di FT tak kunjung bertambah seperti ide ketika FT didirikan, masa-masa pembuatan “polisi tidur” di depan pintu masuk gedung C kerena takut dipakai “kebut-kebutan” air banjir masuk ke gedung C, masa-masa sistem trimester berganti menjadi semester kembali dan akhirnya secara sistematis dipaksa kembali ke trimester, masa-masa dimana muncul nim program studi sistem komputer, masa-masa papan bertuliskan moto “candradimuka rekayasa elektro teknika” diganti menjadi running text, masa-masa dimana OHP diganti dengan LCD projector, masa-masa dimana komputer single core diganti menjadi dual core, masa-masa dimana MCS51 digusur oleh AVR, masa-masa di mana XT (experimental) FM harus gulung tikar, dan masih banyak lagi. Yah sebenarnya banyak perubahan dan penambahan sana-sini meski lebih banyak di bidang IT mengingat sekarang ini popularitas bidang elektronika tergusur oleh adik seperguruannya yaitu IT.

    Mengembalikan (atau tepatnya membangun kembali) kejayaan FTEK dalam konteks kekinian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan baik dari internal maupun eksternal mengingat FTEK menyandang gelar sebagai bagian dari Universitas KRISTEN Satya Wacana. Jika saya membaca catatan para sesepuh yang sempat saya temukan, UKSW didirikan atas dasar kerinduan/kepedulian gereja-gereja di Jawa akan pentingnya pendidikan di Indonesia demi kemajuan bangsa pasca kemerdekaan RI dan waktu itu yang dipandang perlu adalah mencetak guru-guru untuk mengajar generasi muda. Pendidikan yang dimaksudkan mencakup ilmu, iman, dan budi pekerti. Lalu pada perkembangannya, didirikan fakultas-fakultas lain termasuk FTJE. FT sendiri muncul mengingat pada waktu itu dirasa perlu untuk mengembangkan industri dan jurusan elektro dipilih karena belum ada di Jateng. Oleh karena itu, untuk membangun kembali kejayaan FTJE/FTEK harus didasari kepedulian dan kasih pada sesama, kerinduan untuk membangun masyarakat yang lebih sejahtera melalui pendidikan dan di situ perlu adanya persatuan, kebulatan hati dari seluruh elemen yang bersepakat untuk membangun FTJE/FTEK.

    Secara umum, dunia pendidikan sendiri telah berbeda dari awal ketika UKSW atau FTJE didirikan. Pada masa itu pendidikan adalah bidang yang lebih condong ke arah sosial tetapi saat ini pendidikan adalah komoditas bisnis dimana pendidikan tidak semata untuk membantu peserta didik memperoleh dan mengembangkan ilmu tetapi juga untuk memperoleh keuntungan selain untuk menyebarkan paham-paham tertentu. Kalau toh ada sekolah yang masih murni berbasis pelayanan dan aktifitas sosial pasti akan tergencet oleh sekolah-sekolah elit dengan tarif masuk yang dahsyat. Dan ini juga membuat sekolah-sekolah berlomba memberikan “pelayanan” seistimewa mungkin bagi para peserta didiknya bahkan dengan mengabaikan esensi pendidikan dan pengajaran itu sendiri. Sekolah digiring untuk komesil “ono rego, ono rupo” seolah kalau mau pinter ya harus mahal, semakin mahal semakin bagus mutu pendidikannya dan semakin pinter.

    Namun, seyogyanya UKSW dan FTEK tidak boleh terjun dalam arus itu meskipun harus “tertindas” (bukan tertinggal) dengan universitas “wah” yang lain. UKSW dan FTEK harus tetap memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran (ilmu, iman, nilai-nilai budi pekerti) dengan semangat yang sama dengan semangat UKSW dan FTEK didirikan, mengikuti dan memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi.

    Soal kemampuan mahasiswa atau lulusan FTJE yang menjadi perhatian dan keprihatinan saya adalah satu yaitu bahwa sebenarnya semua mahasiswa FTJE itu mampu asal mau. Yang menjadi masalah adalah banyak mahasiswa yang tidak jelas arah dan tujuannya masuk di FTJE meskipun tidak sedikit yang punya visi yang jelas. Nah di sini perlu peran penting dosen untuk membimbing, mengarahkan mahasiswa. Dosen itu perlu memiliki kedekatan dengan mahasiswa sehingga hal-hal seperti ini bisa diketahui dari awal dan bisa membangun motivasi yang positif meskipun sang mahasiswa berangkat dengan motivasi negatif. Bukan cuek, kamu mau belajar ya mari belajar kalau tidak ya kamu sendiri tanggung resiko. Terlepas dari alasan mahasiswa itu datang ke UKSW, dosen memiliki tanggung jawab untuk mendidik mahasiswa sama seperti orang tua bertanggung jawab mendidik anak-anaknya sebagai anugerah yang Tuhan berikan. Orang tua tentunya akan mati-matian agar anaknya dapat hidup dengan baik dikemudian hari. Bahkan jika apa yang dilakukan tidak berhasil tentunya orang tua akan berdoa dengan air mata agar anaknya mendapatkan pertolongan Tuhan agar bisa hidup lebih baik.

    Lalu apa bagian alumni yang boleh dibilang sudah di luar “sistem” UKSW & FTEK? Saya merasa kita berkewajiban untuk menyumbangkan ide, kritik, saran, dana, doa, dukungan moril, ilmu bagi FTEK dan UKSW. Saya sangat bersyukur Pak Guntur berkenan membagikan pengalamannya semasa berkuliah di FTJE dan liputan kunjungannya ke UKSW. Meskipun hanya sebentar dan hanya membandingkan masa kini dengan kenangan masa lalu tetapi setidaknya bisa memberikan semangat, dukungan dan masukan bagi dosen, mahasiswa yang masih aktif di gedung C dengan segala hirup pikuknya.

    Kiranya semakin banyak lagi alumni yang berperan aktif membangun FTJE dan UKSW lewat ilmu, ide, saran, kritik, dana, doa, dukungan moral, semangat dan kiranya semua hal itu dapat disalurkan kepada semua pihak (mahasiswa, dosen, karyawan, dll) yang masih ada di FTJE. Dan lewat semuanya itu boleh membawa damai sejahtera bagi umat manusia dan kemuliaan nama Tuhan.

    Salam hormat,
    Lukas (6106016)

    • Hi Lukas,

      Maaf baru sempat meresponse komentarmu yg tertata dengan sangat baik ini.

      Pada saat ini telah terbentuk team SODER yang merupakan kumpulan alumni yang peduli atas perkembangan FTEK ke depannya. Meskipun bantuan yang diberikan tidak akan langsung mengubah FTEK dalam sekejap, namun semangat yang dibawa para alumni semoga saja menularkan semangat pembaruan ke seluruh jajaran pengurus FTEK maupun UKSW untuk bebenah.

      Beberapa alumni, kalau tidak salah sudah 6 orang, yang secara sukarela dan dengan dana pribadi memberikan sharing di FTEK, serta beberapa angkatan mengumpulkan dana untuk pembelian peralatan dan perbaikan di FTEK. Semoga peran kecil ini menggugah pengurus FTEK sekarang untuk lebih bersemangat membangung FTEK.

      Salam,

      • Salam kenal pak Guntur.
        Saya benar2 prihatin atas tulisan Anda. Saya sendiri orang asli Salatiga. Sekolah dari SD, SMP, SMA dan Universitas di Salatiga (TE UKSW, walaupun cuma 1 tahun), 5,5 tahun kuliah di TE UGM dan 5 tahun kuliah di luar negeri, sekarang tinggal menetap di Jakarta. Bagaimanapun UKSW adalah Universitas kebanggaan masyarakat Salatiga, termasuk saya. Saya beberapa tahun yang lalu sering ketemu pak Willy Ex rektor UKSW di Jakarta menanyakan kemajuan UKSW. Ayo UKSW jangan sampai ketinggalan dengan universitas2 lain. Atmajaya, Trisakti, Gunadarma, Bina Nusantara semua di Jakarta sudah maju.
        UKSW harus lebih maju, karena dulu cukup bagus dan umur juga sudah tua, kalau gak salah sejak tahun 1959 ya?
        Salam,

        Setyas Tjaryo, Jakarta

  21. Wah saya merasa sedih banget dengan sistem dan keadaan Teknik Elektro Satya Wacana. Penilaian nisbi setahu saya sekarang sudah tidak ada, seperti misalnya di UI, ITB, UGM dll. Yah misalnya kalau mahasiswa mendapat nilai 85 mestinya dapat A, walaupun yang lain banyak yang dapat nilai 100. Bagaimanapun juga nilai 70 pun itu sudah tinggi. Itulah “jahat” nya penilaian nisbi? Di luar negeripun penilaian secara nisbi ini sudah tidak dipakai lagi.
    Sayapun pernah kuliah di Teknik Elektro UKSW sekitar tahun 1974 tapi hanya 1 tahun. Kemudian keluar untuk kuliah di Jurusan yang sama di UGM Yogyakarta. Setelah lulus dari TE UGM, meneruskan kuliah keluar negeri untuk titel lanjutan dan berhasil dengan baik di Universitas yang cukup terkenal. Perasaan saya kok sepertinya TE UKSW lebih sulit, apa benar ini. Ayo pimpinan UKSW, MAJUKAN UNIVERSITASMU, jangan mempersulit diri.
    Bagaimanapun saya tetap mencintai UKSW, walaupun saya hanya1 tahun kuliah disini.

  22. 2023 baru baca ini mas. Perkelankan saya dari Fakultas Teknologi Informasi jurusan Sistem Informasi. Saya sudah baca cerita-cerita mas. Sekarang UKSW sudah mengalami perkembangan mas. Banyak gedung baru dibangun, seperti FTI di Blotongan, FBS di Kartini, rencana UKSW mendirikan gedung baru untuk program studi Kedokteran. Salam mas UKSW Pride

Leave a comment